Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Administrasi - Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memoar Tanpa Batas

12 Juli 2019   21:53 Diperbarui: 23 Juli 2019   10:55 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"kita pulang aja ya.."  sambungku.. papih kembali terdiam.  sayup suara takbir mulai terdengar, tanda besok adalah hari lebaran, malam itu adalah malam yang berat yang pernah aku alami, tapi aku sadar, harus ada orang yang tegar menghadapi suasana, kalau tidak begitu, kuatir tidak beres, atau setidaknya cukup tegar untuk membereskan dan mengatur segala hal, mulai administrasi rumah sakit sampai dengan membawa jenasah ke kampung halaman ku.

" Ya udah urus aja.". terdengar papih menimpaliku. 

"tapi pih.. " sambutku, "gimana si mamih?"  tanyaku.

Mamih orang yang paling setia menemani kakak ku, setelah suami terakhir kakak ku pergi tanpa kejelasan, beliaulah yang setia terus mendampingi kakak ku, selama di rumah sakit, di rumah, bahkan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umroh,  kala  itu kakak ku tiba-tiba menyampaikan keinginannya untuk umroh.

"sekaliii... aja setidaknya seumur hidup... " kata mamih yang menirukan kalimat kakak ku ketika menyampaikan harapannya dihadapanku.  Aku berusaha memenuhi keinginannya, setidaknya memang itu adalah mimpi setiap muslim, apalagi sakit ginjal kakak ku tidak mungkin untuk bisa disembuhkan.. dalam pikiran dan pemahaman ku. Semoga menjadi bekal yang baik, karena usia adalah rahasia ilahi.

Mamih memang hebat. gambaran kasih ibu sepanjang jalan, beliau tidak pernah "melepas" kakak ku selama sakit, kurang lebih setidaknya dalam waktu 1 tahun terakhir ini, pernah aku menghampiri beliau yang sedang beristirahat dalam kamarnya, aku melihat rambutnya memutih. surprised bagi ku, karena aku tidak pernah melihat hal itu sebelumnya, entah selama ini rambutnya memang masih hitam dan kemudian memutih atau memang sudah putih tapi selalu disemir dengan warna hitam? Setidaknya, hal itu juga membuat aku terhenyak, betapa beliau tidak sempat mendandani diri, papih berkelakar waktu itu.. 

"nah geus nini-nini"  (sudah nenek-nenek).. katanya ketika aku berkata "mih.. rambutnya putih".. henyakku terhenti.

"rambut putih itu tandanya letih, tapi juga tanda lambang kebijaksanaan", tambahku... mamih hanya tersenyum  kecil menanggapi celoteh receh ku.

Seharian ini mamih tak mau lepas, ICU rumah sakit cikini pun menjadi bukti sekaligus ajang beliau meluapkan emosi dan rasa sedih, menunggui neneng kakak perempuanku satu-satunya, mamih tidak mau melepas harap, seolah menuduh dokter yang menangani kakak ku menyembunyikan kemampuannya untuk menyembuhkannya. tak henti-hentinya dia pingsan tak sadarkan diri, menangis tersedu melihat kondisi kakak ku  yang sepertinya mulai pasrah dengan semua ini, hal ini pula yang menjadi halangan bagiku untuk memisahkan kebersamaan mereka. apa mungkin mamih mau melepaskan neneng yang sebenarnya menurutku sudah tiada saat itu. 

"Suruh aja kesini, bilang  disuruh papih.."  papih menimpali memecah waktu yang tadi sejenak bagai terhenti, seolah paham arah pertanyaan ku , sekilas beliau  terlihat mulai bisa mengendalikan dirinya.

Aku bergegas menuju ruang ICU, aku sampaikan pesan papih ke mamih.. mamih yang tadinya terfokus meratapi sosok yang tergeletak didepannya mulai beringsut, kaget mendengar kabar papih memintanya untuk kembali ke ruang perawatan yang dengan sengaja kubuat drama seolah ada sesuatu yang sangat penting terjadi pada dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun