Dalam kehidupan manusia, manusia pada hakikatnya pasti menilai orang lain, terutama mereka yang bukan bagiannya atau tidak berada dalam komunitas yang sama, kerap terjebak dalam stereotip dan overgeneralisasi budaya. Hal ini terkadang dilakukan manusia secara sadar maupun tidak. Salah satu contoh stereotipe yang cukup umum ialah, ketika kita menggambarkan orang ber-tattoo. Orang ber-tatto diidentikan dengan konotasi orang yang tidak "benar/baik" atau memakai dan mengkonsumsi narkoba. Kemudian, SPG yang diidentikan dengan citra perempuan bayaran atau PSK.
     Kedua contoh mengenai citra suatu kelompok yang seringkali pada akhirnya menyebabkan keliruan pemahaman dalam melakukan proses komunikasi. Dalam lingkungan komunikasi global, kita pun sering menghakimi banyak orang dari banyak kalangan. Begitu juga dengan overgeneralisasi berdasarkan suku seperti suku Jawa dan Batak. Jawa diidentikan dengan orang yang ramah halus sedangkan orang Batak diidentikan dengan orang yang keras, kasar, dan sering berbicara dengan nada yang tinggi. Hal -hal seperti ini pada akhirnya membuat kita terjebak di dalam stereotip, over-generalisasi, dan juga prasangka budaya yang sering kali menghambat komunikasi dan bisa membawa kepada konsekuensi yang lebih parah, yaitu ketersinggungan.
      Definisi stereotip menurut Mufid (2009) sendiri adalah pandangan atau perspektif terhadap suatu kelompok sosial yang diterapkan secara   seragam pada setiap individu di dalam kelompok tersebut. Stereotip muncul akibat manusia dalam berkehidupan membutuhkan sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat kompleks, membutuhkan sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas ketika berhadapan sesuatu yang baru, membutuhkan cara yang ekonomis yang membentuk  gambaran dunia di sekitarnya, dan manusia tidak mungkin mengalami semua    kejadian maka dari itu manusia mengandalkan media sebagai jendela dunia yang menjadikan stereotip terduplikat. Salah satu stereotipe yang kental dan muncul di masyarakat ialah kelompok orientasi seksual menyimpang atau LBGT.
      Keberadaan individu transgender sering kali dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan dan menjadi target kebencian. Reaksi yang beragam muncul karena anggapan bahwa mereka berperilaku menyimpang dari norma dan nilai-nilai masyarakat. Di Indonesia, orientasi seksual heteroseksual masih mendominasi, sementara transgender, sebagai bagian dari kelompok LGBT, dianggap memiliki orientasi seksual nonheteroseksual yang masih dianggap tabu dan sulit diterima oleh masyarakat. Penolakan terhadap transgender tidak hanya datang dari lingkungan sekitar, tetapi juga dari keluarga mereka sendiri. Stigma di masyarakat juga mempersulit mereka dalam mengakses hak-hak dasar, terutama selama pandemi, di mana kendala administratif seperti tidak memiliki KTP menjadi hambatan utama untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan pendidikan membuat sebagian besar transgender terbatas dalam pilihan pekerjaan, seringkali terpaksa bekerja di sektor-sektor yang rentan terhadap eksploitasi seperti budak seks, pekerja salon, pengamen, dan pekerja jasa serupa (BBC Indonesia, 2020). Semua ini menunjukkan perlunya dukungan lebih lanjut untuk mengatasi stigma, diskriminasi, dan kesulitan akses yang dihadapi oleh komunitas transgender.
      Hal-hal itu menggambarkan bagaimana sebuah stereotip dapat muncul di kehidupan manusia. Maka dari itu, resume paper ini akan membahas mengenai stereorip pada kaum minoritas yaitu kelompok seksual menyimpang lebih tepatnya terhadap seorang Transgender.
      Ian Hugen, seorang influencer, announcer, dan penulis di Indonesia, menemui tantangan unik dalam menghadapi stigma terkait dengan keberagaman gender dan orientasi seksual di masyarakat. Di Indonesia, topik yang berhubungan dengan genderless atau kaum LGBT masih dianggap tabu, dan sering kali kelompok ini dihadapkan pada stereotip negatif. Sebagai anggota kelompok minoritas, mereka seringkali disalahpahami sebagai individu dengan perilaku seksual yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial dan kurang mendukung nilai-nilai agama.
      Stereotip ini tidak hanya muncul dari pandangan masyarakat, tetapi juga diperkuat oleh pemberitaan di media massa. Seseorang dengan orientasi seksual yang berbeda mungkin menghadapi perlakuan merendahkan dan dipandang sebelah mata. Fenomena ini mencerminkan ketidakpahaman dan kurangnya inklusivitas dalam masyarakat terhadap keberagaman identitas seksual.
      Era globalisasi, khususnya melalui media sosial, juga ikut berperan dalam memperkuat stereotip dan menciptakan narasi yang provokatif terhadap kaum minoritas orientasi seksual. Berita yang disajikan dengan unsur provokasi dapat memicu dan mengarahkan pendapat publik ke arah kebencian terhadap kelompok ini. Oleh karena itu, peran influencer seperti Ian Hugen dalam menyuarakan keberagaman, menghancurkan stereotip, dan membuka dialog terbuka sangat penting untuk menciptakan pemahaman dan penerimaan yang lebih baik dalam masyarakat.
      Dalam podcast #BersamaCinta pada kanal Youtube milik Cinta Laura, Ian Hugen bercerita bagaimana dirinya yang pada awal sangat enggan menceritakan apa yang terjadi dalam dirinya, sebuah transisi yang cukup signifikan dan akan membuat oang-orang memandangnya sebelah mata. Ian bercerita saat ini dirinya sangat bersyukur dapat menjadi seseorang yang membuat dirinya nyaman & aman yaitu menjadi seorang Transgender. Dirinya mengaku tidak akan seperti sekarang jika dalam perjalanan karirnya ia tidak menyuarakan keterbukaan orientasi seksualnya. Saat ini Ian dikenal sebagai seorang influencer dalam bidang fashion dan beauty, seorang announcer radio, dan seorang penulis yang sering membagikan karya tulis puisi di media sosialnya.
     Terlihat dalam cuitin dalam akun X pribadi milik Ian Hugen bahwa dirinya tidak malu mengungkapkan perbedaan siapa dirinya dahulu dan dirinya sekarang. Pesan atau caption yang disampaikan juga menggambarkan bahwa dirinya adalah pribadi yang cukup dan layak dicintai. Ian turut bergerak dalam peran influencer seperti untuk menyuarakan keberagaman, menghancurkan stereotip, dan membuka dialog terbuka sangat penting untuk menciptakan pemahaman dan penerimaan yang lebih baik dalam masyarakat.
      Selain itu, dirinya mengakui telah menjadi seorang transpuan atau transgender. Transgender adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu yang merasakan, mengidentifikasi, atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang mereka miliki saat lahir. "Transgender" tidak merinci jenis orientasi seksual yang dimiliki oleh individu tersebut. Penting untuk dicatat bahwa identitas gender dan orientasi seksual adalah dua aspek yang berbeda; identitas gender berkaitan dengan bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya dalam hal jenis kelamin, sementara orientasi seksual menyangkut daya tarik romantik atau seksual terhadap orang lain. Pemahaman dan dukungan yang lebih luas terhadap individu transgender dapat membantu menciptakan lingkungan yang inklusif dan memahami keragaman identitas gender.
      Pendapat masyarakat terhadap LGBTQ+ masih bervariasi antara yang mendukung dan menentang. Kelompok yang menentang cenderung menganggap LGBTQ+ sebagai hal yang tabu, dengan alasan keagamaan, moralitas, keadaban, dan pemeliharaan ketertiban umum. Sementara itu, pihak yang mendukung LGBTQ+ melihat bahwa orientasi seksual seharusnya dianggap sebagai aspek privasi, merupakan bagian dari variasi biologis, dan bukanlah gangguan mental (Farida, 2019, p. 72).      Â
      Dalam konteks kebebasan dan etika filsafat, sebuah orientasi seseorang merupakan pilihan setiap individu (Mufid,2009). Setiap orang dapat dengan bebas mengeksplorasi apa-apa saja yang membuat seseorang nyaman dan mengetahui dirinya sendiri. Walaupun menjadi seorang transgender atau orientasi seksual menyimpang lainnya sangat memiliki tekanan sosial terutama pada stigma masyarakat, ia tetap berhak memiliki hak atas kehidupan dirinya sendiri. Seorang transgender yang didalamnya termasuk kelompok LGBT sekali pun berhak mendapatkan hak-hak yang sama sebagai seorang manusia. Seorang trangender tetap dapat mengembangkan dirinya melalui karya, prestasi, dan keunggulan lain yang dapat ditonjolkan dari dalam dirinya. Kebebasan ini adalah milik setiap insan manusia. Tak terkecuali siapa pun termasuk kaum minoritas orientasi seksual menyimpang.
      Menurut Lenny, seorang anggota LGBT yang dikutip dalam suatu artikel (Tirto.id, 11 Juli 2018) ia mengatakan "Seharusnya jika ingin mengaitkan dengan moral, tentu tak hanya ditujukan ke LGBT saja. Ada banyak masalah di luar sana yang bersinggungan dengan moral dan lebih parah dari LGBT, namun tak pernah dibahas." Bicara mengenai moral, moralitas merupakan sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk. Banyak kaum-kaum yang menindas mereka dan memandang mereka sebelah mata. Sudah bukan menjadi urusan orang lain untuk berkomentar atas apa yang orang lain pilih dalam hidupnya. Karena, menjadi seorang LGBT atau tidak pun setiap manusia berhak atas apa yang ia sukai dan apapun kepercayaan yang ia anut. Kita pun harus menghargai pilihan hidup seseorang.
      Lalu dari sudut pandang pribadi, menjadi 'berbeda' atau tidak merupakan hak masing-masing individu untuk menentukan prinsip dan pilihan hidup. Kita memang tidak dapat menghakami hidup seseorang atas apa yang menjadi pilihan hidupnya, termasuk gender. Jika berbicara mengenai dosa, hal ini sudah diluar konteks dan kuasa kita sebagai manusia. Setiap individu berhak atas apapun yang diinginkan dalam hidupnya. Ian Hugen telah menjadi salah satu bukti bahwa menjadi seorang transgender pun tidak menghambat dirinya untuk menjadi seorang seniman yang sukses dan membawa banyak pesan positif untuk lebih mencintai diri sendiri kepada khalayak.
      Berbeda pandangan jika berbicara pada konteks keagaamaan hal ini jelas menentang nilai-nilai agama, seperti pada Al-Qur'an Ayat Al-Hujarat 49:13 Allah SWT berfirman "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.". Hal ini menggambarkan bagaimana konteks agama dan kebebasan pilihan orientasi seksual menjadi tanggung jawab pribadi atas kepercayaannya terhadap Tuhan dan Agama.
      Di Indonesia sendiri, umumnya masyarakat menolak keberadaan kaum minoritas orientasi seksual akibat masyarakat sangat kental dengan nilai keagamaan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah kaum Muslim. Hal ini menggambarkan bahwa nilai agama Islam lebih kental dari agama lain sehingga isu-isu seperti ini dinilai sangat menentang agama.
       Dari resume ini, dapat dikatakan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk memilih prinsip dan jalan hidupnya juga memiliki tanggung jawab untuk mempertanggung jawabkan kelak di akhirat. Stigmatisasi terhadap kaum minoritas dengan orientasi seksual menyimpang sendiri perlu banyak diwadahi oleh media. Selama ini, media lebih banyak mengarahkan pemberitaan kepada konteks negatif. Padahal, jika kita dapat melihat dengan sudut pandang yang berbeda hal ini akan menjadikan masyarakat untuk meningkatkan toleransi dan rasa hormat terhadap keputusan yang dipilih oleh masing-masing individu.
     Pembahasan  diatas yaitu mengenai seorang transgender sendiri memang dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu agama, heteroseksual, masyarakat sekitar, dan kaum minoritas orientasi seksual menyimpang itu sendiri. Ini hanya tentang bagaimana kita dapat tetap menghargai seseorang dengan pilihan hidupnya sendiri. Karena pada akhirnya, dalam konteks kebebasan itu sendiri hal ini merupakan hak dari setiap individu. Maka dari itu, stereotip perlu dikendalikan agar realitas sosial semacam ini yaitu kaum minoritas orientasi sosial ini dapat sedikit meringankan beban tekanan sosial mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H