Mohon tunggu...
Tri Sukmono Joko PBS
Tri Sukmono Joko PBS Mohon Tunggu... Dosen - Tenaga Pengajar, Sekretaris Pada Yayasan Lentera Dikdaktika Gantari

Hobi membaca, senang menjadi narasumber di Bidang Manajemen Risiko

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Gratifikasi Belum Terjadi Apakah Bisa Di Hukum

15 Januari 2025   09:50 Diperbarui: 15 Januari 2025   09:50 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme ada upaya di lingkungan Kementerian Pendidikan melakukan pengendalian atas gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni berupa uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan cara elektronik maupun non elektronik.

Dalam Permendikbud Nomor 29 Tahun 2019 tentang Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, gratifikasi dibagi menjadi dua yakni gratifikasi yang dibolehkan dan gratifikasi yang dilarang. Dalam tulisan ini tidak akan dibahas gratifikasi yang dibolehkan tetapi lebih fokus membahas kepada Gratifikasi yang dilarang. Gratifikasi yang dilarang biasanya diberikan oleh orang kepada orang, atau lembaga kepada orang dengan tujuan untuk memperoleh perlakuan berbeda atau kemudahan dari sipenerima baik pada saat itu atau pun mendapat kemudahan di masa mendatang. Besar kecilnya gratifikasi akan berpengaruh pada hubungan psikologis antara kedua pihak yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perlakuan atau layanan dari sipemberi layanan kepada si pemberi gratifikasi. Hal ini tidak bisa disangkal, bahkan dalam hubungan yang sifatnya tradisional sekalipun, ada perasaan berhutang dari pihak penerima bantuan kepada pihak pemberi bantuan. Dalam kehidupan tradisional di Bali misalnya, ketika orang membantu atau mendatangi tetangga yang mendapat musibah kematian anggota keluarganya, maka pihak yang terkena musibah pada suatu hari akan berusaha membalas bantuan tersebut atau akan hadir dalam upacara kematian dari orang-orang yang telah membantunya. Hal ini dapat ditemukan dalam perbincangan sehari-hari bahwa ada seseorang yang tidak pernah di rumah karena kesibukan bisnisnya, sehingga ketika ada tetangga terkena musibah yang bersangkutan tidak dapat hadir dan memberikan bantuan. Ketika orang yang sibuk bisnis tadi terkena musibah, maka yang datang membantu hanya sedikit dari kalangan tetangga dan lebih banyak dari lingkungan keluarga. Tidak hanya di Bali di Pedesaan Jawapun demikian. Jadi secara psikologis hal ini telah tertanam dalam nilai tradisi (reprositas) bahwa ketika seseorang menerima bantuan maka ada kewajiban bagi orang itu untuk membalasnya atau akan membawa mati hutang budi.

Budaya balas budi ini akan baik diterapkan di lingkungan masyarakat, namun akan menjadi masalah ketika hal ini dibawa ke dalam lembaga yang seharusnya melayani secara profesional. Apakah anda akan membiarkan seseorang yang mengantri didepan loket layanan terpadu anda, ketika anda tahu bahwa salah seorang dari yang mengantri adalah orang yang pernah memberikan sesuatu kepada anda ketika anda melakukan kunjungan dinas. Biasanya anda akan secara diam-diam mendekat dan menanyakan nomor antrian orang tersebut, kemudian anda akan mengajaknya ke tempat tertentu dan melayaninya secara khusus. Itu tidak akan menjadi masalah besar sepanjang orang yang mengantri lainnya tidak mengetahui hal itu, tetapi bila hal itu diketahui apa reaksi mereka? Itu tidak perlu dibahas disini, karena anda sudah bisa menebaknya.

Begitu pula dalam lingkup kerja profesi auditor, budaya balas budi ini dapat membahayakan atau merusak profesionalisme dan independensinya. Auditor akan kesulitan dalam menjaga obyektivitas apabila yang bersangkutan menerima atau dijanjikan atau mempunyai harapan akan menerima sesuatu sebelum, sedang, atau setelah proses audit berlangsung. Gratifikasi kepada auditor secara psikologis akan mengubah penilaian auditor terhadap yang pihak yang diaudit, ketelitian, ketajaman analisis, dan ketegasan secara relatif akan menurun. Bisa dibayangkan bagaimana hasil audit yang dipengaruhi oleh adanya gratifikasi. Oleh karena itu, auditor bila ingin menjaga indenpendensi dalam melaksanakan tugas audit maka ia  wajib menolak gratifikasi berapapun nilai gratifikasi yang diberikan, dalam Permendikbud Nomor 29 Tahun 2019 pasal 6 (1) Pegawai Kementerian Wajib menolak Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 yang antara lain disebutkan gratifikasi dalam rangka kunjungan dinas. Auditor dalam melaksanakan tugasnya termasuk kategori kunjungan dinas dan dalam surat tugas tertulis “ Pegawai Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tidak Menerima Gratifikasi Dalam Melaksanakan Tugas”. Pasal 6 Peraturan Menteri tersebut tidak menyebutkan berapa besaran gratifikasi, artinya berapa pun nilainya wajib ditolak, apabila tidak dapat ditolak baru hal itu dilaporkan kepada Tim Pengendali Gratifikasi.

Terkait dengan etika, maka gratifikasi termasuk perbuatan tidak etis dari sisi:

  • Mengharapkan perlakuan yang berbeda atas gratifikasi yang diberikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang;
  • Pemberi gratifikasi tidak menghormati Pimpinan Instansi yang menugaskan si penerima gratifikasi, karena dengan jelas tidak mengindahkan peringatan yang tertulis di dalam surat tugas terkait larangan menerima gratifikasi;
  • Bagi penerima juga telah melakukan perbuatan tidak etis, karena tidak menghormati pimpinannya sendiri dan bertindak tidak profesional karena dengan gratifikasi yang diterima ada indikasi untuk mengubah hasil akhir.
  • Gratifikasi merusak profesionalitas dan layanan yang bersih dari korupsi.

Lalu ada pertanyaan bagaimana kalau ada tawaran gratifikasi namun ditolak apakah masih akan diproses hukum? Jawabnya pegawai pemerintah yang menerima tawaran gratifikasi harus menolak, namun penolakan itu harus ada jejak dokumentasinya baik itu berupa rekaman suara, chat di Watshap atau SMS, atau pun foto. Hal ini penting karena setelah melakukan penolakan atas tawaran gratifikasi pegawai yang bersangkutan tetap berkewajiban melaporkan kepada Satuan Tugas Pengendalian Gratifikasi. Bila sudah dilaporkan, maka proses hukum sudah tidak ada lagi, kalau pun ada itu terkait motif dari pihak pemberi itu pun sekedar pada upaya pencegahan dan pembinaan agar tidak terjadi korupsi. Tidak bisa dijatuhi hukuman orang yang ditawari gratifikasi bila yang bersangkutan menolak dan menunjukkan bukti penolakannya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun