Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Rasa Bahagia Masih Terancam Derita? Sudah Benarkah Pandangan Hidup Kita?

2 Juni 2012   21:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon Sidharta Gautama, sang putra mahkota Kerajaan Kapilavastu adalah seorang yang sangat kritis dalam memandang kehidupan. Saat melihat orang sakit, dia sadar bahwa dia pun dapat mengalami sakit dan semua orang dapat mengalami sakit. Baik suka atau tidak suka, keadaan sakit akan mendatangi semua manusia. Kemudian kala Sidharta melihat orang tua yang sedang sekarat, dia sadar pada suatu saat dia pun akan mengalami hal itu, semua orang akan mengalami hal yang sama, mengalami saat maut datang menjemput. Kala Sidharta melihat orang mati, kembali dia sadar bahwa setiap orang akan mengalami kematian termasuk dirinya.

Kita juga mengalami hal yang sama, kita sudah  pernah melihat penderitaan orang yang sakit. Kita juga sudah pernah melihat orang dekat kita mendekati kematian, kala berbaring di rumah sakit dengan berbagai selang infus dengan grafik komputer yang menunjukkan bahwa dia dalam keadaan kritis. Kita juga beberapa kali takziah mendatangi upacara pemakaman orang-orang dekat. Akan tetapi mengapa hati kita tidak terketuk seperti Sidharta? Kita tidak senang berpikir hal buruk yang akan menimpa kita, kita ingin selalu bahagia. Itu saja. Tetapi apakah kita selalu bahagia? Suka dan duka datang silih berganti, tetapi tetap saja kita tidak mau berpikir masalah utama yang menyebabkan duka, padahal setiap suka selalu bergandeng tangan dengan duka. Mungkin sampai nyawa kita diambil Sang Pencabut Nyawa pun kita belum tahu atau belum mau tahu penyebab utama datangnya duka dan penderitaan.

Dikisahkan pada suatu saat, Pangeran Sidharta melihat seseorang yang sakit, yang sedang menghadapi sakaratul maut dan dalam beberapa saat lagi akan mati. Akan tetapi sang pangeran melihat rona kebahagiaan di wajah orang tersebut. Ini kembali menyadarkan sang pangeran, bahwa kejadian yang sama dapat dihadapi dengan rasa penuh kebahagiaan. Kejadian-kejadian tersebut membuat Pangeran Sidharta meninggalkan istana untuk mencari tahu tentang kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang dirasakan setiap saat dalam kondisi apa pun. Dan, akhirnya seluruh umat manusia dapat memetik pelajaran yang diperoleh dari pencerahan sang pangeran.

Banyak anak-anak muda yang bercita-cita muda foya-foya, tua kaya-raya dan mati masuk surga. Mungkin sebagian besar orang menginginkan hal tersebut. Mungkin ada idola yang seakan-akan telah mengalami hal tersebut. Akan tetapi betulkah sang idola mengalami kebahagiaan sepanjang hidupnya? Bukankah kita mengalami sendiri berkali-kali, kita sesaat merasa bahagia dan sesaat kemudian merasa sengsara? Akan tetapi kita tetap nekat menempuh jalan yang sama berulang-ulang. Inilah yang disebut ketidaktahuan atau ignorance. Ketidaktahuan yang tidak kita ketahui. Kita tidak tahu bahwa kita sebenarnya tidak tahu. Bagi seorang Buddha suka-duka yang dialami manusia tersebut disebut dukha. Dan dukha tersebut disebabkan karena keterikatan manusia dengan segala sesuatu.

