Persis dalam artian itu, tuturan Lukas terasa sangat gayut dengan persoalan yang kita hadapi, baik dalam hidup menggereja maupun sebagai bangsa. Dahulu pernah dibayangkan bahwa Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) adalah semacam peleburan dari seluruh tradisi gereja-gereja Protestan di Indonesia yang membentuk sejenis super church yang tunggal. Namun, pengalaman mengajarkan, bukan keesaan semacam itu yang mungkin dicapai, melainkan keesaan dalam panggilan bersama, proses saling menerima dan menghargai, serta pemahaman bersama pengakuan iman ekumenis yang diwarisi sejak zaman gereja awal mula.
Begitu juga dalam proses membangsa. Kita mewarisi sejarah panjang bagaimana keanekaragaman (kebinekaan) dinafikan demi kesatuan (ketunggalikaan). Akan tetapi, kini kita makin sadar, upaya tersebut hanya akan menghancurkan  identitas kita sebagai bangsa yang majemuk. Dan kita harus menempuh kembali jalan panjang dan berliku, yang makin diperumit oleh polarisasi sebagai akibat politik busuk para elite, untuk menemukan kembali keesaan dalam kepelbagaian, Bhinneka Tunggal Ika. Bukankah tanpa ketunggal-ikaan, maka kebhinekaan hanya berarti perpecahan? Namun, tanpa kebhinekaan, ketunggal-ikaan hanya berarti penyeragaman yang memuakkan?
Karena itu, saya sering merasa, Indonesia adalah "laboratorium Pentakosta" paling menakjubkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H