Sebagai Wajib Pajak yang baik tentunya kita berusaha untuk memenuhi kewajiban kita seperti halnya menyetor dan melaporkan pajak. Kita hidup di negara yang sumber pendapatan utamanya masih berpangku pada penerimaan pajak. Sehingga pajak menjadi sumber anggaran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan belanja dan pembangunan negara.
Dalam upaya tax potential maka pemerintah berupaya untuk memaksimalkan jumlah pendapatan pajaknya, oleh sebab itu kita harus siap dan paham terhadap segala kegiatan pajak salah satunya pemeriksaan pajak. Kegiatan tersebut dilakukan jika memang ada satu dan lain hal temuan yang dirasa tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan perpajakan. Sehingga, untuk permulaan kantor DJP akan menerbitka  SP2DK untuk meminta klarifikasi. Dari SP2DK tersebut apakah akan berlanjut ke proses pemeriksaan tegantung jawaban dan respon dari Wajib Pajak itu sendiri apakah memuaskan dan meyakinkan pihak otoritas pajak.
Sosialisasi, bagi wajib pajak sosialisasi terkait ketentuan dan peraturan yang berhubungan dengan perpajakan sangat dibutuhkan, karena kita sebagai warga negara akan berusaha untuk selalu patuh pajak. Maka, kita perlu keadilan. Dalam proses pemeriksaan pajak kita sudah diberi kebebasan untuk menolak hasil pemeriksaan jika tidak sesuai dengan pendapat kita. Sehingga kita bisa mengajukan keberatan dan itu dangat membantu Wajib Pajak dalam mempertahankan dan memperjuangankan hak kita. Karena terkadang, Dirjen Pajak keliru dan salah persepsi dengan Wajib Pajak. Memang dilain sisi pemerintah sedang berusaha untuk menaikan dan memaksimalkan pemerimaan pajak. Tapi, jika ada kekeliruan dalam keputusan yang memberatkan Wajib Pajak maka bisa dilakukan banding dan sengketa pajak.
Dalam melakukan tugas dan kewajiban maka otoritas pajak perlu mempunyai prinsip-prinsip yang yang dijadikan dasar dalam pemeriksaan, diantaranya.
a. Prinsip Kepercayaan Publik (Public trust),
Mendapat kepercayaan publik sangatlah penting bagi otoritas pajak, semakin wajib pajak percaya maka kepatuhan wajib pajak akan meningkat, dan sebaliknya jika wajib pajak sudah hilang kepercayaan kepada ototitas pajak maka mereka enggan untuk bersikap patuh.
b. Keadilan (fair play) ,
Prinsip keadilan ini tertuang dalam penjelasan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Prinsip keadilan ini juga dirasakan tidak merata oleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan dan pemungutan pajak. Misalnya, Dalam pemeriksaan pajak pasal 16C UU PPN, ketidakadilan sering kali terjadi pada saat WP tidak mempunyai bukti-bukti atau dokumen dokumen pembukuan. Otoritas pajak harus memperbaiki perencaan pemeriksaan pajak untuk memastikan keadilan dan efisiensi keadilan.
c. Penegakan Etika,
Bagi wajib pajak maka harus bersikap jujur, artinya melaporkan semua yang perlu dilapor dalam pajak yang tujuanya satu yaitu memenuhi kepatuhan pajak. Maka, bagi otoritas paja harus berupaya untuk tax effort, melakukan pengecekan terhadap informasi dan data Wajib Pajak agar tidak melakukan tindakan kecurangan pajak. Gosh dan Crain (1996) menyatakan bahwa etika saja mungkin tidak cukup untuk meningkatkan kepatuhan pajak karena bisa saja pembayar pajak berbuat jujur karena tidak ada kesempatan untuk berbuat curang Perlindungan terhadap hak dan kewajiban wajib pajak,
d. Penerapan good governance,
Modernisasi menjadi salah satu kata kunci yang melekat dan bahan pembicaraan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan. Hal ini bertujuan untuk menerapkan good governance dan pelayanan prima kepada masyarakat.
Masih rendahnya administrasi perpajakan, integritas dan produktivitas sebagian pegawai yang masih rendah menjadi penyebab dilakukannya modernisasi perpajakan. Maka dengan pelaksanaan good governance diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak untuk mengisi pundi-pundi negara dalam pembiayaan APBN.
Timbulnya kritik terhadap implemensai kebijakan pemeriksaan pajak di indonesia dikarenakan tidak diterapkanya kebijakan pajak secara utuh oleh otoritas pajak atau pemeriksa pajak dan masih lemahnya sanksi yang diberikan kepada para petugas pajak apabila melanggar aturan.
Selain itu, timbul adanya Ketidaksetaraan karena kebijakan pemeriksaan yang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan dan  peraturan perundang- undangan. Segala Upaya – upaya yang telah dilakukan oleh Ditjen Pajak seperti pemberlakuan administrasi perpajakan modern dan ketentuan pemeriksaan pajak yang baru seperti pembentukan Tim Pembahas dan Kuesioner Pemeriksaan Pajak masih mengalami kelemahan kalau kurangnya sosialisasi terkait ketentuan-ketentuan pajak terbaru kepada Wajib Pajak. Pembentukan komite pengawasan dibidang perpajakan juga bisa ditingkatkan dan dipercepat untuk mengawasi para petugas pajak.
Daftar Referensi
- Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2015 Merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK. 03/2021 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
- Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- Latief, Z. (2007). Analisis implementasi kebijakan pemeriksaan pajak di Indonesia: tinjau prinsip kesetaraan antara wajib pajak dan fiskus (Doctoral dissertation, Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik).
- Gosh, D. and T. Crain. 1996. Experimental Investigation of Ethical Standards and Perceived Probability of Audit on Intentional Noncompliance. Behavioral Research in Accounting, 8, 219-241.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H