Mohon tunggu...
TRISKA YULIANANDA
TRISKA YULIANANDA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemula wajib berkarya

Mencurahkan ide gagasan yang mengedukasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pentingnya Status Kewarganegaraan dalam Upaya Repatriasi Pengungsi Rohingya

21 Juni 2021   21:15 Diperbarui: 21 Juni 2021   21:53 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga saat ini, permasalahan yang menimpa kelompok minoritas etnis Rohingya yang mendiami suatu wilayah di negara bagian Rakhine tersebut masih terus menjadi perbincangan. Terutama mengenai masalah repatriasi atau pemulangan pengungsi Rohingya ke negara asalnya.

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa terjadinya operasi militer di negara bagian Rakhine yang dilangsungkan oleh militer Myanmar, Tatmadaw, pada Agustus 2017 lalu telah menimbulkan adanya eksodus secara besar-besaran dimana ratusan ribu warga etnis Rohingya telah melakukan migrasi ke Bangladesh untuk mencari keamanan dan penghidupan yang layak. Banyaknya pengungsi Rohingya yang berbondong-bondong mendatangi negara berbahasa resmi Bengali tersebut, membuat pemerintah negara berulang kali berupaya untuk memulangkan mereka ke negara asalnya.  

Seakan mengulur waktu, hingga kini proses pemulangan atau repatriasi pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di Cox’s Bazar itu belum sepenuhnya terwujud. Melansir dari CNN Indonesia, seperti yang telah dikatakan oleh Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, Daw Ei Ei Khin Aye, seusai bertemu dengan Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin di Kantor Wapres pada Senin (18/11/2019), bahwa pemerintah Myanmar akan menjamin proses pemulangan para pengungsi Rohingya ke negara bagian Rakhine berlangsung aman. Akan tetapi, dengan syarat para pengungsi tersebut tidak diperkenankan untuk mengajukan berbagai permintaan yang kemungkinan kecil atau bahkan mustahil untuk diberikan oleh pemerintah Myanmar, status kewarganegaraan misalnya.

Suatu bentuk ketakutan tersendiri bagi para pengungsi Rohingya apabila pulang tanpa mendapatkan status kewarganegaraan. Bagaimana tidak, tanpa diakuinya status kewarganegaraan mereka sebagai warga negara Myanmar, maka para pengungsi yang menjadi target repatriasi tersebut akan tetap merasa terancam dan merasa tidak akan memperoleh jaminan rasa aman bahkan di negara asalnya sendiri. Mereka pun tidak akan bisa menerima perlindungan hukum secara nasional dan tidak dapat pula dijamin hak-haknya dalam hukum nasional seperti hak sipil, hak dalam hal ekonomi, politik, dalam mengakses pelayanan kesehatan serta pendidikan, dan lain sebagainya. Bahkan mereka juga akan rentan terhadap adanya aksi penganiayaan dan penyiksaan.

Seolah bagaikan mimpi buruk, para pengungsi etnis Rohingya tersebut merasa terus dihantui oleh perasaan trauma akan terjadinya tindakan-tindakan seperti diskriminasi, tindakan kekerasan, penganiayaan, pemerkosaan, dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak berperikemanusiaan. Apalagi setelah terjadinya konflik internal yakni kudeta militer di Myanmar, mereka akan semakin diliputi oleh rasa takut yang berlebihan. Bahkan, adanya kondisi pandemi Covid-19 yang terus meningkat tanpa tahu pasti kapan akan mereda juga turut menjadi bagian dari kekhawatiran mereka.

Hal-hal itulah yang menjadi poin penting dan sangat memungkinkan tergolong sebagai hambatan-hambatan dalam proses repatriasi para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp di Cox’s Bazar, Bangladesh. Sehingga, tidak menutup kemungkinan hal-hal tersebut dapat membuat waktu pelaksanaan repatriasi menjadi terulur.

Memang, rencana pemerintah Bangladesh untuk menjalankan proses repatriasi terhadap pengungsi etnis Rohingya sudah berulang kali diupayakan. Namun, rencana repatriasi tersebut pada tahun 2018 dan 2019 lalu telah gagal dikarenakan negosiasi di antara kedua pihak negara, yakni Bangladesh dan Myanmar, tidak berhasil mencapai kesepakatan. Melansir dari IDN TIMES, bahwa rencana repatriasi untuk yang ketiga kalinya ini telah berhasil mencapai kesepakatan dengan bantuan dari Tiongkok, di mana diperoleh hasil bahwa proses repatriasi akan dilaksanakan pada bulan Juni di tahun ini.

