Dalam berlalu lintas, terdapat satu kelompok yang sudah dikenal oleh masyarakat, yaitu kelompok kendaraan plat B. Mereka terkenal akan tingkah laku berkendaranya yang "arogan," "tidak sabaran," atau "suka mengklakson." Bahkan keluhan tentang tingkah laku plat B ini sempat muncul di sosial media seperti Instagram dan Twitter yang kemudian menjadi trending topic. Tapi, kenapa pemikiran tentang Plat B ini muncul di benak warga +62?
Pertama-tama, kita harus tegas dalam memandang kendaraan plat B ini. Plat B bukanlah kategorisasi berdasarkan etnis, melainkan daerah registrasi kendaraan. Jadi, siapapun dapat memiliki plat B selagi ia mendaftarkan kendaraannya di daerah plat B. Hal ini penting agar kita tidak mengasosiasikan pengendara plat B dengan warga Jakarta,Â
misalnya, yang merupakan salah satu daerah registrasi untuk plat B. Bisa saja seseorang yang berasal dari luar Jakarta, Depok, Tangerang, atau Bekasi sedang mengendarai Plat B dan bertingkah layaknya stereotip mengenai Plat B ini. Lalu, kenapa plat B memiliki stereotipnya sendiri?
 Salah satu penjelasannya dapat dipahami karena dalam berlalu lintas, ketertiban adalah hal utama. Ekspektasi kita dalam berlalu lintas adalah semua pengendara berlaku tertib agar tidak menimbulkan sesuatu yang merugikan bagi semua.
 Lalu, ketika ada kendaraan yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita, seperti bersikap arogan, kita akan mengenalinya dan memberi perhatian khusus kepadanya. Hal ini karena informasi yang khas seperti sikap arogan dalam berkendara akan menarik perhatian kita. Apalagi bersikap arogan dapat membahayakan diri kita,Â
kita akan semakin fokus kepadanya karena ancaman akan memberi dorongan untuk berhati-hati agar kita dapat bertahan hidup. Maka dari itulah, sikap arogan dalam berlalu lintas membekas di pikiran kita. Karena yang berlaku arogan saat itu adalah kendaraan dengan plat B, maka kita mulai membentuk skema tentang plat B yang berlaku arogan.
Kemudian, karena tingkah laku plat B ini dilihat oleh banyak orang, maka terbentuklah kesan kolektif tentang plat B. Ketika ada kendaraan dengan plat B yang tidak tertib berlalu lintas, hal itu semakin menguatkan skema kita tentang plat B. Lama-kelamaan, seiring bertambahnya pengalaman buruk mengenai kendaraan plat B di jalan, terbentuklah skema sosial dalam pikiran masyarakat bahwa plat B memiliki pengendara yang arogan, tidak tertib, dan sebagainya.Â
Skema tersebut membuat sebuah purwarupa dalam pikiran masyarakat tentang apa itu kendaraan plat B. Purwarupa tersebut membentuk sebuah stereotip bahwa plat B tidak tertib, arogan, suka mengklakson, dan lain-lain. Lantas, apakah memberikan stereotip baik untuk dilakukan?
 Tentu saja generalisasi bukanlah hal yang dianjurkan untuk dilakukan karena tidak semua plat B berperilaku demikian. Stereotip dapat memberikan bias terhadap kelompok yang distereotipkan sehingga perlakuan kita terhadap mereka menjadi tidak baik. Stereotip juga dapat memunculkan konflik antar kelompok sosial.Â
Namun, stereotip yang kita lakukan terhadap plat B hanyalah cara otak kita memberi jalan pintas dalam memproses informasi. Otak kita menjadikan stereotip sebagai pegangan dalam membedakan kendaraan yang lain dengan plat B yang terlihat tidak tertib ini.Â
Stereotip memberikan gambaran tentang dunia sosial, dalam konteks ini dunia lalu lintas, yang terdapat konflik dan penuh dengan ketidakpastian. Setelah kita mengetahui fungsi dari stereotip ini dalam dunia sosial, apa yang seharusnya kita lakukan?
Kita harus dapat membedakan antara cara otak kita membuat jalan pintas dengan cara kita bersikap terhadap jalan pintas tersebut. Hanya karena otak kita berpikir bahwa plat B arogan dan sebagainya, jangan sampai kita jadikan sebuah pegangan dalam menyikapi semua plat B. Kita harus dapat menahan diri agar tidak menurut kepada stereotip yang kita miliki.Â
Selayaknya kita tetap bersikap objektif kepada siapapun dan tidak menggeneralisasi segalanya, karena tidak setiap plat B berlaku arogan. Karena jika kita lihat dari sudut pandang gaya hidup, bisa saja daerah plat B memiliki gaya hidup dengan alur cepat sehingga dalam berkendara mereka terlihat tergesa-gesa.Â
Padahal bagi mereka hal tersebut hanyalah hal biasa yang menjadi cara mereka menjalani kesehariannya. Jadi, kita tidak boleh melakukan generalisasi terhadap plat B ataupun kepada hal lain yang didorong oleh stereotip ini.
Terlepas dari stereotip itu semua, hendaknya kita berkendara dengan tertib, aman, dan teratur agar tidak ada yang dirugikan dan semua pengendara selamat di jalan. Jika menemui pengendara yang tidak tertib, terlepas dari plat kendaraannya, lebih baik kita menegurnya dengan baik atau melaporkannya kepada pihak berwajib.
Referensi: Hogg, M. & Vaughan, G. (2018). Social psychology (8th Edition). Harlow: Pearson Education LimitedÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H