[Minggu ini (5 Juni 2022) akan dirayakan oleh umat kristiani di seluruh dunia sebagai hari Minggu Pentakosta, yakni hari di mana Roh Kudus dicurahkan dan, sekaligus, sering dianggap sebagai "hari lahir" Gereja. Saya pernah menulis esai mengenai makna Pentakosta (diterbitkan dalam portal Satuharapan, 10 Juni 2019) dengan memakai metafor "bahasa" sebagai pintu masuk. Berikut ini tulisannya:]
TENTU saja, bahasa adalah alat komunikasi yang mampu menyatukan orang dari berbagai latar belakang berbeda. Contoh paling bagus adalah "mukjizat" bahasa Indonesia.Â
Bayangkan jika tidak ada bahasa Indonesia, maka tak terbayangkan sama sekali anak yang lahir di Aceh mampu berkomunikasi dengan anak Papua, dan keduanya merasa sebagai bagian dari kesatuan yang disebut Indonesia itu.
Namun, mungkin tidak banyak yang sadar, bahasa juga semacam penjara yang memisahkan. Setiap orang hidup di dalam penjara, yakni bahasa yang membentuk --- kalau istilah ini boleh dipakai --- horizon kehidupannya.Â
Bahasa membentuk dan menandai horizon itu. Seberapa luas atau sempit horizon kehidupan seseorang, jelas ditandai oleh seberapa kaya atau miskin perbendaharaan kosa kata bahasanya. Itu sebabnya ada pepatah, "buku adalah jendela dunia". Ketika membaca buku, menemukan kosa kata baru yang makin memperkaya bahasanya, maka horizon seseorang makin meluas seluas dunia kehidupan.
Dan salah satu problem besar dalam filsafat kontemporer adalah bagaimana orang dari berbagai horizon bahasa itu dapat saling memahami. Hans Georg-Gadamer pernah mengibaratkan pemahaman bersama itu seperti fusi horizon-horizon (Horizontverschmelzung), semacam peleburan ketika seseorang mengalami horizon kehidupannya makin diperkaya dan diperlebar karena perjumpaan yang dibawa oleh horizon lain, entah lewat buku yang dibacanya, atau orang lain yang ditemuinya.
Dua Cerita
AKAN tetapi, esai ini bukan traktat filosofis tentang Gadamer atau soal fusi horizon. Saya meletakkan problem bahasa di awal untuk memahami dua cerita yang sangat memikat dari Alkitab. Keduanya sudah sangat dikenal, sehingga tidak perlu dikisahkan ulang di sini.
Pertama, cerita tentang menara Babel (Kej. 11:1-9). Saya tidak tahu siapa pengarangnya. Boleh jadi ini cerita rakyat yang turun-temurun untuk menjelaskan mengapa masing-masing suku atau kelompok memiliki bahasa sendiri-sendiri yang membuat proses saling memahami sangat sulit, kalau bukannya mustahil.
Dan cerita itu diawali dengan praandaian menarik: di seluruh bumi waktu itu orang memiliki bahasa dan logat yang sama. Kesamaan bahasa dan logat itu membuat mereka mampu melakukan apa saja, termasuk membuat menara yang ujungnya menjangkau langit. Ini semua, menurut cerita menarik itu, konon membuat Tuhan sendiri merasa khawatir.