sejak kau putuskan untuk pergi
aku mengalami kesunyian...kehampaan
hari berganti hari purnama pun telah berganti berkali-kali
Tiba-tiba aku tersadarkan bahwa tak berguna meratap
menantimu kembali adalah sebuah kemustahilan
Setiap aku pergi dan pulang aku memilih jalan yang berbeda
menghindari memori kenangan-kenangan bersama dirimu
Perlahan aku buka mataku hatiku melihat keluar dan bukan melihat diriku
begitu banyak gejolak di luar sana
penderitaan orang-orang papa, tangis air mata dari ibu-ibu tentang harga
tangis dari para pemuda yang gagal menjadi mahasiswa karena mahalnya pendidikan
jeritnya masyarakat karena kenaikan harga-harga yang menghimpit
gelak tawa riang para koruptor dan penguasa karena telah mengakali negara
Aku termenung melihat semua seakan tak percaya ini terjadi
Negeri ini menanti kebangkitan berikutnya
menanti revolusi yang mengembalikan harkat dan martabat manusia sebenarnya
seorang tokoh voluntir pun di nanti
tetapi itu seperti mencari jarum ditumpukkan jerami
siapakah yang bersedia menjadi relawan yang tidak mendapat keuntungan
siapakah yang memiliki wibawa
siapakah yang memiliki kharisma
siapakah yang memiliki kesalehan yang sebenarnya
siapakah yang memiliki ketulusan
siapakah yang memiliki kesucian sehingga tak di sandera dosa masa lalu
sampai saat ini belum ada jawabnya
meski tak ada kejelasan tetapi aku harus bangkit melangkah
memberikan warna walau hanya setitik
memberikan cahaya meski redup
memberikan air meski hanya setetes
Kini aku berdiri di sini sendiri menanti sekutu
menanti pencerahan akan sebuah awal perjuangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H