Entah sudah  berapa kali saya memimpin upacara pemakaman .  Dengan khotbah yang berpusatkan kepada Akitab membrikan penguatan tentang kepastian keselamatan didalam Tuhan Yesus. Tetapi bagaimana jika peristiwa kematian tragis itu terjadi kepada orang yang saya kasihi ?. Saya menghayati bahwa kematian merupakan salah satu anugerah Tuhan bukan akhir dari segalanya yang tidak bermakna.
Saya selalu mengingat peristiwa tanggal 12 Desember sebagai hari yang istimewa dimana semua orang Kristen sibuk menyambut Natal  namun kami diberikan anugerah Tuhan yang berbeda .
Jonathan dipangil pulang oleh Bapa di Sorga.
Kematian Jonathan, keponakanku, dan Ibu Sani Sutinah, kakak iparku di Kalimantan , pada tanggal 12 Desember beberapa tahun silam, adalah peristiwa yang meninggalkan luka yang begitu mendalam. Mereka meninggal dengan cara yang tragis, di tangan seorang yang tidak bertanggung jawab. Berita ini datang begitu mendadak, menghentakkan hati dan menguji keimanan saya sebagai seorang hamba Tuhan yang pada saat itu sedang melayani di gereja dan menjadi dosen di Sekolah Tinggi Teologi Injili Abdi Allah. Lebih dari sekadar kehilangan, peristiwa ini menuntut saya untuk merefleksikan nilai-nilai iman Kristen: kasih, pengampunan, dan pengharapan dalam Tuhan.
Momen Kepergian yang Menyayat Hati
Satu bulan sebelum peristiwa tragis itu, Jonathan masih penuh harapan dan impian. Ia bercita-cita menjadi seorang arsitek dan sempat mengutarakan rencana untuk pergi ke Surabaya, melihat kampus-kampus yang ia idamkan. Namun, rencana manusia bukanlah rencana Tuhan. Kehilangan Jonathan yang masih muda dan penuh impian serta kakak iparku yang selalu hadir sebagai sosok keluarga yang kuat dan penyayang, seketika membuat hati saya bimbang dan dipenuhi berbagai pertanyaan: Mengapa mereka harus pergi dengan cara seperti ini? Mengapa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi?
Lebih dalam lagi, pagi itu saya tengah berada di gereja, membuka pintu dan menyiapkan doa pagi. Telepon yang terus berdering saya abaikan karena saya percaya doa bersama umat adalah prioritas. Namun, usai doa, telepon itu kembali berdering membawa kabar yang meruntuhkan hati: Jonathan dan kakak iparku ditemukan bersimbah darah, tidak bernyawa lagi di rumah mereka. Lebih pilu, di saat yang bersamaan, keluarga di Jawa Tengah juga sedang berduka atas kepergian kakak dari ibu saya. Pagi itu adalah salah satu hari paling berat dalam hidup saya, ketika duka datang bertubi-tubi dari berbagai arah.
Pergumulan Iman: Mengampuni di Tengah Kepedihan
Sebagai seorang Kristen, saya dihadapkan pada tantangan terbesar dalam iman: bagaimana mengintegrasikan pengampunan dan kasih di tengah duka yang mendalam? Rasa marah, kecewa, dan kehilangan seolah menjadi gelombang yang datang silih berganti. Namun, ketika saya merenungkan firman Tuhan, saya teringat akan perkataan Yesus di kayu salib: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat" (Lukas 23:34). Di tengah penderitaan-Nya, Yesus mengajarkan pengampunan yang sejati.
Kematian yang tragis ini menjadi kesempatan bagi saya untuk memandang salib Kristus. Yesus sendiri menderita ketidakadilan, penganiayaan, dan kematian, namun Ia memilih untuk mengampuni. Firman Tuhan dalam Roma 12:21 berkata, "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan." Dalam pergumulan yang berat ini, Tuhan menolong saya, suaminya (kakak saya, seluruh keluarga besar  untuk tidak membiarkan kebencian merasuki hati. Saya menyadari bahwa mengampuni bukan berarti melupakan, tetapi menyerahkan keadilan ke tangan Tuhan yang Mahatahu dan Mahaadil.
Kasih dan Pengharapan dalam Tuhan
Di tengah duka yang mendalam, saya menemukan penghiburan dalam janji Tuhan bahwa "Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya" (Mazmur 116:15). Kehidupan Jonathan dan kakak iparku, meskipun singkat, adalah anugerah Tuhan. Tuhan telah menyertai mereka di setiap langkah kehidupan, dan saya percaya mereka kini berada di tempat yang lebih baik, dalam pelukan kasih Tuhan.
Melalui peristiwa ini, saya belajar bahwa hidup ini begitu rapuh dan sementara. Yakobus 4:14 mengatakan bahwa hidup manusia seperti uap yang muncul sebentar lalu lenyap. Oleh karena itu, saya dipanggil untuk menjalani hidup dengan penuh makna, mengasihi sesama, dan menjadi saksi Kristus dalam segala situasi, bahkan dalam masa duka.
Â
Penutup. Â Â Â Â
Â
Peristiwa tragis ini mengajarkan saya tentang nilai-nilai iman Kristen yang mendalam: pengampunan, kasih, dan pengharapan. Sekalipun keadilan dunia terasa tidak sempurna, saya percaya keadilan Tuhan akan dinyatakan pada waktu-Nya. Mengampuni bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti ketaatan dan iman kepada Tuhan. Dalam kasih Kristus, saya menemukan penghiburan dan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan, seraya berharap akan perjumpaan kembali dengan mereka yang telah lebih dahulu pulang ke rumah (Om Tri yang mengasihimu dan semua keluarga besar mengenangmu di hari natal ini. Tangsel 12 Desember 2024.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H