Mohon tunggu...
Tri Wibowo Cahyadien
Tri Wibowo Cahyadien Mohon Tunggu... Guru - Guru bidang studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Minat dalam bidang sosial, sejarah, politik, psikologi, pendidikan, pemerintahan dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menulis Tangan di Era Digitalisasi Pembelajaran, Perlukah?

31 Oktober 2024   11:31 Diperbarui: 31 Oktober 2024   11:45 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik. Inilah ungkapan pertama kali, saat mendengar pertanyaan dari salah satu peserta didik pada saat diberikan tugas untuk menulis materi pembelajaran sesuai dengan pemahamannya. Dia bertanya : "Pak, kapan ya sekolah kita berubah jadi ga nulis -- nulis kayak gini lagi?" dia menambahkan : "kaan sekarang eranya udah digital pak, udah pakai e book, tab".

Jauh sebelum pertanyaan ini terlontar dari seorang anak didik saya, saya sudah mendapatkan pemahaman bahwa proses pembelajaran di era digitalisasi seperti saat ini masih membutuhkan pola belajar dengan membaca dan menulis. Hal ini bukan tanpa alasan. 

Mengutip sebuah makalah yang dipublikasikan di Frontiers in Psychology menyimpulkan setiap kali gerakan tulisan tangan dilakukan, lebih banyak bagian otak yang terstimulasi sehingga menghasilkan pembentukan konektivitas jaringan saraf yang lebih kompleks. Dengan kata lain, menulis dengan tangan, bukan mengetik dengan keyboard, membantu kita untuk mengingat sesuatu.

Pandangan mengenai pentingnya menulis dalam pembelajaran diperkuat juga oleh studi yang dilakukan Profesor Audrey van der Meer di NTNU. Studi tersebut menyatakan bahwa penggunaan pena dan kertas memberi otak lebih banyak 'kait' untuk menggantung ingatan Anda. Menulis dengan tangan menciptakan lebih banyak aktivitas di bagian sensorimotor otak. 

Banyak indra diaktifkan dengan menekan pena di atas kertas, melihat huruf yang Anda tulis dan mendengar suara yang Anda buat saat menulis," jelas Van der Meer seperti dikutip dari Times of India.

Di sisi lain, penggunaan gawai sebagai konsekuensi dari berkembangnya digitalisasi yang juga memberikan dampak terhadap transformasi pembelajaran tidak dapat dipungkiri memberikan berbagai pengaruh negatif. 

Temuan di lapangan, peserta didik cenderung tidak fokus, tidak serius, kurang konsentrasi bahkan cenderung manipulatif. Peserta didik mengerjakan tugas secara tergesa -- gesa, ingin cepat selesai karena ingin menggunakan gadgetnya untuk bermain, entah untuk sekedar membuka media sosial atau bermain game online. 

Hal ini juga ditemukan saat proses ujian dilakukan secara online terbatas. Beberapa oknum peserta didik memanfaatkan teknologi untuk melakukan pelbagai kecurangan, mencari jawaban dari aplikasi -- aplikasi dan selesai dengan cepat. Akhirnya, hal ini kelak akan berdampak pada tidak validnya hasil evaluasi pembelajaran, karena alat ukur evaluasinya diakali dengan kecurangan dengan sedemikian rupa.

Perihal dari dampak buruk penggunaan gawai sudah banyak terdokumentasikan dalam bentuk jurnal atau hasil penelitian. Peneliti ilmu psikologi dan otak Universitas Indiana, Amerika Serikat, Karin James, menulis makalah yang terbit di jurnal Association of Psychological Science edisi 2017.

 Ia menjelaskan, memakai gawai, meskipun menyenangkan, sebenarnya memiskinkan anak dari latihan motorik. Selain itu, radiasi gawai buruk bagi mata dan membuat anak tidak mengembangkan kemampuan berkonsentrasi dalam waktu lama.

Di jurnal yang sama pada 2014, Pam Mueller dari Universitas Princeton dan Daniel Oppenheimer dari Universitas California Los Angeles menerbitkan makalah berjudul The Pen Is Mightier Than the Keyboard. 

Mereka meneliti para mahasiswa di Princeton, yaitu yang terbiasa mengetik dengan komputer pangku selama mendengar kuliah dan kelompok yang terbiasa mencatat dengan tangan. 

Hasilnya ialah kelompok yang mencatat secara manual memiliki pemahaman lebih mengenai materi kuliah dibandingkan dengan yang mengetik di komputer. Hal ini karena setiap orang memiliki cara tersendiri menyerap informasi. Misalnya, ada yang mencatat dengan tertib, seperti notulensi, ada yang menyingkat seperti stenografi, dan ada pula yang lebih mementingkan pemetaan persoalan.

Dari beberapa referensi di atas, memberikan argumentasi logis mengenai arti penting menulis dalam proses pembelajaran. Dalam aktivitas menulis ada aktivitas membaca dan mengingat dan tentunya lebih banyak menstimulus otak.

 Di sisi lain, pembatasan penggunaan gawai juga memberikan ruang konsentrasi peserta didik menjadi lebih banyak. Serta tentunya juga meminimalisasi dampak buruk kesehatan seperti menurunnya kemampuan mata karena seringnya menatap gawai.

Pembelajaran yang menyenangkan adalah yang dapat mengoptimalisasi potensi yang ada, penggunaan gawai tidak dipermasalahkan namun perlu diatur agar tidak menjadi ketergantungan. Di sisi lain, pembelajaran dengan cara konvensional, nyatanya juga lebih memberikan dampak positif dalam optimalisasi kerja otak.

 Karena pada hakikatnya, kemajuan teknologi terjadi untuk memuliakan serta memudahkan aktivitas manusia, namun di sisi lain, pada akhirnya teknologi nyatanya juga menihilkan nilai kemanusiaan yang secara kodrati sudah dianugerahi oleh sang pencipta pada tiap manusia.

Kembali ke cerita awal, akhirnya peserta didik itu diberikan pemahaman mengenai arti penting menulis dalam pembelajaran. Walaupun raut wajahnya menunjukkan penolakan terhadap penjelasan yang disampaikan, itu tidak dipermasalahkan. Karena proses pembelajaran terus berjalan dan bukan hal yang secara instan langsung dapat dipahami oleh setiap insan pembelajar.

Pondok Pinang

31 Oktober 2024

10.50 AM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun