Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Renungan Kebangsaan: Pesan Terakhir Bhisma Di Ujung Keruntuhan Sebuah Rezim Korawa

9 Mei 2011   22:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resi Bhisma pernah bersumpah untuk setia melindungi Kerajaan Hastina. Dalam artikel sebelumnya, “Renungan Kebangsaan: Figur Permaisuri Yang Ambisius Dalam Kisah Mahabharata” sudah disampaikan sekilas tentang pengorbanan Bhisma untuk melindungi Kerajaan Hastina dari perpecahan. Bahkan beliau yang di waktu muda menjadi putra mahkota Hastina dan bernama Dewabrata mengambil sumpah yang mengerikan untuk tidak mempunyai istri, agar Hastina terselamatkan dari perpecahan diantara dinasti Kuru. Bhisma sendiri mempunyai arti “yang mengerikan”, karena dia telah mengambil sumpah yang mengerikan, tidak akan kawin demi persatuan bangsa. Oleh karena itu dia mendapatkan anugerah untuk menetapkan waktunya sendiri kapan meninggalkan jasadnya.

Bhisma tetap setia melindungi Kerajaan Hastina. Apabila penguasanya bijaksana, Bhisma akan mendukung penuh, akan tetapi bila penguasanya lalim, Bhisma akan berusaha sekuat tenaga untuk mengingatkannya. Baginya yang penting negara Hastina aman sentosa dan sedapat mungkin berjalan di jalan yang benar. Dalam intrik-intrik perebutan kekuasaan, antara kelompok pro-Destarastra yang buta, ataupun kelompok pro-Pandu yang sakit-sakitan, Bhisma melindungi negara agar negara tetap utuh. Ketika kebijakan Hastina mulai dibelokkan oleh Patih Shakuni, Bhisma tidak mau mengundurkan diri. Apabila ditinggalkannya, negara Hastina akan semakin kacau. Kalau Bhisma mengundurkan diri karena kecewa terhadap Shakuni, keberadaannya tidak ada manfaatnya bagi Hastina. Usaha diplomasi Sri Krishna untuk menggagalkan perang Bharatayuda didukung Bhisma, tetapi hasilnya sia-sia juga.

Dilema terjadi ketika terjadi perang Bharatayuda, dia akan berada di pihak siapa? Bhisma menenangkan diri, mengheningkan cipta....... Aku ini siapa? Aku bukan badanku, bukan pula pikiran dan perasaanku karena aku dapat menyaksikan mereka dan dapat mengendalikan mereka. Aku abadi, keberadaanku di dunia, menghadapi segala permasalahan pelik adalah untuk menyadari jati diriku. Bhisma tahu Sri Krishna adalah titisan Wisnu, Keberadaan yang mewujud untuk menyeimbangkan dharma kala adharma merajalela. Di dalam dirinyapun terdapat Sri Krishna, sang pikiran jernih. Segalanya berjalan sesuai skenario Sri Krishna.

Dia menolak Yudistira untuk masuk dalam koalisi Pandawa bila terjadi perang bharatayuda melawan Korawa, dan hal ini diketahui oleh Duryudana dan Shakuni. Bila Bhisma berada di pihak Pandawa perang akan batal, karena Korawa menyadari kesaktian Bhisma, kakek mereka. Bhisma tetap bertekad membantu Korawa penguasa “de facto” Kerajaan Hastina yang akan melakukan perang dengan Pandawa. Dia akan menghancurkan pasukan yang berperang melawan Hastina, namun dia tidak akan membunuh kelima Pandawa. Bhisma juga paham bahwa tekadnya mempersatukan Hastina bagi dinasti Kuru adalah perbuatan mulia, tetapi Kehendak Hyang Widhi lah yang terjadi, bukan kehendaknya pribadi. Bhisma paham perbedaan antara “kuru” dan “dharma”, antara “kebaikan atau kepentingan pribadi, keluarga, dinasti dan golongan”, dan “kebaikan atau kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, kebaikan umat manusia”.

Dia harus menjalankan peran yang dianugerahkan Hyang Widhi untuk dirinya. Selama 8 hari sejak perang bharatayuda dimulai, Bhisma didaulat menjadi Senapati dan pasukan Pandawa tidak dapat membunuhnya. Di hari ke-9 Arjuna mengajak Srikandi sebagai naik di keretanya, dan Bhisma sadar Dewi Amba yang dulu terbunuh olehnya dalam usahanya mempersatukan Hastina telah menitis pada Srikandi untuk menyelesaikan tugasnya di dunia. Panah Srikandi mengenai dadanya dan kemudian ratusan anak panah Arjuna menancap pada tubuhnya. Kedua belah pihak sementara menghentikan perang dan menempatkan Bhisma, “Pitamaha”, Kakek Besar kedua belah pihak di tepi medan pertempuran berbantalkan anak-anak panah. Bhisma menunggu kematian di tempat tersebut hingga perang bharatayuda usai dan menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkan jasadnya. Dia mendapat kabar tentang pertempuran di hari-hari berikutnya......

Bhisma yang terpanah oleh Srikandi dan kemudian oleh ratusan anak panah lainnya, paham dia tidak akan sembuh. Hutang kematian Dewi Amba telah terbalaskan oleh Srikandi. Akan tetapi beliau tetap sadar, bahwa setiap keluhan, kekecewaan yang terbersit dalam pikiran di akhir hayatnya akan mengakibatkan adanya obsesi baru yang akan membuatnya lahir kembali. Setiap saat dia hanya mengingat Sri Krishna, fokus pada Sri Krishna. Kedatangan Sri Krishna bersama Pandawa membesarkan hatinya. Bhisma pasrah dengan keadaannya, menunggu saat yang amat mulia untuk meninggalkan jasad sambil terus memperhatikan Sri Krishna. Ketika posisi matahari dan bulan harmonis dan matahari mulai bergerak ke utara yaitu pada tanggal 14 Januari 3.000 SM Bhisma meninggalkan jasadnya dengan menyebut Om, Sri Krishna ya namaha, Hyang Ada Hanya Gusti (Hyang juga disebut sebagai Sri Krishna), yang lain-lainnya tidak ada kecuali manifestasi atau wujud Gusti.....

Sebelum kematiannya Bhisma sempat memberi nasehat kepada Yudistira tentang dharma. Dalam buku “Surat Cinta Bagi Anak Bangsa”, Anand Krishna, One Earth Media, 2006 disampaikan pesan Bhisma tentang dharma......... “Segala sesuatu yang menciptakan ketakserasian, perpecahan dan konflik, itulah Adharma”. Bhishma terlebih dahulu menjelaskan apa yang “bukan dharma”, Disharmony, Disunity and Conflict. Ketiganya inilah sifat adharma. Siapa pun yang menciderai persatuan dan menyebabkan konflik, ketegangan yang berpotensi memecahbelah bangsa adalah adharma. Ia tidak mengetahui arti dharma. Dan, segala apa yang dapat mengakhirinya, adalah Dharma. Dharma mengakhiri ketakserasian, perpecahan dan konflik atau ketegangan. Makanya tidak bisa diselewengkan. Tidak bisa diputarbalikkan. Dharma, Walau dapat diterjemahkan sebagai syariat, tidak bisa dikaitkan dengan akidah salah satu agama. Ia tidak tergantung pada pemahaman para alim ulama yang lebih sering menyelewengkan makna ayat-ayat suci demi kepentingan diri, kelompok, dan tidak kurang dari itu. “Dharma strengthens, develops unity and harmony”. Dharma memperkuat, mengembangkan persatuan dan keserasian demikian menurut Bhishma. Unity. Persatuan, bukan kesatuan. Unity bukanlah keseragaman. Itu uniformity. Perbedaan sekitar kita, antara kita, dapat dipertemukan, dipersatukan. Dharma adalah Tujuan akhir setiap agama dan kepercayaan. Hidup berkesadaran, hidup dengan jiwa bersyariat itulah Dharma. Syariat yang dipaksakan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan adalah syariat yang semu, dangkal.

Dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan, dan Cara Mengatasinya”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007 disampaikan....... Dharma atau kebajikan. Kebajikan adalah ketepatan bertindak. Kebajikan juga berarti kebaikan dalam arti kata seluas-luasnya. Meraih pendidikan yang baik dan tepat adalah juga dharma. Menjalankan tugas kewajiban kita dengan baik dan tepat adalah juga dharma. Menjalani hidup ini demi kebaikan adalah juga dharma. Ketepatan dalam hal berpikir dan berperasaan adalah juga dharma. Dharma adalah kemanusiaan dalam diri manusia. Dharma adalah kesadaran berperikemanusiaan. Bagi seorang prajurit, membunuh musuh di medan perang adalah dharma. Bagi seorang rohaniwan, dharma adalah memaafkan seorang penjahat, sekalipun ia telah berlaku keji dan membunuh. Bagi seorang pengusaha, dharma adalah membantu memutarkan roda ekonomi, bukan hanya mencari uang untuk diri sendiri. Dan, bagi seorang pekerja, dharma adalah melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Setiap orang dituntut untuk menjalankan dharmanya sendiri, atau swadharma melaksanakan tugas kewajibannya seusai dengan kemampuannya.........

Dalam 140-an buku karyanya, Pak Anand Krishna selalu menyuarakan dharma. Beliau selalu menentang Disharmony, Disunity and Conflict...... Beliau yakin terhadap Bhineka Tunggal Ika, Nampaknya Berbeda tapi Satu jua...Tan Hana Dharma Mangrwa. Tidak ada Dualitas dalam Hal menjalankan Dharma. Dharma apa? Dharma Negara, Dharma Bangsa, Dharma Manusia. Dharma Perikemanusiaan. Dharma Hidup dan Kehidupan......

Bahkan walaupun mendapat ketidakadilan dalam persidangan.... (lihat berkas lengkap di http://freeanandkrishna.com/)..... Pak Anand Krishna tetap mengajak mereka yang sadar untuk selalu mendoakan Jaksa dan para Hakim agar dapat menjalankan amanah yang diemban mereka untuk melaksanakan persidangan dengan fair......

Ada beberapa “wise quotation” dari seorang bijak yang perlu direnungkan bersama......... Dharma adalah segala kegiatan yang selaras dengan alam. Alam selalu memberi tanpa mengharapkan imbalan....... berdoa pun jika hanya meminta untuk diri dan keluarga saja, maka sesungguhnya kita belum menyembah Hyang Maha Esa. Kita baru menjadi peminta-minta/pengemis saja. Demikian juga dengan pekerjaan, jika kita hanya memikirkan diri, maka pekerjaan kita belum dharmic, belum selaras dengan alam........ Apakah hidup kita sudah sesuai dengan dharma atau tidak? Jawabannya mudah dan dapat diperoleh dari diri sendiri. Dharmic lifestyle menyehatkan, membahagiakan, dan menenangkan. Jika kita tidak seperti itu, maka lifestyle kita mesti diubah supaya menjadi dharmic. Dharmic lifestyle tidak berarti memisahkan diri dari keramaian, tapi justru mempertahankan kesepian dan keheningan diri di tengah keramaian. Tidak terpengaruh oleh orang lain dan tidak pula berusaha untuk mempengaruhi orang lain. Melihat dharmic lifestyle kita, jika ada yang terpengaruh dan mau mengikuti, maka monggo. Jika tidak ya okay juga......... Adalah kewajiban kita untuk memastikan bahwa kita berada di jalur dharma. Tidak ada orang lain yangdapat memastikan untuk kita. Termasuk seorang Guru pun tidak bisa melakukan hal itu........ Suara nurani sudah terdengar tapi kita tidak mau ambil pusing. Inilah sebab kegagalan kita dalam hidup. Mendengarkan dan mengindahkan suara nurani itulah dharma........


Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun