Tak pelak pemilu 2014, terutama pilpres, menimbulkan gejolak politik yang cukup luar biasa. Banyak kejadian politik yang amat penting dan bisa menjadi sebuah tonggak pembangunan bangsa lima tahun ke depan. Politik tak bisa dilepaskan dari kejadian di masa lalu, saat ini dan masa depan. Politik selalu berkesinambungan dan menimbulkan sebab akibat.
Pertarungan pilpres diawali dengan ‘pecah kongsi’ antara Gerindra dan PDIP. Aroma pengkhianatan -dalam perspektif Prabowo dan Gerindra- yang dilakukan oleh Megawati dan PDIP dengan dilanggarnya perjanjian batu tulis menyebabkan tidak mesranya lagi kedua partai. Namun PDIP sendiri membantah bahwa ada pelanggaran terhadap perjanjian itu.
Tak pelak persoalan ini pun memicu persaingan ketat antar dua partai setelah pemilu sebelumnya berkoalisi. Gerindra yang menempati tiga besar dan sudah pasti akan mengusung Prabowo menjadi Presiden terhadang batu besar bernama Joko Widodo, capres PDIP, yang justru diorbitkan oleh Prabowo saat menjadi Gubernur DKI.
Pendulum politik sejak awal telah berayun ke persaingan dua kubu ini, Prabowo dan Jokowi. Manuver politik pun dilakukan dengan fokus utama berkoalisi dengan salah satu kubu. Upaya pembentukan koalisi diluar itu seakan menjadi subordinat yang tak mampu berbuat banyak dan berakhir antiklimaks.
Aroma masa kampanye yang penuh black campaign memperuncing persaingan. Walaupun pilpres secara keseluruhan hingga detik ini berlangsung damai, namun kita tak bisa menutup mata adanya ketegangan emosi diantara kedua kubu. Perang urat syaraf selalu dilancarkan saban waktu. Baik di media sosial, maupun media cetak dan elektronik. Uniknya, pilpres kali ini membuat garis tegas keberpihakan media terhadap salah satu kubu. Malah sebagian kalangan menilai media massa tidak lagi berimbang dan indenden, namun telah masuk pada wilayah politik praktis.
Kini kita semua akan menjelang idul fitri. Dalam kebudayaan islam di Indonesia, idul fitri selalu identik dengan bermaafan. Saling memaafkan antara sesama saudara, kerabat dan kawan. Maka sudah selayaknya momen ini digunakan oleh kedua pihak untuk ‘saling memaafkan’ dan meniadakan dendam. Bagaiamanapun juga sejarah telah mencatat banyak peristiwa tragis yang bermula dari dendam politik. Bangsa ini pun jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama dan mengorbankan persatuan yang dengan susah payah telah dirajut.
Namun hal itu bukan berarti kemudian membangun satu kesatuan koalisi. Dalam politik tiadanya oposisi juga berpotensi hilangnya kontrol. Oposisi diperlukan untuk membangun budaya politik yang sehat.
Idul fitri ini sudah selayaknya dijadikan sebagai momentum rekonsiliasi nasional. Segenap pasangan calon, partai koalisi, tim sukses dan simpatisan sudah selayaknya berdamai. Berjabat tangan erat dan membangun bangsa sesuai perannya masing-masing.
Melebur kesalahan dan khilaf dalam maaf. Saling berjiwa besar dalam melakoni kompetisi politik ini. Menegaskan kembali bahwa persatuan Indonesia dan keutuhan NKRI adalah harga mati yang harus dijunjung tinggi diatas kepentingan politik sesaat.
Selamat idul fitri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H