Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Power Tends To Corrupt dan Raja yang Tak Mampu Mengendalikan Pembantunya

10 Oktober 2012   20:10 Diperbarui: 4 April 2017   16:11 3404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juru Bicara MA sekaligus Ketua Muda Bidang Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko, menyatakan bahwa jika ada putusan yang akan membatalkan putusan pengadilan negeri, banding dan kasasi maka para hakim agung terkait harus membawa perkara tersebut ke rapat pleno hakim agung. Jika dalam rapat pleno tersebut kuorum keberatan dengan putusan yang akan diambil, maka majelis PK akan menurunkan 2 hakim agung lagi untuk memutus. Jika dengan 5 hakim agung ternyata masih buntu, maka MA akan menurunkan 2 hakim agung lainnya untuk ikut mengadili. Sehingga majelisnya menjadi 7 orang hakim agung........... Akan tetapi kenyataannya Imron Anwari, Achmad Yamanie dan Prof Dr Hakim Nyak Pha, cukup 3 orang hakim agung, telah menganulir hukuman mati Hengky Gunawan dan mengubah hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Pimpinan MA tidak mampu mengendalikan sepenuhnya para hakim agung yang menjadi para pembantunya. Bagaimana jadinya bila putusan pembatalan hukuman mati Produsen Narkoba Hengky Gunawan digunakan sebagai yurisprudensi? Narkoba akan tumbuh subur di Indonesia, para bandar dan produsen narkoba tidak akan dihukum mati dan mungkin dikurangi hukumannya di MA. Kalau boss-boss narkoba yang setiap tahun mengakibatkan 15.000 pecandu meninggal saja tidak dihukum mati, maka selain memicu amarah warga, putusan ini juga membuat Indonesia malu di dunia internasional. Sebab masyakarat di dunia akan memandang remeh serta menilai di Indonesia gampang memroduksi narkoba.....

Jaksa Agung Basrief Arief dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR menyatakan,“Saya telah instruksikan ke depan, terhadap putusan bebas sesuai pasal 67 Jo pasal 224 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) tidak dapat diajukan kasasi, kecuali perkara yang merugikan keuangan negara.”.......... Nyatanya Jaksa Penuntut Umum Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi atas putusan bebas terhadap Anand Krishna oleh Albertina Ho dan ini sama sekali tidak menyangkut kerugian keuangan negara. Dan 3 oknum Mahkamah Agung: Zaharuddin Utama (yang menyatakan Prita Mulyasari bersalah dan menghukum 6 bulan penjara, serta  menghukum Rasminah dalam kasus pencurian 6 piring dengan hukuman 130 hari penjara); Achmad Yamanie (yang terlibat pembatalan vonis hukuman mati pemilik pabrik ekstasi Henky Gunawan menjadi 15 tahun penjara melalui upaya PK); dan Sofyan Sitompul mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum tersebut. 3 oknum Hakim Agung mengabaikan seluruh fakta persidangan yang dipimpin Albertina Ho yang memberi vonis bebas terhadap Anand Krishna. 3 oknum Hakim Agung tersebut hanya memutuskan dari belakang meja berdasar BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang tak terbukti di persidangan. Kembali Jaksa Agung dan Mahkamah Agung tidak mampu mengendalikan sepenuhnya para pembantunya.......

Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”…….. Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak…….. demikian pendapat  John Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902), atau dikenal sebagai Lord Acton. Ibarat baju boleh berganti, dari baju model bangsawan menjadi baju model pejabat pemerintah, atau baju model pemuka agama, atau baju model wakil rakyat, atau baju institusi penegak hukum, akan tetapi orang yang memakainya tidak banyak berbeda. Orang cenderung korup karena besarnya wewenang kekuasaan yang dipegangnya. Orang mempunyai ego, dan suka masyarakat tunduk pada kekuasaannya. Feodalisme adalah sifat manusia yang belum sadar. Dia bisa ber-uniform Kejaksaan atau Kehakiman akan tetapi kepalanya masih mempunyai keserakahan, ego yang sama.

Penyalahgunaan wewenang semakin menjadi-jadi bila seorang raja atau pimpinan tidak bisa mempunyai kendali penuh terhadap para pembantunya. Leluhur kita memberi contoh Raja Hastina, Destarastra yang buta, simbol dari pemimpin yang buta nuraninya dan tidak mampu mengendalikan para pembantunya dengan sepenuhnya. Shakuni telah diberi kewenangan sebagai patih dan dia menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya. Shakuni adalah tipe orang yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasratnya. Dan begitu dia mendapat posisi tinggi, dia akan berusaha memenuhi segala hasratnya dengan menghalalkan segala cara yang membuat ketidakadilan semakin merajalela. Dan tipe-tipe Shakuni tersebut nampaknya berkembang biak dengan pesat, baik di pusat maupun di daerah-daerah, di setiap jenjang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Jangan anggap Shakuni masa kini badanya kurus dan cacat, penampilannya gagah dengan uniform yang wah, hanya pikirannya tak jauh berbeda dengan Shakuni jaman Hastina......

Hal tersebut menjadi semakin parah lagi dengan adanya jiwa feodal yang masih tertanam subur dalam diri para pengambil keputusan. Nilai-nilai feodalisme merupakan warisan dari negara-negara kerajaan yang ada pada jaman dahulu di Nusantara, lalu diambil alih oleh para penjajah. Revolusi kemerdekaan sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan feodalisme yang ada pada diri manusia Indonesia, tetapi nampaknya setelah berjalan beberapa lama, jiwa feodal marak kembali. Sikap-sikap feodal ini bersifat destruktif karena seorang bawahan akan menganggap mereka yang lebih tinggi dari mereka selalu benar dalam setiap tindakannya. Mereka tidak berani menyangkal walau perbuatan atasan salah. Sifat feodal juga menghancurkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia yang setara derajatnya dengan manusia lainnya. Seorang bawahan dikatakan tidak sopan jika menegur atasan walaupun alasannya benar. Tidak didengarnya suara masyarakat bawah sebagai suara manusia juga merupakan bentuk nyata dari feodalisme yang terjadi pada manusia Indonesia. Kini bukan raja lagi yang feodal, tetapi sudah diganti namanya menjadi presiden, menteri, jenderal, anggota dewan, hakim, jaksa dan lain-lainnya.

Sebagai flashback diberikan ilustrasi tentang kasus Anand Krishna yang menunjukkan bahwa kekuasaan cenderung korup, apalagi bila sang atasan tidak dapat secara penuh mengendalikan bawahannya........ Kita melihat banyak sekali rekaman persidangan yang tidak dapat dibohongi. Contoh nyata adalah Tara Pradipta Laksmi yang mengaku dilecehkan Bapak Anand Krishna yang ternyata sesuai visum Dr. Mun’im Idris dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dirinya masih perawan dan tak ada tanda-tanda kekerasan. Bapak Anand Krishna mempunyai penyakit diabetes dan tidak mungkin beliau melakukan perbuatan tersebut. Kita bahkan dapat membaca transkrip rekaman dengan suara asli dengan melakukan search di google............ petikan dari documentary membongkar kasus rekayasa anand krishna........ dimana rekaman tersebut dilengkapi dengan transkripnya.

Bagi orang yang jernih pikirannya, sidang kasus Anand Krishna adalah rekayasa...... Pertama saat di BAP pertama di Kepolisian bulan Februari 2010, Tara mengaku dilecehkan hanya di pegang, peluk, cium, dan di raba-raba. Waktu kejadian dinyatakan sekitar bulan Februari – Juni 2009. Dan hanya ada  1 saksi mata Maya Safira. Perlu di ketahui Maya sudah membantah seluruh keterangan Tara dalam persidangan. Saat BAP ke 2 di Kepolisian sekitar bulan Maret 2010, Tara menambah pengakuan dengan menyatakan bahwa dia di masturbasi dan juga di suruh oral.  Waktu kejadian masih dipertahankan sesuai BAP sebelumnya . Mengaku juga bahwa yang melihat hanya Maya. Dan, lagi-lagi Maya membantahnya…. Kita bisa mendengar rekaman bahwa yang namanya oral seks saja Tara tidak paham. Silakan lihat di freeanandkrishnadotcom.

Setelah dicheck oleh Hakim Albertina Ho di lapangan, kondisi yang dikatakan tempat kejadian itu tidak memungkinkan, bahkan yang namanya masturbasi oral itu apa, yang bersangkutan tidak tahu. Dan, itu semua ada dalam rekaman baik audio di Sidang Pengadilan maupun Video di TKP. Bila Tara betul-betul dilecehkan, maka di tempat perkara dia pasti menangis ingat kejadian yang traumatis. Kenapa dia masih senyam-senyum dan bahkan nampak lokasi TKP pun dia nggak tahu. Semua jelas hanya rekayasa. Sebuah kasus tanpa saksi dan tanpa visum kok bisa dibawa ke Sidang Pengadilan. Setelah terbukti visum masih perawan pun sidang tetap dilanjutkan.......

Humphrey R Djemat, kuasa hukum terdakwa Anand Krishna, berpendapat hanya sekitar 10% pertanyaan yang dilontarkan oleh pihak kepolisian, kejaksaan maupun majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang terkait pasal 290 KUHP tentang pelecehan seksual. Sejak muncul tuduhan pelecehan seksual, 25 Agustus 2010, selama hampir 2 tahun persidangan yang berlarut-larut Anand Krishna lebih banyak dihadapkan pada pertanyaan yang terkait kegiatan ceramah, pemikiran dan isi buku‐bukunya yang dijual bebas di berbagai toko. Anand Krishna sudah 297 hari bergelut dalam kasus ini. Kasus dinilai lebih banyak mengarah ke upaya penghakiman dan kriminalisasi terhadap pemikiran seseorang dari pada pembuktian terjadinya pelecehan seksual.

Akhirnya pada suatu ketika terungkap bahwa Ketua Majelis Hakim Drs. Hari Sasangka, SH.,M.Hum mempunyai hubungan gelap dengan salah seorang saksi yang memberatkan. Hakim Hari Sasangka telah di laporkan di Komisi Yudisial (KY) karena menemui saksi korban wanita dalam kasus pencabulan dengan terlapor Anand Krishna, Shinta Kencana Kheng beberapa kali di tempat berbeda di dalam mobil Shinta pada waktu malam hari. Hari Sasangka akhirnya dijatuhi hukuman berupa hakim non-palu selama 6 bulan dan dipindahkan ke luar Jawa. Akibat perbuatan tercela tersebut Hakim Hari Sasangka langsung diganti oleh Hakim Albertina Ho, sebagai Ketua Majelis perkara Anand Krishna. Drama kisah ini berakhir pada 22 November 2011 saat Albertina Ho memutus Anand Krishna bebas dengan menyatakan Anand Krishna tidak terbukti bersalah.

Setelah hampir sepuluh bulan dan masyarakat mulai melupakan kasus tersebut, tiba-tiba 3 oknum Mahkamah Agung: Zaharuddin Utama (yang menyatakan Prita Mulyasari bersalah dan menghukum 6 bulan penjara serta  menghukum Rasminah dalam kasus pencurian 6 piring dengan hukuman 130 hari penjara); Achmad Yamanie (yang terlibat pembatalan vonis hukuman mati pemilik pabrik ekstasi Henky Gunawan menjadi 15 tahun penjara melalui upaya PK); dan Sofyan Sitompul mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum. 3 oknum Hakim Agung mengabaikan seluruh fakta persidangan yang dipimpin Albertina Ho yang memberi vonis bebas terhadap Anand Krishna. 3 oknum Hakim Agung tersebut hanya memutuskan dari belakang meja berdasar BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang tak terbukti di persidangan.

Semoga bangsa ini cepat sadar dan selalu waspada terhadap para Shakuni yang selalu bergentayangan menyalahgunakan kewenangan yang diembannya dan membuat ketidakadilan bersimaharajalela.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun