Tahukah kamu? Pada 2024 menurut laman tirto.id, data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan angka yang mencengangkan, terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan pesantren. Angka ini melonjak signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Fakta ini memperlihatkan bahwa lingkungan yang seharusnya menjadi tempat belajar dan tumbuh malah menjadi sumber trauma bagi sebagian anak. Tidak terkecuali di daerah seperti Subang, Jawa Barat, hingga kini kasus bullying terus bermunculan, meskipun banyak yang tidak terlaporkan.
Bullying bukan hanya tentang kekerasan fisik. Ada bentuk-bentuk lain yang sering tidak disadari, tetapi dampaknya sama buruknya.
- Bullying Fisik: Tindakan seperti memukul, mendorong, atau merusak barang milik korban. Ini adalah bentuk bullying yang paling kasat mata, tetapi tidak selalu menjadi yang paling parah.
- Bullying Verbal: Ejekan, hinaan, dan ucapan yang merendahkan sering dianggap remeh. Padahal, luka yang ditimbulkan kata-kata bisa bertahan jauh lebih lama daripada luka fisik.
- Bullying Seksual: Ini mencakup pelecehan verbal hingga tindakan yang tidak senonoh. Ironisnya, banyak yang masih menganggap ini sebagai candaan, padahal dampaknya sangat merusak.
Bullying dalam bentuk apa pun merenggut rasa aman dan percaya diri seorang anak. Sayangnya, banyak yang menganggap ini sebagai bagian dari "proses pendewasaan."
Dampak bullying lebih besar daripada yang terlihat. Dalam jangka pendek, korban sering mengalami trauma, kesulitan berkonsentrasi di sekolah, dan kehilangan motivasi untuk belajar. Mereka cenderung menarik diri dari lingkungan sosial karena merasa tidak aman.
Dalam jangka panjang, dampaknya lebih mengerikan. Rasa percaya diri yang hancur, depresi, dan kecemasan bisa terus menghantui korban hingga dewasa. Beberapa korban bahkan merasa tidak punya jalan keluar, sehingga memilih jalan ekstrem seperti melukai diri sendiri atau bahkan sampai bunuh diri.
Melawan bullying bukan hanya tugas pihak sekolah, tetapi tanggung jawab kita semua. Langkah-langkah kecil yang bisa kita lakukan adalah:
1. Edukasi tentang Bullying: Orang tua, guru, dan siswa perlu diedukasi tentang apa itu bullying dan dampaknya. Pemahaman adalah langkah pertama untuk menghentikan kebiasaan buruk ini.
2. Peran Sekolah: Sekolah harus menjadi tempat yang aman. Kebijakan anti-bullying harus ditegakkan, misalnya menyediakan tempat pengaduan yang dirahasiakan untuk korban.
3. Mulai dari Diri Sendiri: Hal kecil seperti tidak menertawakan ejekan, tidak ikut menyebarkan gosip, dan menegur pelaku bullying di sekitar kita bisa membuat perbedaan besar.
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Kita tidak bisa menghapus bullying dalam semalam, tetapi kita bisa mulai dengan menciptakan lingkungan yang lebih aman di sekitar kita. Setiap orang berperan dalam mencegah bullying, baik sebagai pendidik, orang tua, teman, atau anggota masyarakat.
Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk tumbuh, bukan tempat untuk terluka. Mari bersama-sama, kita putus rantai bullying sebelum terlambat.
Tidak ada anak yang pantas merasa takut untuk pergi ke sekolah. Tidak ada anak yang pantas kehilangan kepercayaan dirinya karena ucapan atau tindakan orang lain. Dengan memahami, mengedukasi, dan bertindak, kita bisa menciptakan perubahan nyata.
Bullying bukan sekadar masalah individu, tetapi masalah kita semua. Jadi, mari mulai dengan langkah kecil ---dari kata-kata yang kita pilih, cara kita berinteraksi, hingga keberanian untuk melindungi mereka yang rentan. Dengan langkah kecil itu, kita menciptakan dunia yang lebih baik, di mana setiap anak bisa merasa aman, dihargai, dan dicintai.
Mari kita jadi bagian dari solusi, bukan diam dalam masalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H