Dalam buku “Membuka Pintu Hati, Surah Al-Fatihah Bagi Orang Modern”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000 disampaikan......... Lepaskan keterikatan Anda. Lepaskan rasa sombong, rasa angkuh akan harta yang Anda miliki; itu sudah cukup. Jika Anda mampu beli mobil, belilah. Beli sebatas kemampuan Anda. Jangan belanja di atas kemampuan Anda, jangan menyicil. Jangan juga menjadi kikir. Gunakan harta Anda untuk membuat hidup Anda menjadi lebih nyaman. Namun, jangan terikat pada mobil yang baru saja Anda beli. Nikmatilah mobil itu, gunakanlah, tetapi jangan terikat padanya. Keterikatan pada harta-kekayaan, pada kedudukan, pada keluarga semuanya harus dikikis sedikit demi sedikit. Tidak berarti kita menjadi asosial; tidak berarti kita meninggalkan keluarga. Tidak demikian. Yang penting adalah meninggalkan rasa kepemilikan. Yang penting ialah meninggalkan keterikatan. Dan untuk melepaskan keterikatan-keterikatan semacam itu, cara yang paling gampang adalah mengingat kematian. Menyadari bahwasannya hidup ini bersifat fana, sementara, sesaat........

Keterikatan bisa dilepaskan dengan mengingat kematian. Akan tetapi keterikatan juga bisa dilepaskan bila kita ingat kepolosan, keluguan anak kecil. Dalam buku “A New Christ, Jesus: The Man and His Works, Wallace D Wattles, Re-editing, Terjemahan Bebas, dan Catatan oleh Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010 disampaikan bahwa.........  Jika kita terikat dengan salah satu wujud, ketika wujud itu berubah menjadi sesuatu yang lain, kita merasa kehilangan, kecewa, dan berduka. Kendaraan baru kita ditabrak, berubah bentuk menjadi rongsokan, kita kecewa dan berduka. Rumah mewah kita terbakar, berubah bentuk menjadi abu dan puing-puing, kita kecewa dan berduka. Orang yang kita sayangi meninggal, badan berubah bentuk menjadi jasad, jasad menjadi abu, atau kembali ke tanah, kita merasa kehilangan, kecewa, dan berduka......... Adakah kemungkinan kita bisa bebas dari keterikatan?........ Ya, ada kemungkinan. Jika kita bisa menjadi “seperti seoarang anak kecil”. Analogi Yesus sungguh sangat indah, dan mudah untuk dipahami. Awam yang sedang mendengar wejangan-Nya tidak perlu memutar otak tujuh keliling untuk memahami maksud-Nya. Ketika seorang anak kecil kehilangan mainannya, apakah ia menangis hingga berhari-hari? Menangis sebentar, setelah itu ia “lupa”. Ya, sudah. Hilang, ya hilang. Tapi, apa yang terjadi ketika kita kehilangan sesuatu, ketika kita kehilangan seorang yang kita cintai? “Ah, jangan membandingkan orang dengan mainan!” kata kawanku. Tidak, kawan. Tidak, sobat. Perbandingan itu sesungguhnya tidak penting, yang penting adalah “rasa kehilangan”. Seorang anak kecil “kehilangan” sesuatu, dan kita pun “kehilangan” sesuatu, bagaimana sikap dia dan bagaimana sikap kita? Seorang anak balita yang kehilangan ibunya juga tidak akan merasakan seperti apa yang kita rasakan jika kehilangan seorang yang kita cintai..........

.........Kehilangan tetaplah kehilangan.  Lalu, apa yang membedakan seorang anak kecil yang kehilangan dan kita yang kehilangan? Adakah yang membedakan kita, yang sudah dewasa, dari anak kecil yang jelas masih kecil? Adalah “keterikatan” yang membedakan. Seorang anak kecil masih belum “terlalu” terikat. Orang dewasa, sudah “terlanjur” sangat terikat. Kemudian, apa yang terjadi jika seorang dewasa “kembali menjadi seperti seorang anak kecil”? Apakah ia menjadi seperti anak kecil “yang belum terlalu terikat itu”? Tidak, hidup ini tidak mengenal langkah balik. Tidak bisa regresi, itu akan menafikan hukum alam akan evolusi dan kemajuan. Hidup bersifat progresif. Seorang dewasa yang “kembali menjadi seperti seorang anak kecil” melampaui keterikatannya. la tidak melangkah balik, tapi melangkah maju. Supaya kita ingat, Yesus hanya menggunakan “seperti seorang anak kecil” sebagai analogi, perumpamaan. Sebab itu, la menggunakan kata “seperti anak kecil” – childlike, bukan childish atau kekanak-kanakan........

.........Adakah yang membedakan kedua keadaan itu? Adakah yang membedakan keadaan “seorang anak kecil yang masih belum terlalu terikat” dari keadaan “seorang dewasa yang telah melampaui keterikatan, kembali menjadi seperti seorang anak kecil atau yang disebut Tathagata”? Jawabanya: ya, ada. Seorang anak kecil yang belum terikat bersikap cuek, indifferent. Sebaliknya, seorang dewasa yang telah melampaui keterikatan tidak cuek. la tidak indifferent. la tidak meninggalkan masyarakat untuk menyepi di tengah hutan, dan menghabiskan sisa umurnya di sana. Justru sebaliknya, ia menjadi sangat peduli terhadap keadaan dunia. la melayani dunia dengan penuh semangat dan keceriaan, dan tanpa mementingkan keuntungan pribadi. la menjadi pelayan dunia yang sangat istimewa. la menjadi Mesias, ia menjadi Buddha!............

Seseorang tidak harus meninggalkan dunia untuk mencapai ketidakterikatan pada dunia. Dalam buku “Mengikuti Irama Kehidupan Tao Teh Ching Bagi Orang Modern”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama,  2001 disampaikan......... la yang bijak, melewati kehidupan ini, sambil menikmati perjalanannya, tetapi tidak lupa akan jati dirinya. la tidak terikat pada sesuatu apa pun. la yang bijak tidak akan meninggalkan dunia. la tidak akan masuk hutan dan menjadi seorang pertapa. Atau hidup dalam lingkungan pesantren atau biara. Semuanya begitu teratur. Godaannya minim. Dengan itu, pengendalian diri Anda sama sekali tidak teruji. Hidup di tengah keramaian dunia ini, menikmati segala pemberian alam, tetapi tidak terikat pada sesuatu apa pun – demikianlah seorang bijak. la tidak akan pernah lupa jati dirinya. la tak akan pernah lupa bahwa ia hanyalah seorang musafir yang sedang melewati kehidupan.........

Bagaimana pun ketidakterikatan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemahaman. Pemahaman harus direalisasikan, dilakoni setiap hari. Pikiran harus dilatih dengan praktek setiap hari, sehingga menjadi kebiasaan baru, menjadi karakter baru. Apakah mereka yang merokok itu tidak paham bahwa merokok itu berbahaya seperti yang selalu dituliskan dibawah iklan baliho? Mereka tahu, mereka paham, tetapi pemahaman tersebut tidak dipraktekkan, pemahaman kalah dengan kebiasaan, apalagi bila kebiasaan tersebut sudah menjadi keterikatan, sudah terlanjur menguasai diri manusia.......... Bukan hanya merokok tetapi setiap keterikatan bisa menguasai diri manusia. Kita tidak tahu bahwa kita sudah menjadi budak keterikatan........ kita tidak tahu bahwa sebenarnya kita belum bebas, kita masih menjadi budak. Inilah yang disebut ketidaktahuan atau ignorance. Bagi seorang Buddha suka-duka yang dialami manusia tersebut disebut dukha. Dan dukha tersebut disebabkan karena keterikatan manusia dengan segala sesuatu.......

Salah satu program e-learning dari One Earth College (http://www.oneearthcollege.com/) adalah Neo Interfaith  Studies (http://interfaith.oneearthcollege.com/) yang mempunyai tujuan agar para peserta program dapat memberikan apresiasi terhadap keyakinan yang berbeda. Kemudian ada program Ancient  Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) agar para peserta program dapat mengetahui dan menghargai sejarah awal Kepulauan Nusantara. Dan ada lagi program Neo Transpersonal Psychology (http://stponline.oneearthcollege.com/) yang membahas tentang peningkatan kesadaran dari keadaan personal, ego-based menuju keadaan transpersonal, integensia-based sehingga kita dapat bekerja tanpa pamrih pribadi.

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.org/ind/

http://triwidodo.com

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

http://blog.oneearthcollege.com/

Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun