"Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!" tegas Sang Guru dari Nazaret. Kalimat ini keluar dari mulutNya, terdengar begitu keras dan tanpa tedeng aling-aling.
Tentu "mendengar" Â dalam hal ini menyiratkan bahwa dibutuhkan lebih dari sekadar indera pendengaran. Artinya, bukan asal "mendengar" tetapi menyimak, mengerti dan mentaati.
Sekadar melihat dan mengamati memiliki perbedaan yang besar, begitu juga antara sekadar mendengar dan menyimak.
"...karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti" lagi kataNya.
Mendengar merupakan hal yang paling mudah sekaligus paling sukar.
Mendengarkan itu kelihatannya pasif, tak melakukan (gerakan) apa-apa. Tubuh kita secara kasat mata statis. Namun untuk mendengar dan menyimak dengan baik dibutuhkan fokus dan konsentrasi yang tajam.
Kalau kita mencoba mengingat apa yang kita dengar satu hari yang lalu, sulit bukan?
Bahkan sistem pendidikan dasar kita terbiasa mengajarkan membaca dan menulis dengan porsi yang lebih banyak ketimbang pelajaran mendengar, kan?
Yang sering terjadi kita mendengar, namun tidak memperhatikan.
Kita mendengar, namun tidak menyimak.
Kita mendengar, namun tidak merenung.
Kita mendengar, namun fokus kita membias.
Demikian juga kita yang sudah entah berapa kali diperdengarkan kebenaran, pengajaran dari yang Maha benar dan Maha suci, suaraNya selalu bergema dimana-mana namun tetap saja hati kita menebal dan tidak mengerti dengan benar.
Kiranya kita terus belajar untuk semakin peka dan kritis terhadap apa yang kita dengar, baik itu kata-kata, pengajaran, atau bahkan musik.
Bukan hanya ingin mendengar hal-hal yang menghibur kita semata-mata.
Merefleksikan hati dengan perkataanNya, belajar untuk menaklukkan diri di hadapanNya dan senantiasa mau dengar-dengaran akan perkataanNya serta menjalankanNya.