Mohon tunggu...
Triyanto 'Genthong' Hapsoro
Triyanto 'Genthong' Hapsoro Mohon Tunggu... wiraswasta -

Filmmaker, Storyteller, Dramatic Engineer. Tinggal di Yogyakarta. http://dabgenthong.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Flo

31 Agustus 2014   06:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:02 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya agak awang-awangen mau nulis kasus ini di blog, karena pasti sudah banyak yang menulisnya dari berbagai macam sudut pandang. Tapi entah, sepertinya sudut pandang pribadi saya sebagai wong Jogja menjadi perlu untuk diutarakan. Sekali lagi ini bukan pandangan legal formal, tapi hanya perspektif sederhana. Ada beberapa elemen yang terlibat ketika kasus ini muncul :


  1. Florence adalah mahasiswi S2 notariat UGM. Orang yang bisa masuk UGM pastilah pintar. IQ nya juga kemungkinan tinggi. Tapi Emotional Quotientnya? Belum tentu. Nah EQ ini yang kemudian 'menjegal' kemanusiawian Flo pada titik didih dan menyebabkan kehilangan akal sehat dalam bersosial media dan mengeluarkan statement tertentu yang semua sudah tahu seperti apa statementnya.
  2. Akun media sosial Path. Sebuah platform media sosial yang sebetulnya limited, karena ada pembatasan pertemanan hingga 500 teman saja. Media sosial ini lebih tertutup. Tetapi sebenarnya kaidah-kaidah bersosial medianya sama dengan facebook atau twitter yang lebih terbuka. Mengungkapkan perasaan maupun pikiran di medsos tetap ada batasnya. Nah batas ini yang kadang tak terlihat dan samar, sehingga sering diterabas. Bahwa akan terjadi kemungkinan2 tersebarnya sebuah status, foto, atau apapun yang diupload adalah keniscayaan yang harus dipegang.
  3. Akun yang mengcapture screen Pathnya Flo. Ini juga penting. Karena tersebarnya umpatan Flo dimulai dari sebuah file JPG/PNG yang berisi update path Flo. Siapakah dia? Tentu bukan wilayah saya untuk menyelidikinya. Apakah dia juga bersalah? Entahlah, biarkan hukum yang mengklarifikasinya.
  4. Media sosial yang lain, semacam twitter, kaskus dan facebook. Banyak akun yang kemudian membully Flo secara massal, hingga menimbulkan stres pada diri Flo. Apakah media sosial patut dipersalahkan? Tentu saja tidak. Apakah akun2 yang membully bisa disalahkan? entahlah, ini masalah hati nurani dan etika. Mangga saja, penilaian saya serahkan kepada pribadi masing-masing.
  5. Pihak pelapor. Seperti diketahui beberapa LSM mengadukan Flo ke Polda terkait umpatannya. Hingga tulisan ini terupload, status Flo menjadi tahanan di Polda DIY.
  6. Aparat Penegak Hukum, dalam hal ini Kepolisian Daerah DIY. Sebagai aparat tentunya akan melaksanakan standard operating procedure ketika sebuah laporan pengaduan masuk.


Dari beberapa elemen diatas, marilah kita tarik masalah Flo ini dalam 2 sisi, yakni sisi hukum dan etika sosial :


  1. Sisi Hukum; Pastilah penahanan Flo didasari bukti-bukti dan fakta. Polda tidak akan mungkin menahan seseorang tanpa dasar yang kuat. Kita sebagai masyarakat sebaiknya percaya terhadap hal ini, karena hanya penegak hukumlah yang mempunyai kuasa atas kebebasan seseorang. Dan tentunya Polda menahan Flo karena ada pihak pelapor. Ini konsekuensi hukum logis.
  2. Sisi Etika Sosial; Disini letak kesalahan Flo. Efek viral dalam media sosial tidak disadari olehnya. Efek berantai yang sangat mungkin mempengaruhi opini dan emosional orang lain, hingga akhirnya Flo harus mengalami bullying massal.


Daerah Istimewa Yogyakarta bukanlah semata predikat politik yang ditempelkan. Tapi Keistimewaan itu sendiri adalah hal yang lebih tua daripada doktrin politis. Menjadi Istimewa karena Yogyakarta lebih senior daripada Indonesia dalam pengelolaan tatanan sosial, dan sikap rendah hati yang terimplementasi dalam pernyataan bersedia bergabung dalam NKRI juga menjadi poin keistimewaan. Jelaslah disini bahwa Jogja Istimewa adalah tentang moral dan kebudayaan yang melekat ratusan tahun sebelum maklumat September 1945. Predikat istimewa melekat juga pada orang-orang yang pernah tinggal atau asli Jogja. Kepribadian yang santun, jenaka, dan rendah hati, jauh lebih tua daripada statemen politis dan UU Keistimewaan.

Apa yang bisa disimpulkan dari berderet kalimat diatas?

Kesalahan Flo adalah kesalahan manusiawi. Bahwa ada yang melaporkan dan bertindak dalam koridor hukum adalah hak tiap individu/organisasi. Tetapi hal ini tidak serta merta merepresentasikan sikap orang Jogja secara keseluruhan.

Maka, secara pribadi sikap saya adalah sebagai berikut:

Saya selaku pribadi yang kebetulan asli Jogja sudah memaafkan Florence. Mari memaknai Jogja Istimewa bukan hanya sebagai status politik, tetapi juga sebagai kekuatan moral positif dan kedewasaan berbudaya.


Dan saya tidak akan mengajak siapapun untuk bersikap sama. Karena statemen saya adalah personal, sama seperti ketika Flo menulis umpatannya. Sekian

Jogja Istimewa

Tamansari, 30 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun