Mohon tunggu...
Trisno S. Sutanto
Trisno S. Sutanto Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang yang selalu gelisah dan mencari

Setelah lama "nyantri" di STF Driyarkara, menjadi penulis lepas untuk berbagai media dan terlibat dalam gerakan antar-iman. Esai-esai terpilihnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku "Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih", oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, Desember 2021.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Kung dan Ratzinger

31 Desember 2022   22:27 Diperbarui: 31 Desember 2022   22:45 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persis pada hari terakhir 2022, Kardinal Joseph Ratzinger yang lebih dikenal sebagai Paus Emiritus Benediktus XVI, berpulang ke dalam keabadian. Ia pergi menyusul Hans Kung, teolog yang sekaligus sahabat maupun "musuh bebuyutan" Ratzinger, yang wafat tahun lalu. Merefleksikan kedua sosok Gereja itu dapat memberi gambaran sekilas pergumulan kiwari Gereja yang tampaknya akan tetap menentukan dalam jangka panjang. Refleksi ini, awalnya ditulis untuk mengenang kepergian Kung di Mingguan Katolik HIDUP, saya muat ulang untuk menghormati Ratzinger, sekaligus sebagai refleksi akhir tahun dan, mungkin, bekal memasuki peziarahan di tahun depan.

NAMA Hans Kung kembali banyak dibicarakan setelah ia wafat pada 6 April tahun lalu. Sebab, dengan meninggalnya Kung, maka generasi para teolog raksasa yang membidani dan melahirkan Konsili Vatikan II (1962 - 1965) pun berakhir. Dari generasi itu, rasanya tinggal Kardinal Joseph Ratzinger --- kini Paus Emiritus Benediktus XVI --- yang sekaligus kolega dan "musuh bebuyutan" Kung. Dan persis ketika hari terakhir 2022 datang, ia pun pergi ke dalam keabadian. Cerita tentang persahabatan dan konflik keduanya, mungkin, dapat sedikit banyak melukiskan wajah ganda pembaruan Gereja yang kini kita warisi.

Kedua figur itu memang menarik disandingkan. Ada banyak kesamaan di antara mereka: keduanya besar dalam budaya Jerman, berusia hampir sama, pernah mengajar di universitas yang sama, dan sama-sama menjadi periti --- tenaga ahli teologi --- bagi Uskup Koln, Josef Frings, saat berlangsung Konsili Vatikan II. Dalam perhelatan akbar itu, baik Kung maupun Ratzinger dikelompokkan sebagai "sayap progresif" yang mendorong pembaruan dan aggionarmento Gereja dalam dunia modern. Dan keduanya memainkan peran penting sampai dipuji oleh Uskup Milan, Kardinal Giovanni Battista Montini yang, nantinya, menutup Konsili sebagai Paus Paulus VI.

Namun pasca Konsili, keduanya menempuh arah yang sama sekali berbeda, dan bahkan kerap bertentangan. Pada April 1967, Kung pertama kali dikontak Vatikan untuk mempertanggungjawabkan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan pada bukunya, Die Kirche, yang terutama terfokus pada soal otoritas Paus. Akan tetapi buku berikutnya, Infallible? An Inquiry, yang terbit pada Juli 1970 itulah yang merupakan "bom" Kung bagi dunia Katolik. Di situ Kung mempersoalkan dogma infalibilitas Paus yang dipegang sejak deklarasi 1870 saat Vatikan I.

Dengan cepat, buku Kung menyulut kontroversi. Konferensi Para Uskup Jerman segera melakukan investigasi. Dan pada Januari 1971, Kung harus tampil mempertanggungjawabkan karyanya di depan komisi doktriner konferensi para Uskup itu bersama para teolog penasihatnya, termasuk Joseph Ratzinger. Tanggal 8 Februari 1971, konferensi para Uskup itu mengeluarkan pernyataan yang menolak buku Kung.

Perjalanan Ratzinger sendiri tidak kurang dramatis. Adalah Kng yang membujuk Ratzinger, koleganya, untuk berpindah tempat mengajar dari Munster ke Tubingen pada 1966. Tetapi tidak lama Ratzinger mengajar di sana. Bangkitnya "generasi bunga" 1968, dengan bahasa Marxisme yang kuat dan pelecehan terhadap segala norma serta tatanan masyarakat, membuatnya gelisah. Kampus teologi di Tubingen menjadi kawah panas tempat berkembangnya teologi radikal. "Itu memang saat-saat sulit," kenang Kng pada David van Biema, yang menulis esai bagus "The Turning Point" di Majalah Time (24 April 2005), guna menyambut terpilihnya Ratzinger sebagai Paus Benediktus XVI. "Dan Ratzinger tidak mampu menerimanya."

Ratzinger sendiri merasa ikut bertanggungjawab atas perkembangan tersebut. Bukankah ia dulu, bersama Kung, ikut mendorong untuk membarui otoritas Gereja agar lebih terbuka pada perkembangan? Tetapi kini, lewat pemberontakan para mahasiswa, segala bentuk otoritas dan norma-norma masyarakat justru digugat dan dilecehkan. Bahkan simbol salib pun dilihat sebagai ekspresi sado-masokistis!

Karena itu, Ratzinger memilih jalan lain. Hanya dua tahun ia mengajar di Tubingen, kemudian tahun 1969 pindah ke Regensburg di Bavaria yang lebih konservatif. Nantinya, pada 1981, Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai "penjaga ajaran Gereja" lewat Kongregasi Ajaran Iman, sehingga membuat citranya kerap dikenal sebagai Panzerkardinal.

Pertanyaan dasar Kung

BAGI saya, warisan paling penting dari Kung bukanlah buku kontroversialnya soal infalibilitas, yang membuat ia kehilangan venia legendi (hak mengajar) sejak 1979. Juga bukan kritik-kritiknya yang sangat tajam dan keras, bahkan kadang keterlaluan, terhadap kebijakan Gereja. Ia memang seperti "anak nakal" (l'enfant terrible) dalam teologi.

Tetapi sikap kritisnya itu, menurut saya, lahir dari gairahnya sebagai seorang pengikut Kristus yang ingin bertanggungjawab atas pilhan imannya. Dalam karya klasik yang layak disebut sebagai magnum opus-nya, On Being a Christian (1984, aslinya Christ sein, 1974), sejak halaman pertama Kung merumuskan pertanyaan dasar yang sampai sekarang (dan akan terus) bergema: "Mengapa seseorang harus menjadi Kristen? Mengapa bukan menjadi manusia, sungguh-sungguh manusia? Mengapa, selain menjadi manusia, kita perlu menjadi Kristen? Apakah ada sesuatu yang lebih dengan menjadi Kristen ketimbang sekadar menjadi manusia?"

Saya kira pertanyaan itu merupakan pertanyaan abadi bagi siapapun orang yang sungguh-sungguh mau mempertanggungjawabkan pilihannya untuk mengikuti jalan Kristus. Kung sendiri bergumul serius dengan pertanyaan itu. Bukunya itu, yang tebalnya lebih dari 700 halaman, berusaha merumuskan apa yang disebut oleh Kung sebagai summa kecil tentang pilihan imannya. Di dalamnya ia bergumul dengan berbagai arus pemikiran kontemporer, ideologi-ideologi sekular, situasi kemajemukan agama, sekaligus hasil-hasil riset Biblika terbaru saat itu, sehingga langsung menjadi best seller internasional.

Berfoto bersama Rm. Magnis-Suseno dan Hans Kung saat mengunjungi Indonesia (dokumen pribadi)
Berfoto bersama Rm. Magnis-Suseno dan Hans Kung saat mengunjungi Indonesia (dokumen pribadi)

Tetapi di kalangan para teolog Katolik, buku Kung tidak disambut hangat. Pada 1976, terbit kumpulan esai di Jerman yang ditulis antara lain oleh Karl Rahner dan Ratzinger yang sangat kritis terhadap buku itu. Kritik Ratzinger di situ, seperti dilaporkan John L. Allen, Jr., koresponden NCR (National Catholic Reporter) di Roma (28 September 2005), sangat pedas. Ia menganggap buku Kung justru menodai landasan iman Kristen, dipenuhi arogansi intelektual, dan teologinya tidak berdasar.

Tentu saja penilaian Ratzinger itu membuat Kung berang. Apalagi, tak lama setelah pencabutan venia legendi Kung pada Desember 1979, Ratzinger yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Munich, dalam khotbah akhir tahunnya, membela keputusan tersebut. Bagi Kardinal Ratzinger, "Umat Kristen adalah orang-orang yang sederhana; adalah tugas para Uskup untuk melindungi mereka dari kekuasaan para intelektual."

Tampaknya perpecahan keduanya sudah tidak terjembatani lagi. Karena itu banyak harapan muncul saat pertemuan historis Paus Benediktus XVI dengan Kung pada 24 September 2005. Tetapi semua harapan itu kandas, termasuk harapan Kung sendiri. Kepada Der Spiegel (21 September 2011), yang mewawancarainya saat Paus berkunjung ke Berlin, Kung mengisahkan pertemuannya selama empat jam di rumah peristirahatan Paus di Castel Gandolfo, memang berlangsung akrab. "Pada waktu itu, saya berharap momen itu akan menandai era keterbukaan baru," kata Kung. "Tapi harapan itu kandas. Kami berkorespondensi beberapa kali. Namun sanksi terhadap saya, yakni pencabutan ijin mengajar saya, tetap berlaku."

Kung menilai, kunjungan Paus tidak akan berdampak banyak pada krisis yang dihadapi kekristenan di Barat. Ia malah menyebut kebijakan Paus sebagai "Putinisasi" dan membandingkan Paus dengan Vladimir Putin yang memusatkan kekuasaan di tangannya!

Nantinya, ia akan menaruh harapan besar pada Paus Fransiskus. Kepada Jimmy Burns dari The Tablet yang mewawancarainya tak lama setelah Kardinal Jorge Mario Bergoglio terpilih, Kung menuturkan harapannya: "Paus asal Argentina ini langsung memulai masa kepausan dengan gaya yang baru, dengan bahasa yang lugas dan kesederhaaannya. Ia menunjukkan dirinya sebagai manusia biasa, dengan meminta orang lain mendoakan dirinya" (The Tablet, 1 Februari 2014). Bahkan, menurut obituari tentang Kung yang ditulis Christopher Lamb di The Tablet (6 April 2021), pada 2016 Paus Fransiskus sepakat dengan usulan Kng untuk membuka dialog soal doktrin infalibilitas Paus.

Warisan Tantangan Ganda

WAFATNYA Kung mengakhiri "pertarungan" dua figur yang sudah menghiasi sejarah Gereja selama lebih dari setengah abad. Dan orang mulai melihat, jangan-jangan pertarungan itu, sebenarnya, mencerminkan wajah ganda Gereja di abad ke-20 dan kini memasuki milenium baru. Pada satu sisi, wajah Gereja yang didorong untuk terus menerus memperbarui dan membuka diri pada perkembangan dunia pasca Konsili Vatikan II; pada sisi lain, wajah Gereja yang tetap harus menjaga ajaran dan panggilan dasarnya dari Kristus sebagai tanda sakramental kehadiran Allah.

Kung mungkin mewakili sisi pertama dari wajah Gereja itu. Kita tahu, setelah kritik tajam terhadap buku On Being a Christian, Kung mencurahkan energi dan perhatiannya pada upaya membangun "Etika Global", ekumenisme, dan dialog antar-agama maupun antar-peradaban.

Itulah warisan Kung yang utama dan akan selalu dikenang, karena ia meletakkan diktum pertama, bahwa tidak mungkin ada perdamaian tanpa saling pengertian antar-agama. Tetapi, dari sudut lain, ziarah antar-agama yang dijalani Kung, bisa dibilang, juga melanjutkan pertanyaan dasar tadi. Sebab bagaimana mempertanggungjawabkan pilihan untuk mengikuti Kristus dewasa ini, mau tak mau, harus bergumul dengan kenyataan pluralitas keagamaan. To be religious today is to be inter-religious, diktum kedua Kung.

Sementara Ratzinger, mungkin, mewakili sisi kedua dari wajah Gereja. Tak lama setelah menjabat sebagai Paus, buku karangannya terbit, Jesus of Nazareth (2007). Ini merupakan buku pertama dari trilogi yang menelusuri, lewat kesarjanaan Biblika yang mumpuni, penguasaan literatur Patristik maupun teologi sistematik yang mencengangkan, tentang figur Yesus Kristus dan maknanya bagi kita.

Sudah banyak ulasan mengenai karya trilogi itu. Namun yang paling menarik bagi saya, adalah pengantar yang ditulis Paus sendiri dalam jilid pertama. Baginya, buku yang ia tulis merupakan "pencarian personal dalam usaha menemukan wajah Tuhan (Mzm 27:8)" dan "bukan ajaran resmi Gereja". Karena itu, tulis Paus, "setiap orang boleh membantah saya. Saya hanya memohon agar pembaca memberi simpati, yang merupakan prasyarat saling memahami." Sejauh saya tahu, ini buku pertama yang ditulis seorang Paus tanpa harus "berlindung" di balik wibawa magisterium!

Dan jika dibaca secara teliti, kaya Paus itu, sebenarnya, merupakan sisi lain untuk menjawab pertanyaan dasar Kung. Jika Kung mengambil semacam detour lewat pergumulan kiwari dan dialog antar-agama, Ratzinger menggali khasanah khas kekristenan yang sangat luas untuk memahami karya penebusan Allah dalam diri Yesus Kristus. Persis itulah wajah ganda Gereja yang kini kita warisi dan hidupi pasca-Ratzinger dan Kung. 

Sementara untuk Ratzinger sendiri, kini ia sudah memasuki keabadian bersama Allah yang sangat dikasihi dan setia dilayani olehnya. Beristirahatlah dalam kekekalan, Paus Emiritus Benediktus XVI. Doakanlah umatmu yang masih harus berziarah di dunia ini.

Pernah dimuat di Majalah HIDUP, 8 Mei 2021

(https://www.hidupkatolik.com/2021/05/18/53795/hans-kung-ratzinger-dan-kita.php)

Diperbarui dengan catatan terakhir mengenai wafatnya Paus Emiritus Benediktus XVI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun