Mohon tunggu...
Trisha Jivanta Prathiwi
Trisha Jivanta Prathiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Communication Student at Universitas Pembangunan Jaya

Born in 2001, I am 22 years old undergraduate student of Pembangunan Jaya University majoring Communication Studies with interest on Public Relation. Like to communicate and met new friend so that i can expand my networking skills. Over the years, i always want learn everything to improve myself better. Known as good at researcher student and quick learner.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stereotip terhadap Transgender Seorang Influencer, Ian Hugen

18 Desember 2023   14:50 Diperbarui: 18 Desember 2023   15:43 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           Dalam kehidupan manusia, manusia pada hakikatnya pasti menilai orang lain, terutama mereka yang bukan bagiannya atau tidak berada dalam komunitas yang sama, kerap terjebak dalam stereotip dan overgeneralisasi budaya. Hal ini terkadang dilakukan manusia secara sadar maupun tidak. Salah satu contoh stereotipe yang cukup umum ialah, ketika kita menggambarkan orang ber-tattoo. Orang ber-tatto diidentikan dengan konotasi orang yang tidak "benar/baik" atau memakai dan mengkonsumsi narkoba. Kemudian, SPG yang diidentikan dengan citra perempuan bayaran atau PSK.

          Kedua contoh mengenai citra suatu kelompok yang seringkali pada akhirnya menyebabkan keliruan pemahaman dalam melakukan proses komunikasi. Dalam lingkungan komunikasi global, kita pun sering menghakimi banyak orang dari banyak kalangan. Begitu juga dengan overgeneralisasi berdasarkan suku seperti suku Jawa dan Batak. Jawa diidentikan dengan orang yang ramah halus sedangkan orang Batak diidentikan dengan orang yang keras, kasar, dan sering berbicara dengan nada yang tinggi. Hal -hal seperti ini pada akhirnya membuat kita terjebak di dalam stereotip, over-generalisasi, dan juga prasangka budaya yang sering kali menghambat komunikasi dan bisa membawa kepada konsekuensi yang lebih parah, yaitu ketersinggungan.

            Definisi stereotip menurut Mufid (2009) sendiri adalah pandangan atau perspektif terhadap suatu kelompok sosial yang diterapkan secara    seragam pada setiap individu di dalam kelompok tersebut. Stereotip muncul akibat manusia dalam berkehidupan membutuhkan sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat kompleks, membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas ketika berhadapan sesuatu yang baru, membutuhkan cara yang ekonomis yang membentuk   gambaran dunia di sekitarnya, dan manusia tidak mungkin mengalami semua      kejadian maka dari itu manusia mengandalkan media sebagai jendela dunia yang menjadikan stereotip terduplikat. Salah satu stereotipe yang kental dan muncul di masyarakat ialah kelompok orientasi seksual menyimpang atau LBGT.

            Keberadaan individu transgender sering kali dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan dan menjadi target kebencian. Reaksi yang beragam muncul karena anggapan bahwa mereka berperilaku menyimpang dari norma dan nilai-nilai masyarakat. Di Indonesia, orientasi seksual heteroseksual masih mendominasi, sementara transgender, sebagai bagian dari kelompok LGBT, dianggap memiliki orientasi seksual nonheteroseksual yang masih dianggap tabu dan sulit diterima oleh masyarakat. Penolakan terhadap transgender tidak hanya datang dari lingkungan sekitar, tetapi juga dari keluarga mereka sendiri. Stigma di masyarakat juga mempersulit mereka dalam mengakses hak-hak dasar, terutama selama pandemi, di mana kendala administratif seperti tidak memiliki KTP menjadi hambatan utama untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan pendidikan membuat sebagian besar transgender terbatas dalam pilihan pekerjaan, seringkali terpaksa bekerja di sektor-sektor yang rentan terhadap eksploitasi seperti budak seks, pekerja salon, pengamen, dan pekerja jasa serupa (BBC Indonesia, 2020). Semua ini menunjukkan perlunya dukungan lebih lanjut untuk mengatasi stigma, diskriminasi, dan kesulitan akses yang dihadapi oleh komunitas transgender.

            Hal-hal itu menggambarkan bagaimana sebuah stereotip dapat muncul di kehidupan manusia. Maka dari itu, resume paper ini akan membahas mengenai stereorip pada kaum minoritas yaitu kelompok seksual menyimpang lebih tepatnya terhadap seorang Transgender.

           Ian Hugen, seorang influencer, announcer, dan penulis di Indonesia, menemui tantangan unik dalam menghadapi stigma terkait dengan keberagaman gender dan orientasi seksual di masyarakat. Di Indonesia, topik yang berhubungan dengan genderless atau kaum LGBT masih dianggap tabu, dan sering kali kelompok ini dihadapkan pada stereotip negatif. Sebagai anggota kelompok minoritas, mereka seringkali disalahpahami sebagai individu dengan perilaku seksual yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial dan kurang mendukung nilai-nilai agama.

            Stereotip ini tidak hanya muncul dari pandangan masyarakat, tetapi juga diperkuat oleh pemberitaan di media massa. Seseorang dengan orientasi seksual yang berbeda mungkin menghadapi perlakuan merendahkan dan dipandang sebelah mata. Fenomena ini mencerminkan ketidakpahaman dan kurangnya inklusivitas dalam masyarakat terhadap keberagaman identitas seksual.

            Era globalisasi, khususnya melalui media sosial, juga ikut berperan dalam memperkuat stereotip dan menciptakan narasi yang provokatif terhadap kaum minoritas orientasi seksual. Berita yang disajikan dengan unsur provokasi dapat memicu dan mengarahkan pendapat publik ke arah kebencian terhadap kelompok ini. Oleh karena itu, peran influencer seperti Ian Hugen dalam menyuarakan keberagaman, menghancurkan stereotip, dan membuka dialog terbuka sangat penting untuk menciptakan pemahaman dan penerimaan yang lebih baik dalam masyarakat.

            Dalam podcast #BersamaCinta pada kanal Youtube milik Cinta Laura, Ian Hugen bercerita bagaimana dirinya yang pada awal sangat enggan menceritakan apa yang terjadi dalam dirinya, sebuah transisi yang cukup signifikan dan akan membuat oang-orang memandangnya sebelah mata. Ian bercerita saat ini dirinya sangat bersyukur dapat menjadi seseorang yang membuat dirinya nyaman & aman yaitu menjadi seorang Transgender. Dirinya mengaku tidak akan seperti sekarang jika dalam perjalanan karirnya ia tidak menyuarakan keterbukaan orientasi seksualnya. Saat ini Ian dikenal sebagai seorang influencer dalam bidang fashion dan beauty, seorang announcer radio, dan seorang penulis yang sering membagikan karya tulis puisi di media sosialnya.

Sumber: twitter.com/@ianhugen
Sumber: twitter.com/@ianhugen

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun