Mohon tunggu...
Tri Sukmono Joko PBS
Tri Sukmono Joko PBS Mohon Tunggu... Dosen - Tenaga Pengajar, Sekretaris Pada Yayasan Lentera Dikdaktika Gantari

Hobi membaca, senang menjadi narasumber di Bidang Manajemen Risiko

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilematis Pengelolaan Pembiayaan Satuan Pendidikan

2 Mei 2024   07:55 Diperbarui: 2 Mei 2024   08:05 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini bertepatan dengan hari peringatan Pendidikan Nasional, saya menjadi tergerak untuk menulis berkenaan dengan masalah banyaknya kepala satuan pendidikan yang dijadikan pesakitan atau tersangka ataupun harus menghadapi pemeriksaan tim investigasi untuk mempertanggungjawabkan dana pungli (pungutan liar) yang dituduhkan kepada mereka.

Pungli apa yang para kepala satuan pendidikan itu lakukan? Apakah benar-benar pungutan yang liar yang tidak memiliki dasar sama sekali? Di lihat dari berbagai kasus yang menimpa para kepala satuan pendidikan tuduhan pungli yang dimaksud ternyata adanya pungutan dana yang dihimpun melalui komite sekolah, yang sebenarnya pun sudah dirapatkan dan menjadi kesepakatan komite dengan para orang tua siswa untuk memberikan bantuan kepada satuan pendidikan untuk peningkatan maupun operasional pendidikan yang kebutuhannya belum dapat ditutupi sepenuh oleh dana yang bersumber dari pemerintah pusat dan daerah.

Permasalahan muncul, manakala ada salah satu orang tua siswa atau pun LSM yang melaporkan satuan pendidikan kepada lembaga hukum ataupun ke kementerian pendidikan bahwa satuan pendidikan telah melakukan pungutan liar. Penyebab dilaporkan ya beragam mulai dari ketidaksetujuan yang tidak terakomodir atau pun kepentingan LSM yang tidak terperhatikan oleh satuan pendidikan.

Masalah dilematis muncul manakala hadir peraturan menteri dan peraturan daerah yang melarang satuan pendidikan untuk meminta atau memungut dana dari orang tua siswa, sementara dana BOS yang diharapkan dapat menutupi biaya operasional pendidikan di satuan pendidikan tidak dapat menutupi kebutuhan operasional sekolah. Sekolah tidak banyak pilihan manakala Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintah daerahnya sangat rendah dan tidak bisa diharapkan untuk dapat menutupi biaya operasional, maka sekolah bersama komite sekolah bersepakat untuk meminta bantuan kepada orang tua siswa.

Yang sering dipermasalahkan atau dijadikan bahan aduan adalah adanya keterlibatan sekolah dalam menghimpun dana dari orang tua siswa yang sebenarnya sekolah tidak boleh terlibat. Yang jadi pertanyaan sejauh mana sekolah tidak boleh dilibatkan? Sementara yang jadi pokok pembicaraan adalah kepentingan sekolah. Ada yang mengatakan, sekolah tidak boleh memungut langsung tapi komite sekolah yang harus memungut dan mengadministrasikannya. O iya, memang seharusnya komite lah yang melaksanakannya. Tetapi di daerah-daerah apalagi daerah terpencil, SDM komite sekolah itu sangat terbatas jumlahnya yang bisa mengerti dan tahu bagaimana mengadministrasikan kegiatan pengelolaan keuangan, bahkan di daerah tertentu boleh jadi kebanyakan komite itu berpendidikan rendah malah ada yang buta huruf. Dengan kondisi ini, maka mau tidak mau satuan pendidikan menjadi terlibat, tak jarang kepada satuan pendidikan menugaskan guru untuk membantu melaksanakan pekerjaan administrasi komite sekolah, dan ini yang menjadi bahan para investigator untuk menetapkan satuan pendidikan menjadi tersangka karena terbukti terlibat dalam pungutan liar yang dituduhkan.

Sekolah tidak mungkin tidak terlibat, karena dana sumbangan dari komite itu di bawa oleh siswa didik ke sekolah untuk dikumpulkan, dan tidak mungkin komite memungut sendiri dan berkeliling kelas mengambil dana sumbangan itu, sehingga mau tidak mau akan melibatkan petugas administrasi sekolah dalam hal memungut dan mencatat. Seharusnya pemerintah memberikan pengecualian dalam hal tata-kelola dana komite, karena sebenarnya hal ini disebabkan karena ketidakmampuan pemerintah menyiapkan dana yang memadai untuk membiayai operasional sekolah, sementara para pemimpin yang terpilih ini sudah terlanjur berjanji ketika kampanye bahwa pendidikan akan digratiskan. Jadi ini merupakan dampak politik yang berjalan secara salah kaprah, pendidikan dijadikan sebagai objek politik untuk menarik perhatian para pemilih.

Di hari Pendidikan Nasional ini, seharusnya kita berpikir membebaskan guru atau pendidik dari berbagai kewajiban yang justru menurunkan kualitas pendidikan, seperti terlalu banyaknya aplikasi internet yang harus diisi oleh guru, banyaknya tugas-tugas administrasi lain yang dibebankan atau menjadi tugas tambahan bagi guru. Sebaiknya kita tetap mengakomodir keinginan masyarakat untuk membantu satuan pendidikan dalam membiayai operasionalnya dan memberikan bantuan kepada komite tenaga administarsi untuk tata kelolanya, serta tidak dengan mudah menetapkan Kepala satuan pendidikan untuk duduk dikursi pesakitan sebagai akibat dari upayanya mempertahankan kualitas pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun