Deru sepeda motor mulai menggaung di telinga kecil ini, pekikan suara klakson itu membangunkanku dari lamunan tak terarah di ruang tunggu toko buku jadul itu. Sudah kubilang berkali -- kali jangan telat lagi kalo memang mau menjemputku dari toko buku.Â
Susah sekali hati ini untuk tidak memikirkanmu, Ya Allah... dosakah hamba kalo terus begini? Ah... sudahlah, biar perasaan ini mengalir begitu saja. Agaknya banyak sekali orang heran kenapa aku bisa mencintai seseorang yang tampak aneh itu.Â
Perkenalkan namaku Nia, aku adalah seorang mahasiswa jurusan sastra dari kota sebelah yang mengadu nasib di Jogja. Kenalkan juga teman dekatku, namanya Udin seorang pemuda Jogja yang taat beribadah tetapi banyak yang gak ngeh sama dia. Entah mengapa dia begitu baik, mungkin karena dia sudah menganggapku seperti saudaranya sendiri tidak lebih.
 Maklumlah di sini aku sendirian gak ada keluarga atau mahram satupun yang menemani kemana -- mana. Kebetulan Udin adalah keponakan teman alm. Bapakku, jadi teman bapakku yang memasrahkan keberadaanku kepada keluarga Udin  di Jogja.Â
Mungkin karena ayahku selalu bercita --cita ingin agar aku bisa hidup dan sukses di kota gudeg itu ya, jadinya semua serba kebetulan, walaupun sebenarnya gak ada yang kebetulan di dunia ini. Aku tau, nasib akan berubah ketika kita sebagai hamba yang rendahan ini juga ikut mengubah... eits, dari mana aku dapat kata kata bijak itu? Yups, pastinya dari sang ustadz Udin yang selalu setia.
Udin lahir 2 tahun lebih awal dariku, jadi dia adalah kakak tingkatku di kampus biru. Walaupun beda jurusan tetapi dia sering aktif di masjid deket kelasku. Dia adalah aktivis, makanya banyak yang kontra ketika aku yang berantakan ini sering jalan bareng Udin. Aku juga heran kenapa Udin gak risih sering jalan kemana- mana jemput aku bahkan sering nganter sampai larut ketika aku harus lembur laporan.Â
Celana jeans selalu melekat di tubuhku, haduuuh membayangkan pakai gamis? Gak mungkinlah gak berani aku. Pakai rok saja aku harus berpikir berkali -- kali apalagi pakai gamis kayak adek -- adeknya Udin? Oh... no...
"Din... tunggu aku dipertigaan ya!". Teriakku ketika Udin menghampiriku untuk pulang.
Tanpa menjawab Udin pun berlalu seraya menatap tajam penuh makna ke dalam mataku... huyuuuh rasanya panas sekali hati ini. Sesak dada ini melihat udin berlalu begitu saja.
Eh iya aku ceritain ya awal mula ketemu sama si Udin, dia sok akrab banget... waktu itu aku sedang registrasi di meja resepsionis sebuah wisma. Awalnya aku tanya -- tanya banyak ke petugas piket waktu itu, waktu aku bilang namaku Nia Aulina pak dari Jawa Timur.Â
Tiba- tiba terdengar suara " Nia ya? Eh saya Udin... loh kok baru datang kan udah berangkat dari kemarin kata paman?" hem... si Udin beraksi untuk pertama kali saat itu. Langsung nangkep pikiran aku tentang keponakan pak Suryo temen Alm. Bapakku. Yupz... kami ke salah satu meja besar di ujung lobi, ngobrol dan lain -- lain sampai akhirnya ada petugas bilang, "segera ngumpul di lapangan ya semua karena rektor sudah hampir siap upacara". Okelah kalo gitu aku berjalan menuju kamar begitu juga dengan Udin.
Sebelum itu sebenarnya aku belum pernah ketemu sama Udin secara langsung. Tetapi,,, aku sudah sering mendengar namanya dibicarakan sama calon mahasiswa dan beberapa kerabatku, belum juga tau wajahnya tetapi seperti sudah mengenal lama.
Rasa yang terlarang ini tampak sulit dihilangkan dari hati, Ya Allah... tolonglah hambamu yang fakir dan hina amal ini. Segerakanlah nafas rindu ini mati saja, aku sudah tak kuat lagi menahan sesak di hati, yang makin hari makin menjadi. Aku gak mau masa depan hancur lebur karena pengaruh nafsu sesaat yang sesat ini. Semakin aku berlari tampaknya bayangan semakin mendekati, rasa cinta terlarang yang menyesakkan hati.
Berharap aliran sungai kembali menyirami dinding hati...
bersambung ke bagian 2...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H