Di Belanda orang tidak perlu takut menaruh kendaraannya di pinggir-pinggir jalan. Kalau di Indonesia orang mati-matian pakai filter kamera hanya agar nampak lebih cantik. Kan ini namanya tidak jujur".
Sebuah pernyataan yang membuat netizen melongo, bukan?
Ide-ide yang disampaikan cenderung sederhana, maka dari itu ia seringkali diabaikan. Tapi bagi rekan-rekan yang peduli, Galih bisa menjadi ancaman. Seperti halnya Nurul yang nampak manggut-manggut mendengar pendapat Galih. Padahal bisa jadi Galih tak peduli orang lain tersentil atau tidak. Ini juga menjadi salah satu ciri khas dari autis yang mengabaikan unsur emosi pada diri orang lain.
"Jangankan saya, Pak. Guru saja ditegur kalau berani datang terlambat ke kelas". Terang Nurul.
Bagusnya lagi, dia selalu menggunakan kata permisi di awal pembicaraannya. Seperti;
"Permisi, saya mau membaca koran itu"
"Permisi, di depan sudah ditulis dilarang makan di dalam ruangan perpustakaan"
"Permisi, suaranya kecilkan. Saya terganggu"
Pengidap autis seperti Galih mungkin sulit bersahabat dengan manusia. Salah satu teman terbaik baginya adalah buku. Simpel dan tak perlu memahami apakah ada kesedihan, kebahagiaan, atau kemarahan di dalamnya. Nggak harus ribet memecahkan kode rahasia 'aku ngga apa-apa'nya cewe yang sampai sekarang masih menjadi momok.
Oleh karenanya, jangan mencari Galih di dalam ruang kelas saat jam istirahat, atau di gazebo, apalagi di kantin. Pepustakaan adalah tempat paling aman baginya. Jelas saja, dia punya tingkat konsentrasi yang sangat tinggi saat membaca.
Alih-alih menyukai komik, novel bertemakan cinta, atau artikel di mojok.co, Galih konsisten membaca buku-buku sejarah.