Namun, lagi-lagi hak untuk memperoleh status kewarganegaraan turut menjadi masalah. Oleh karena itu, dapat diyakini bahwa hak memperoleh status kewarganegaraan merupakan hambatan yang utama dalam proses pemulangan warga etnis Rohingya yang mengungsi di negara Bangladesh tersebut. Hal ini dikarenakan pengembalian hak kewarganegaraan lah yang menjadi tuntutan permintaan yang utama, yang diajukan oleh para pengungsi etnis Rohingya. 

Benar saja, apabila pemerintah Myanmar tidak dapat menjamin terpenuhinya tuntutan permintaan yang diajukan oleh para pengungsi tersebut, maka dapat dipastikan mereka tidak akan siap atau ragu-ragu untuk kembali ke negara asal mereka. Walaupun sebenarnya mereka sangat ingin untuk kembali pulang ke negara bagian Rakhine di Myanmar itu.

Dalam rencana proses repatriasi para pengungsi Rohingya yang tinggal di tempat pengungsian di Cox’s Bazar Bangladesh itu, tak hanya Tiongkok yang ikut serta untuk membantu memfasilitasi proses repatriasi supaya dapat berlangsung lancar, akan tetapi PBB dan ASEAN juga turut serta membantu proses repatriasi ini. 

Dalam hal ini, ASEAN beserta beberapa negara yang tergabung turut berulang kali menekankan upaya repatriasi para pengungsi dalam agenda-agenda pertemuan mereka. Seperti halnya pada agenda pertemuan menteri luar negeri ASEAN di Nha Trang, Vietnam pada 17 Januari 2020 lalu yang menekankan bahwa upaya repatriasi adalah solusi untuk mengatasi krisis ini.

Melansir dari berita AntaraJatim, ASEAN telah berusaha membantu memfasilitasi proses repatriasi yang diupayakan melalui implementasi penilaian kebutuhan awal atau Preliminary Needs Assessment (PNA). PNA ini bertujuan untuk menilai kesiapan pusat-pusat penerimaan dan transit termasuk lokasi relokasi dan juga untuk mempersiapkan segala kebutuhan hidup para pengungsi Rohingya di negara asal mereka, Myanmar. ASEAN juga berencana untuk mendatangkan tim Comprehensive Needs Assessment yang memiliki tugas untuk mengidentifikasi kemungkinan area kerjasama di Myanmar khususnya di negara bagian Rakhine.

Namun, seiring dengan kemunculan pandemi Covid-19, upaya mendatangkan tim Comprehensive Needs Assessment tersebut belum dapat terlaksana. Walaupun tertunda oleh pandemi Covid-19, namun sudah ada beberapa proyek yang direkomendasikan dan akan dijalankan yang di antaranya yaitu proyek pembuatan FM radio melalui kerjasama dengan Myanmar Radio and Television, proyek peningkatan fasilitas pendidikan bagi pengungsi internal (internally displaced person), peningkatan kapasitas dan pelatihan di bidang peternakan dan penanganan penyakit binatang, serta pelatihan 200 sukarelawan di bidang kesehatan.

Berdasar pada hal ini, dapat diketahui bahwa selain tuntutan hak kewarganegaraan yang diajukan oleh pengungsi etnis Rohingya, hal lain yang juga menjadi hambatan dalam proses repatriasi ialah adanya pandemi Covid-19. Di samping itu, hal yang juga turut serta menjadi hambatan dalam proses repatriasi yakni adanya konflik internal, kudeta militer di Myanmar. Adanya kudeta militer di Myanmar ini justru akan semakin membuat para pengungsi khawatir dan takut untuk kembali karena pihak militer telah memegang penuh kendali atas kekuasaan.

Memang, upaya repatriasi para pengungsi Rohingya merupakan solusi baik untuk mengatasi permasalahan ini. Namun, upaya repatriasi para pengungsi tersebut belum terlaksana dengan lancar karena mengalami beberapa hambatan, antara lain pandemi Covid-19, kudeta militer di Myanmar, dan terutama adanya tuntutan permintaan atas status kewarganegaraan. Ditegaskan kembali bahwa hak mendapat status kewarganegaraan merupakan hal penting bagi setiap umat manusia sebagai warga negara. 

Begitu pula dengan para pengungsi etnis Rohingya, tentu status kewarganegaraan merupakan hal penting yang harus dimiliki saat kembali ke negara bagian Rakhine. Dengan dimilikinya status sebagai warga negara, mereka dapat merasa lega karena bisa mendapatkan jaminan perlindungan secara hukum dan dapat pula dijamin hak-haknya termasuk hak untuk mendapatkan keamanan. Selain itu, akan lebih baik pula jika proses repatriasi dapat dilaksanakan secara sukarela dan aman baik setelah pandemi Covid-19 maupun setelah situasi politik dalam negeri menjadi stabil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun