Mohon tunggu...
Trisno S. Sutanto
Trisno S. Sutanto Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang yang selalu gelisah dan mencari

Setelah lama "nyantri" di STF Driyarkara, menjadi penulis lepas untuk berbagai media dan terlibat dalam gerakan antar-iman. Esai-esai terpilihnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku "Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih", oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, Desember 2021.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahasa

3 Juni 2022   11:52 Diperbarui: 3 Juni 2022   12:16 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu Tuhan mengambil langkah drastis: Ia turun dan mengacaubalaukan bahasa mereka, "sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing" (Kej 11:7). Tindakan drastis itulah yang menjelaskan makna "Babel" (dari kata kerja balal, "mengacaubalaukan", "membuat bingung"). Sejak saat itu pula, begitu menurut akhir cerita, suku-suku dan bangsa-bangsa manusia terserak ke seluruh dunia dengan bahasa masing-masing yang menjadi penjara mereka, karena mereka "tidak mengerti lagi bahasa masing-masing".

Cerita kedua bergerak sebaliknya dan, konon, berlangsung limapuluh hari setelah Paskah, sehingga dikenal sebagai "Pentakosta" (Yunani: Pentekoste). Lagi-lagi, ceritanya (Kis. 2:1-13) sudah sangat dikenal, karena dibacakan dan dirayakan setiap tahun sebagai hari turunnya Roh Kudus dan hari lahir Gereja.

Saya tidak tertarik membicarakan peristiwa "ajaib" itu, tentang turunnya lidah-lidah api yang disertai tiupan angin keras. Atau tentang glossolalia ("bahasa lidah") maupun xenolalia ("bahasa asing") yang pengertiannya sampai sekarang masih membingungkan para ekseget dan menjadi topik perdebatan sengit di kalangan gereja-gereja Protestan.

Bagi saya, untuk keperluan esai ini, cerita yang konon dituturkan Lukas sebagai kelanjutan Injilnya itu, jauh lebih memikat jika dibaca bersama dengan cerita menara Babel di atas. Sebab apa yang dituturkan sama: nasib bahasa, walau arahnya bertolak belakang. Dalam cerita menara Babel, Tuhan mengacaubalaukan bahasa manusia. Saat Pentakosta, yang menarik, Tuhan tidak menyatukan lagi keanekaragaman bahasa itu, namun memungkinkan mereka yang datang dari berbagai bahasa saling memahami.

Lukas menuturkannya dengan memikat. Konon setelah Roh Kudus turun, para murid Yesus "mulai berbicara dalam bahasa-bahasa lain" (Kis 2:4). Itulah xenolalia tadi. Namun, sungguh ajaib, mereka yang mendengarnya, yang datang dari berbagai latar belakang bahasa, atau bahkan kepercayaan berbeda, justru mendengar dalam bahasa mereka masing-masing, "yaitu bahasa tempat kita dilahirkan" (Kis 2:8).

Lukas bahkan membuat daftar daerah dari mana orang-orang itu datang: Partia, Media, Elam, Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir, daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, "pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab" (Kis 2:9-11). Dengan kata lain, keanekaragaman bahasa tetap ada, tetapi kemungkinan untuk saling memahami kini terbuka lebar setelah dikacaubalaukan saat peristiwa Babel dahulu.


Keesaan dalam Kepelbagaian

SAYA sadar, kedua cerita di atas memiliki apa yang oleh para ekseget disebut Sitz im Leben, konteks kehidupan masing-masing yang harus dihormati. Apalagi keduanya --- kalau sungguh-sungguh terjadi seperti dituturkan Alkitab --- dipisahkan oleh  jarak waktu yang sangat panjang, sehingga tidak boleh dibaca sebagai, katakanlah, cerita bersambung.

Namun sebagai cerita, keduanya mencerminkan pergulatan konkret yang sudah lama membuat orang gelisah saat berhadapan dengan keanekaragaman yang memusingkan. Sang penutur cerita menara Babel, yang tidak kita ketahui identitasnya, hanya berusaha menjelaskan bagaimana keanekaragaman bahasa yang dijumpainya muncul. Ia meletakkan problem itu sebagai, katakanlah, "kutukan" Tuhan atas kesombongan umat manusia yang berambisi membangun menara sampai langit.

Sementara Lukas punya sudut pandang lain. Sembari menuturkan titik awal di mana Gereja, sebagai paguyuban umat beriman, mulai lahir dan berkarya, ia memberi kita insight bagaimana sebaiknya memperlakukan keanekargaman. Alih-alih menunggalkannya, yang berarti juga menghancurkan keanekaragaman, tuturan Lukas justru membuka visi tentang keesaan dalam kepelbagaian, a unity in diversity. Di situ keanekaragaman tetap dihargai, namun orang didorong untuk saling memahami, yakni mendengar dalam "bahasa tempat kita dilahirkan".

Atau, kalau diungkapkan lewat Gadamer, horizon masing-masing orang atau kelompok memang tetap berbeda-beda. Akan tetapi, kesediaan untuk terbuka dan saling berbagi, memungkinkan fusi berbagai horizon tersebut yang akan saling memperkaya setiap orang. Dan Gadamer, sependek pemahaman saya, tidak pernah mengandaikan adanya atau tercapainya suatu horizon tunggal yang menyatukan keanekaragaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun