Pemerintah pernah berniat menugaskan Pertamina untuk membangun terminal LNG di Balongan dengan biaya APBN, sehingga harga LNG akan sangat kompetitif, bahkan dibandingkan  harga BBM bersubsidi sekalipun. Tetapi sayang kabarnya DPR tidak menyetujui rencanan tersebut dengan alasan tidak cukup dalil untuk memprioritaskan proyek tersebut.
Pertamina telah meresmikan penggunaan LNG untuk kereta Pembangkit pada akhir 2016. Tetapi program meng-LNG-kan kereta api jalan di tempat karena harga LNG tidak dapat bersaing dengnan harga solar bersubsidi yang dinikmati PT Kereta Api Indonesia.
Berdasarkan simulasi arus kas yang pernah saya susun, proyek Terminal LNG di Jawa cukup menguntungkan, apalagi bila dibundel dengan distribusi LNG ke pengguna.
Dengan biaya sekitar setengah triliun rupiah, terminal LNG dan sistem distribusi LNG di jawa dapat dibangun untuk melayani beberapa konsumen industri, untuk penyaluran sekitar 1000 m3 LNG per hari.
Investasi terminal akan kembali dalam waktu tujuh tahun. Investasi untuk melayani konsumen (transport, penyimpanan dan regas) akan lebih cepat lagi kembalinya, tergantung tingkat harga yang disepakati.
Saya yakin efek bola salju akan terjadi dalam waktu yang tidak lama. Sehingga terminal yang dibangun dan sistem pasokannya harus siap untuk dikembangkan.
Peraturan, standar dan kode lokal untuk sistem distribusi LNG belum ada. Tetapi pembangunan sistem distribusi LNG dapat mengacu kepada standar dan kode internasional.
Pemerintah tentu akan mendukung, karena meng-LNG-kan Jawa adalah peningkatan konsumsi energi primer produk lokal 100%, Â menurunkan impor BBM dan LPG, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H