Tulisan ini dibuat bukan dalam rangka kampanye positif ataupun negative tentang Chat GPT. Alasan utamanya adalah karena adanya rasa prihatin akibat trend penggunaan asisten pribadi berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Untuk menyingkat penyebutan, maka kita istilahkan dengan AI. Sebagai barang baru, tentu saja AI ini cukup banyak dikenal dan digandrungi oleh berbagai kalangan, apalagi AI saat ini semakin hari semakin canggih. Oleh karena itu, sangat wajar apabila masih banyak salah konsepsi mengenai cara memahami dan penggunaan yang baik dari AI ini.
Penggunaan kata Chat GPT pada judul juga tidak berarti hanya merek tersebut, tapi merupakan peminjaman istilah saja. Maksud penulis adalah AI berbasis pangkalan data secara umum, tidak hanya Chat GPT, tetapi juga yang lainnya misalnya Oracle, Dall-e, Bard, Gemini, Meta.AI dan sebagainya.
Sudah banyak pihak yang mengungkapkan keprihatinan terhadap penggunaan AI yang tidak bijak. Mereka yang prihatin seperti para ahli IT, pendidik, Boss di kantor, orang tua dan masih banyak lagi. Keprihatinan mereka berbeda-beda. Yang paling menggemparkan adalah ketika Noam Chomsky mengatakan bahwa Chat GPT adalah "plagiarism berteknologi tinggi". Selain itu, mengamati bahwa hasil keluaran dari Chat GPT ini begitu baik, maka mulai timbul peng-kultus-an Chat GPT oleh sebagian orang bahkan Chat GPT itu dianggap bisa menyelesaikan semua persoalan dengan baik.
Peng-kultus-an ini berlanjut hingga hal-hal yang sangat sensitif. Bahkan di media sosial beredar diskusi tentang keagamaan, yang sudah barang tentu mengandung unsur SARA, dengan menggunakan Chat GPT. Sudah pasti hasil kesimpulan Chat GPT mengandung unsur SARA yang disebarkan melalui media sosial menjadikan keresahan dan menuai pro dan kontra yang tidak ada habisnya.
Ada hal lain yang tidak kalah konyolnya yaitu apabila ada lembaga pemerintahan yang akan menggunakan Chat GPT sebagai mesin utama dalam dialog interaktif terkait kebijakan pemerintah dan perlindungan konsumen. Alih-alih melakukan investasi yang cukup untuk membangun kecerdasan buatan sendiri, malah dengan bangga akan mengadopsi Chat GPT begitu saja dengan alasan investasinya lebih murah.
Apakah memang layak sebuah AI ini di-kultus-kan? Marilah kita lakukan sedikit kajian dan telaahan yang tentu saja bukan merupakan tulisan ilmiah, namun hanya kajian singkat yang sudah cukup menggambarkan dan menjawab fenomena yang terjadi. Diantara berbagai alasan, hal utama yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan AI ini adalah adanya yang disebut sebagai "bias algoritma". Keberadaan bias algoritma ini tentu akan mendorong permasalahan selanjutnya yaitu kesalahan dalam menarik kesimpulan. Selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hal ini.
Sejarah Singkat Asisten Virtual Berbasis Data
Asisten virtual bekerja dengan menggunakan Natural Language Processing (NLP) yang memungkinkan manusia berinteraksi langsung dengan computer (antar muka). NLP pertama kali diperkenalkan pada tahun 1966 oleh Joseph Weizenbaum yang diberi nama Eliza. Pada tahap awal perkembangannya, Eliza ini sangat sederhana tidak secanggih yang ada saat ini. Eliza tidak mampu memahami konteks percakapan, keterbatasan logika, keterbatasan pemahaman bahasa dan lain-lain. Eliza hanya mencocokkan kata kunci tertentu.
 Sejak awal tahun 2000-an, NLP kemudian diperkuat dengan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence -- AI). Proyek AI pertama yang berbasis data diperkenalkan dengan nama Microsoft Clippy. AI ini memungkinkan asisten virtual bisa memahami konteks suatu kalimat baik secara tekstual maupun kontekstual serta melakukan tugas yang lebih multi-tasking. AI berbasis data semakin kuat dengan machine learning. Dengan basis data yang kuat dan berjumlah sangat banyak, tentu akan menghasilkan model pembelajaran yang lebih baik.
Asisten Virtual berbasis AI yang sangat canggih diperkenalkan oleh Apple dengan nama Siri (2011), Amazon dengan nama Alexa (2014), dan Google Assitant (2016). AI sangat membantu penjualan perangkat canggih seperti smartphone ataupun perangkat lainnya. Seiring dengan semakin modern-nya NLP, munculah berbagai versi termasuk arsitektur pembelajaran bernama Transformer yang diperkenalkan oleh Tim Google Brain pada tahun 2017.
Arsitektur model transformer ini kemudian banyak digunakan oleh beberapa AI masa kini yang canggih. Large language Model (LLM) digunakan oleh Meta.AI dan Google Gemini. Open.AI mengembangkannya menjadi Generative Pre-trained Transformer (GPT). Bahkan utuk Chat GPT saat ini sudah memasuki generasi keempat.
Selanjutnya, akan dikembangkan model lain yang lebih canggih. Pengelolaan data yang lebih massif namun efisien, model multi modalitas, pengelolaan database yang lebih spesifik (misalnya khusus untuk medis, hukum dan lainnya), pemrosesan di ujung (edge learning), atau bahkan pengkaitan dengan Internet of Things (IoT). Pada intinya, AI ini akan lebih canggih dan semakin banyak membantu kegiatan manusia.
Statistik Penggunaan AI
Dengan memperhatikan data yang dikutip dari Databox yang merujuk pada hasil penelitian dari Populix, maka Chat GPT menempati urutan pertama (52%) sebagai aplikasi AI yang paling sering digunakan. Kemudian diikuti oleh copy.ai (29%), Luminar (18%), Oracle (15%), Dall-e (12%), Lalalai (12%) dan terakhir Outmatch (11%).
Indonesia menempati urutan ketiga dalam penggunaan AI, sesuai data yang diambil dari Dibimbing.id yang merujuk pada Databox yang juga merujuk kepada data dari WritterBuddy. Indonesia menggunakan AI sebanyak 1,4 miliar kunjungan untuk kurun waktu September 2022 hingga Agustus 2023. Jumlah ini kemungkinan akan semakin melonjak Ketika apikasi AI disematkan pada aplikasi percakapan seperti Whatsapp, karena Indonesia juga menempati urutan nomor tiga di dunia sebagai pengguna Whatsapp (sebanyak 112 juta pada tahun 2023 berdasarkan GoodStat.id)
Gambar di atas diambil dari Statista Market Insights yang menjelaskan bahwa trend jumlah pengguna AI di Indonesia semakin banyak. Pengguna saat ini berjumlah sekitar 1,3 juta dan diprediksikan akan semakin bertambah menjadi sekitar 3,3 juta pengguna pada tahun 2030.
Mengenal Bias Algoritma
Meskipun saat ini banyak orang terpukau dengan kecanggihan AI, namun kita perlu memahami seluk beluk dalam menggunakannya. Ibarat kita akan menggunakan barang, harus tahu terlebih dahulu instruksi penggunaan dari alat yang akan kita pakai termasuk kelemahan dari produk yang akan kita gunakan. Demikian juga apabila kita akan meminum obat, kita harus paham dulu obat apa yang akan kita minum dan dosisnya seperti apa. Kegagalan kita dalam memahami instruksi penggunaan ataupun kesalahan meminum jenis obat akan menimbulkan akibat fatal.
Kalimat yang dihasilkan oleh AI ini tampak sangat meyakinkan. Namun belum tentu benar seratus persen. Banyak hal yang dapat membuat kesimpulannya salah. Bias algoritma adalah salah satu sebab salahnya dalam pengambilan kesimpulan. Secara bebas, bias algoritma diartikan sebagai adanya kesalahan output berupa kesimpulan yang tidak akurat, diskriminatif atau tidak obyektif yang disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan pelatihan mesin terutama kurang berimbangnya data sebagai masukan.
Beberapa jenis kesalahan bias algoritma yaitu: Bias data disebabkan cakupan data yang terbatas; Bias pemrosesan karena pelabelan data yang salah; Bias model karena arsitektur model yang kurang tepat; Bias interaksi karena lingkungan memberikan respon tidak obyektif; Bias interpretasi yaitu ketika kesimpulan yang dihasilkan diartikan secara subyektif.
Perlu Sikap Kehati-hatian
Dengan memahami bias algoritma ini, maka kita sebagai pengguna AI harus berfikir ulang dan tidak menerima begitu saja. Ibarat hasil quick count dalam sebuah kontes pemilihan pimpinan politik, maka percaya kepada hanya satu hasil quick count saja akan menyesatkan. Tetapi Ketika beberapa Lembaga survey telah mempublikasikan hasil, maka validasi secara umum sudah dapat dilakukan. Mungkin terdapat sedikit perbedaan angka, tetapi Kesimpulan umum bisa ditarik searah.
Beruntunglah kita pada saat ini memiliki beberapa AI yang tersedia di pasaran. Walaupun berdasarkan statistic, saat ini pengguna Chat GPT mendominasi penggunaan AI di Indonesia, namun kemunculan beberapa pesaing dari Chat GPT menambah wawasan kita dalam memperbandingkan hasil keluaran dari masing-masing AI. Sangat mungkin bahwa salah satu AI memiliki kekuatan dan kelemahan dibandingkan dengan AI lainnya. Rasanya, masing-masing AI juga semakin menyempurnakan data base dan permodelannya, sehingga keluaran yang dihasilkan semakin bagus.
Sebagai contoh, Meta.AI yang baru saja diluncurkan oleh Meta group dan disematkan dalam aplikasi percakapan bernama Whatsapp, memiliki hasil keluaran yang sangat baik. Salah satu keunggulan Meta.AI ada dengan menyematkan sumber data yang ada. Referensi ini menjadi keunggulan Met.AI dibandingkan dengan misalnya Chat GPT untuk menghindari kritik bahwa sebuah AI adalah pembajakan hal cipta dengan menggunakan teknologi.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa sikap terlalu memuja dan mengagungkan AI ini adalah sikap yang kurang tepat. Bagaimanapun, manusia berada di atas mesin yang diciptakannya, sepanjang memiliki sikap untuk berfikir secara obyektif. Melihat kelemahan ini, maka pengguna AI perlu bersikap bijak dan jangan menggunakan hasil keluaran untuk hal-hal yang terlalu sensitif apalagi berbau SARA. Rasanya sangat mustahil seorang hakim di pengadilan akan digantikan oleh robot dengan kecerdasan buatan. Tidak ada humanisme, empati, keadilan atapun kebijaksanaan dalam mesin. Di situlah manusia sebagai khalifah punya peranan. (Try)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H