Indonesia mencetak sejarah 'pernah' memberangkatkan ribuan guru ke pelosok negeri atau lebih dikenal dengan istilah daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Misi utama program ini adalah pemerataan pendidikan serta mengisi kekosongan pendidik di daerah sasaran. Meskipun dampak dan manfaat yang ditimbulkan begitu signifikan, kita harus berbesar hati menerima kenyataan bahwa program ini berakhir di angkatan ke VI.
SM-3T dicetuskan sebagai solusi permasalahan pendidikan di Indonesia. Pada awal kemunculannya program ini tidak begitu populer di kalangan sarjana pendidikan.Â
Tahun berikutnya ribuan orang berbondong-bondong mengikuti seleksi dan ingin mengabdi di pedalaman-mencari pengalaman hidup, terlebih lagi ketika pemerintah memfasilitasi PPG (Pendidikan Profesi Guru) secara gratis serta menggembor-gemborkan para guru SM-3T ini diprioritaskan menjadi Pegawai Negeri Sipil melalui jalur khusus-Guru Garis Depan (GGD).
Seiring berjalannya waktu, kebijakan terus berubah mengikuti perkembangan situasi pendidikan. SM-3T dihentikan, PPG prajabatan dibuka secara umum, ditambah lagi program GGD tak nampak hilalnya secara bertahun-tahun.Â
Alhasil banyak alumni SM-3T yang belum terberdayakan dan nasibnya masih terkatung-katung, sekalipun telah menjadi seorang 'sarjana plus' dengan embel-embel gelar 'profesional'.
Terlepas dari kejelasan yang tak kunjung datang mengenai 'mau diapakan' para sarjana yang sudah mengabdi selama 1 tahun di pedalaman dan menempuh Pendidikan Profesi Guru (bergelar Gr.) ini, ada beberapa hal yang patut kita syukuri pernah menjadi bagian dari SM-3T.
Mengetahui kondisi praktis sekolah di pedalaman
Mengajar di perkotaan dengan daerah 3T memiliki tantangan yang khas. Di perkotaan mungkin kita tidak menemui siswa yang harus berjalan berkilometer tanpa alas kaki untuk berangkat sekolah, mengajar dengan fasilitas terbatas, tidak ada buku ajar, guru honorer harus digaji 3 bulan sekali dengan besaran yang tidak seberapa.Â
Satu orang guru harus mengampu beberapa mata pelajaran yang bukan bidangnya, guru-guru yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan sesuai perundangan, anak-anak yang harus dijemput di rumahnya agar mau berangkat sekolah, ketinggalan informasi karena minimnya akses komunikasi, dan sebagainya.