Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Administrasi - Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Intermezzo Kehidupan

25 Oktober 2024   14:55 Diperbarui: 25 Oktober 2024   18:35 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu terus berjalan dengan pasti, kadang terasa lambat, kadang terasa cepat. Memori-memori masa kecil terbayang samar. Cerita beratnya hidup yang dilalui tak semudah dan terasa lamban saat kita menjalaninya. Kulit pun mulai mengendur, wajah tak secerah dulu, rambut mulai menguning dan ingatan pun mulai memudar tak setajam dulu. Mata yang tadinya awas dan tajam mengamati kini mulai suram dan kabur, tak pelak butuh waktu agak lama memastikan huruf demi huruf kecil kandungan nutrisi yang tertera di bungkus makanan.
 
Umur tidak lagi muda, walaupun juga tak terlalu tua. Obrolan ke-nakal-an hanya kenangan, berganti dengan hangatnya diskusi kesehatan disertai pengalaman-pengalaman kesakitan. Undangan ulang tahun sedikit demi sedikit berganti dengan undangan pernikahan, mencari rumah teman, berganti dengan pencarian nomor kamar rumah sakit yang kadang kala bersambung ke blok pemakaman.
 
Kematian adalah kepastian, walaupun umur bukan patokan, tapi jika peluang yang dianggap lebih besar yang tertimpa kematian adalah yang lebih tua, maka detik demi detik kita akan dipertontonkan dengan kematian-kematian Kakek-nenek, orang tua, paman-bibi, kakak-kakak serta orang-orang yang kita cintai yang pernah menjadi saksi kelahiran kita, menjadi saksi kenakalan masa remaja kita, menjadi saksi keberhasilan rumah tangga kita dan akhirnya juga menjadi saksi atas kebaikan atau kesombongan kita. Sedangkan, Kita menjadi saksi atas mereka menjadi tua dan rapuh, menjadi saksi ke-sholeh-an dan berbaktinya anak-anak mereka.
 
Hari terbesar dalam hidup itu adalah akhir hidup itu sendiri. Hari besar itupun akan tiba. Di hari itu semua akan berkumpul menangisi kematian kita, orang yang mencintai kita meraung-raung menyesalkan kepergian kita yang dianggap terlalu cepat. Tapi, hari demi hari akan berganti, ingatan-ingatan tentang kehidupan kita sedikit demi sedikit akan sirna, rasa sedih akan berganti menjadi kisah sedih, orang-orang mulai melupakan kita dan melanjutkan hidup mereka masing-masing. Tahun berganti tahun, makam tempat peristirahatan terakhir kita mulai sepi tak dikunjungi. Cucu-cicit yang baru terlahir di dunia tidak pernah mengenal kita. Cerita-cerita hidup kita tidak lagi menjadi topik dan berganti dengan kelucuan-kelucuan sang cucu. Nama dan kisah hidup kitapun tergilas roda kehidupan, tergantung di semak sanubari terdalam, terkubur dalam remang waktu, tenggelam di palung hati dan akhirnya pupus ditelan jaman.
 
Ahh hidup... engkau begitu banyak memberi aku cobaan, begitu banyak yang harus aku lalui, namun setiap kali pemikiranku mulai matang, episode itu berganti dengan tema-tema baru yang terus menantang. Kadang capek, Lelah, mumet dan berharap segalanya cepat berakhir. Namun, pantaskah itu segera berakhir? Dikala tidak ada satupun bekal yang kau siapkan untuk penerus perjuangan hidupmu?. Kepicikan senantiasa mengelabui, menguasai hati untuk mendengki. Sadarlah kawan, tubuh kita hanya bagian organisme yang terbentuk untuk mempertahankan hidup. Mati mu hanya bagian kecil dari proses pembentukan rantai kehidupan lain. Kau atau bagian dari dirimu mungkin akan berubah menjadi ganggang atau bakteri lucu penghuni ketiak kucing, atau mungkin menjadi amoeba yang menjadikan orang sakit perut.
 
Hidup kita adalah konsekuensi bigbang, hantaman asteroid dan sup purba yang mendingin yang kemudian membentuk sel-sel tunggal kehidupan awal di muka bumi, lalu berevolusi menjadi diri kita yang sekarang. Jika demikian, seberapa pantas kita mempertontonkan kesombongan dan ke-aku-an? Karena hidup dan mati hanyalah sebagian kecil dari siklus kebetulan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun