Mungkin banyak yang merasakan hal seperti ini, di saat ada orang memiliki kemampuan yang lebih di antara rekan-rekan sekerja tetapi pihak kantor tempat bekerja tidak memberikan penghargaan, malah lebih senang menggunakan tenaga dari luar yang justru keahlian dan pemahaman akan substansi jauh di bawah kita.Â
Inilah yang terjadi di lingkungan orang-orang yang bekerja di pemerintahan di mana keahlian yang dimiliki pegawai itu bukan sesuatu yang harus dihargai seperti berlian tetapi dihargai ala kadarnya saja.Â
Karyawan yang memiliki keahlian lebih dihargai seperti karyawan lainnya yang tidak memiliki keahlian, gaji dan tunjangan boleh yang sama, yang membedakan hanya golongan dan pangkat saja itu karena lamanya bekerja. Semakin tinggi pangkat dan jabatan maka semakin tinggi juga gaji dan tunjangan.
Orang yang memiliki keahlian justru akan dihargai oleh lembaga di luar tempatnya bekerja walaupun sebenarnya penghargaan itu pun tidak seberapa, mengapa demikian? Karena dalam standar biaya masukan anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah seseorang yang memiliki keahlian dan digunakan untuk kantornya sendiri, maka imbalan yang diterima hanya gaji dan tunjangan saja selebihnya hanya uang transportasi lokal dan honor fullday yang besarannya sama antara yang menjadi narasumber dengan yang jadi pendengar.Â
Bisa sedikit lebih berbeda bila yang mengundang adalah organisasi pemerintahan yang berbeda kementerian, maka imbalannya dihitung berdasarkan orang per jam dan itu pun besarannya tidak seberapa bila dibanding pihak swasta yang menggunakannya.Â
Dampak dari kurangnya penghargaan ini orang menjadi bekerja ya biasa-biasa saja dan tidak akan menggunakan seluruh kemampuan untuk mengejar prestasi toh semua orang dibayar sama. Yang ingin lebih dalam saya bicarakan bukan tentang imbalan uangnya, tetapi sikap dari pimpinan organisasi yang kurang menghargai kompetensi yang dimiliki para pegawainya dan bukan cuma itu budaya organisasi yang buruk juga telah mengesampingkan penghargaan atas orang-orang yang memiliki kompetensi lebih.Â
Sering kali pimpinan tidak mendengarkan masukan atau saran dari karyawannya yang terlihat memiliki kompetensi lebih bahkan berusaha mengerdilkan karyawan tersebut agar tidak terlihat menonjol. Begitulah Budaya yang kurang baik dalam organisasi di mana orang yang memiliki kecerdasan dan kompetensi lebih akan dijadikan sebagai musuh bersama. Semua orang dipaksa dengan budaya seperti itu untuk tidak menonjol, istilahnya kalau mau maju yang harus bareng-bareng dan kalau mundur juga harus  bareng-bareng.Â
Bagi orang-orang yang memiliki kompetensi lebih kondisi ini dirasa merugikan bukan cuma masalah perkembangan karier yang terhambat tetapi juga masalah pengakuan atas eksistensi diri. Di luar sana banyak orang yang menghargainya dan menghormatinya, memperlakukan sebagaimana layaknya seorang ahli atau seorang yang berilmu, sehingga hal ini mendorongnya lebih banyak berkreativitas di luar organisasi tempatnya bekerja, banyak yang menulis di jurnal atau majalah luar walaupun di lingkungan kantornya telah ada media untuk menulis.Â
Apakah yang dicari hanya masalah imbalan dari menulis? Tentu tidak, yang diharapkan dari penulis sebenarnya adalah adanya orang yang bersedia membaca tulisannya. Sayangnya literasi baca di kalangan pegawai pemerintah masih rendah sehingga percuma menulis ber-halaman-halaman kalau tidak ada yang membacanya, tabloid atau majalah kantor hanya dipajang di rak meja tamu.
Jadi ternyata menjadi orang luar itu memang akan lebih dihargai, oleh karena itu apabila anda sudah dihargai oleh instansi tertentu, maka anda jangan berkeinginan pindah dan bergabung dengan instansi itu karena begitu anda menjadi orang dalam anda akan sama tidak dihargainya oleh organisasi anda sebelumnya, kecuali anda tahu betul bahwa budaya organisasinya sudah baik.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H