Mohon tunggu...
Tri Ratna Chaniyatun Nisa
Tri Ratna Chaniyatun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aktif sebagai mahasiswa, reporter lembaga pers mahasiswa, dan pengurus organisasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Maju Kena Mundur Kena: Mau Dibawa ke Mana Arah Kebijakan Tata Kelola Pangan Indonesia?

9 Mei 2023   05:33 Diperbarui: 9 Mei 2023   05:50 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketahanan, Kemandirian, Kedaulatan, dan Keamanan Pangan: Bagaimana Nasibnya?

Pasca menempuh badai Covid-19 beberapa tahun silam, sepertinya Indonesia mulai belajar banyak tentang ketahanan pangan yang telah bertransformasi menjadi isu penting nasional. Kata "tahan" mirip artinya dengan sanggup bertahan di tengah bencana gempa besar tanpa melakukan perubahan berarti yang dapat mengubah kondisi. Laporan yang dirilis oleh Global Food Security Index (GFSI) pada tahun 2023 menyatakan bahwa indeks ketahanan pangan Indonesia melemah sejak pandemi datang dan kembali menguat baru-baru ini. Selama satu dekade terakhir, indeks ketahanan pangan tertinggi yang pernah dicapai Indonesia berada di tahun 2019, yakni 62,6%. Kemudian di tahun 2020, angka tersebut turun menjadi 59,5% dan baru berhasil naik kembali di angka 60,3% pada tahun 2023. Kendati begitu, angka ini masih sangat jauh dari negara-negara di Asia Pasifik lainnya. Bicara soal indeks ketahanan pangan, GFSI mengelompokan tiga komponen penting untuk mencapai ketahan pangan, yaitu keterjangkauan harga, nutrisi pangan, dan keberlanjutan. Dibandingkan dengan kawan-kawannya di Asia Tenggara, Indonesia bisa membusungkan dada dengan bangga karena harga untuk pangan di negara ini adalah yang termurah se-Asean. Hal itu tidak berlaku saat pemerintah bicara tentang nutrisi dan keberlanjutan yang terkandung dalam pangan negara ini. Pasalnya, untuk dua komponen itu Indonesia masih tertinggal jauh dari standar gizi dan standar keberlanjutan yang telah ditetapkan.

Lalu, apakah peningkatan angka ketahanan pangan yang telah dicapai setelah digempur bencana pandemi menjadi cukup untuk Indonesia? Jawabannya tidak. Untuk memajukan kesejahteraan sebuah bangsa secara umum, tentunya isu pangan dan pengelolaannya mesti dicermati baik-baik. Selain ketahanan pangan, dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Arah Kebijakan Pangan Nasional, disebutkan bahwa negara juga harus memastikan bahwa kemandirian, keamanan, dan kedaulatan pangan dapat tercapai. Oleh karenanya, mari telisik satu per satu istilah tersebut. Apabila sebuah keluarga tetap dapat memenuhi kebutuhan primer mereka, seperti membeli beras di tengah himpitan kondisi ekonomi artinya mereka sanggup bertahan. Jika, keluarga tersebut menjamin dengan pasti bahwa mereka tidak akan kelaparan dalam kondisi seperti apapun artinya mereka mandiri. Dalam praktiknya, andaikan keluarga tersebut memiliki kebebasan untuk menentukan strategi yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari sesuai kearifan lokal dan sumber daya alam (SDA) yang tersedia, kondisi itu disebut sebagai kondisi yang berdaulat. Persoalan memastikan bahwa makanan yang yang dikonsumsi terbebas dari kemungkinan cemaran fisiologis, kimiawi, biologis merupakan urusan keamanan pangan. Idealnya, Indonesia harus dapat memenuhi amanat Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menuturkan kewajiban negara sebagai penjamin ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang secara merata di seluruh wilayah Indonesia dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Lantas, bagaimanakah kondisi tata kelola pangan yang terjadi di Indonesia dewasa kini?

Menilik kembali sejarah evolusi ekonomi politik pangan di Indonesia

Dalam evolusi ekonomi politik Indonesia yang pasang surut, kebijakan pangan menjadi perkara yang sulit dikupas awal mulanya. Tidak menggali akar kebijakan pangan konotasinya sama saja dengan tidak menemukan penyebab krisis pangan Indonesia saat hendak merumuskan solusinya. Akan tetapi, sejarah tata kelola pangan ini mulai dapat ditelusuri sejak abad ke-19. Di masa itu, Indonesia sempat mengungguli Thailand sebagai eksportir beras terbesar di dunia dalam rezim pemerintah Soeharto. Sebaliknya, fakta itu justru menjadi realita yang sulit diterima dengan akal sehat karena Indonesia bahkan tidak ikut dalam perjalanan industrialisasi pertanian dan pangan dunia padahal negara ini sanggup membobol gerbang pasar global dengan strategi lumbung pangannya. Indonesia, hingga kini, masih jadi negara agraris yang kesulitan dalam meningkatkan produktivitas pertanian karena kemampuan penguasaan teknologi pertanian yang masih minim. Apakah itu menjadi satu-satunya masalah yang perlu diselesaikan? Belum tentu. Beranjak dari fenomena itu, sebagai salah satu dengan jumlah populasi terpadat ke-4 di dunia, Indonesia nyatanya mengimpor beras lebih banyak daripada India yang menjadi negara dengan populasi terpadat nomor 2 di dunia. Selisih angkanya hampir dua kali lipat. Jika India mengimpor beras sebanyak 157,9 ribu ton per tahun, angka milik Indonesia bisa mencapai 326,5 ribu ton per tahun. Masalahnya, Cina yang menjadi negara paling padat di muka bumi pun masih kalah dalam jumlah impor beras apabila dibandingkan dengan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena negara itu--India dan Cina--menerapkan pembatasan angka ekspor beras untuk mencukupi permintaan domestik dan menerapkan budaya diversifikasi makanan di negaranya. Ya, Indonesia masih terlalu tergila-gila dengan nilai yang terkandung dalam sebulir beras.

Oleh sebab itu, menjaga kualitas sistem tata kelola pangan harusnya dapat dibuat prioritas. Sudah lama Indonesia berkiblat pada model ekonomi politik pangan milik Barat. Beberapa di antara dari praktik-praktik tersebut adalah model subsidi pertanian. Tinjauan buku berjudul "The Political Economy of Agricultural and Food Policies" yang ditulis Irwanto (2019) menyebut bahwa terdapat sebuah perbedaan besar di antara negara maju dan berkembang dalam hal pemberian subsidi. Bagi negara maju, seperti beberapa negara di Eropa Timur yang menganut paham komunis, mereka menghapuskan sejumlah kebijakan subsidi sehingga warga di sana terpaksa mengkreasikan semua hal yang mereka miliki agar hasil pertanian meningkat. Berbanding terbalik dengan kondisi itu, Indonesia menyuplai kebutuhan petani lokal dengan banyak subsidi benih, bibit, pupuk, bahkan antihama buatan perusahaan-perusahaan ternama. Di titik ini, kondisi tanah mungkin saja berubah. Namun, menerapkan pertanian organik yang berkelanjutan di samping memenuhi target ketersediaan pangan nasional tidaklah seperti membalikan telapak tangan. Pupuk kimia mewakili sistem pertanian konvensional yang bersifat murah dan efisien sementara pupuk organik dapat menjadi wajah pertanian organik yang ramah lingkungan, tapi kandungan unsur haranya rendah sehingga produktivitas pertaniannya tidak sebesar pertanian konvensional. 

Urusan Pangan Indonesia Masih Belum Selesai

Sudah kepalang pusing dengan target ketahanan, kemandirian, kedaulatan, dan keamanan pangan, pemerintah lagi-lagi dibebani urusan konsep pertanian yang harus diusung negeri ini. Apakah yang modern saja atau yang benar-benar organik? Tidak ada yang benar-benar seratus persen sempurna dalam kedua hal itu. Jelasnya, tata kelola pangan baik secara ekonomi maupun politik seharusnya melibatkan peran masyarakat di dalamnya. Tak hanya persoalan pupuk kimia atau organik saja yang membuktikan bahwa pemerintah Indonesia kurang melibatkan masyarakatnya dalam tata kelola pangan, tapi food estate dan kebun monokultur rasanya dapat lebih menampar. Bagaimana pun juga, pertanian adalah hal yang telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun dengan memanfaatkan pengetahuan lokal dalam mengelola SDA. Rasanya tidak pantas apabila memaksakan budaya pertanian bangsa lain dengan budaya sendiri karena bisa jadi dua budaya ini malah bertolak belakang. Belanda terbukti menjadi salah satu negara maju sekaligus negara dengan sistem pertanian terbaik di dunia karena mengkombinasikan teknologi pertanian presisi dengan struktur geografis di negaranya. Akan tetapi di Indonesia, masih banyak hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menerapkan hal yang serupa. Contohnya, dalam sebuah perkebunan kelapa sawit, kendala, seperti pengetahuan sumber daya manusia, ketidakfleksibelan sistem, resistensi sosial dan budaya dari sebagian pekerja, infrastruktur yang belum mendukung teknologi, dan biaya yang mahal masih menjadi tantangan dalam penerapan precision farming. 

Memperkuat Akses dan Inovasi Pangan Indonesia Melalui Tata Kelola Pangan Berbasis Masyarakat

Lalu, sekiranya solusi apa yang bisa diadopsi oleh pemerintah? Mungkin jawabannya adalah tata kelola pangan berbasis masyarakat (TKPBM). TKPBM adalah suatu pendekatan pengelolaan pangan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam seluruh rantai nilai pangan, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Dalam TKPBM, masyarakat memiliki peran aktif dalam mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan pangan. TKPBM juga mendorong pengembangan sistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan dengan memperhatikan kebutuhan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. Pendekatan ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya pangan yang tersedia secara berkelanjutan dan memastikan akses yang adil dan merata terhadap pangan yang berkualitas dan bergizi. Beberapa contoh penerapan TKPBM ini adalah kelompok tani, desa wisata pangan, sistem pertanian terpadu, koperasi pangan, dan program pangan keluarga harapan (PKH). Tak hanya itu, urusan memenuhi kebutuhan pangan dan keberlanjutannya juga dapat disokong dengan kearifan dan pengetahuan lokal, seperti polikultur, rotasi tanaman, pestisida nabati, penanaman dengan musim dan fase bulan, dan sistem irigasi tradisional. 

Dengan begitu, sekarang tinggal urusan memilah dan memilih. Akankah pemerintah terus maju dengan sistem tata kelola pangan dan pertanian modern atau justru memilih pulang pada model yang lebih arif dan bijak?

Sumber:

[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Arah Kebijakan Pangan Nasional.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Ahdiat A. 2022 Des 2. Ketahanan Pangan Indonesia Menguat pada 2022. [diakses 2023 Mei 8]. Kata Data. Ketahanan Pangan Indonesia Menguat pada 2022.

Annur CM. 2022 Des 16. Indonesia Paling Banyak Impor Beras dari India. [diakses 2023 Mei 8]. Kata Data. Indonesia Paling Banyak Impor Beras dari India.

Irwanto EP. 2019. Tinjauan Buku Ekonomi Politik dalam Kebijakan Pertanian dan Pangan. Masyarakat Indonesia. 45(2): 236-242.

Kusnandar VB. 2022 Sep 21. Ini Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, Indonesia Urutan Berapa? [diakses 2023 Mei 8]. Kata Data. Ini Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, Indonesia Urutan Berapa?.

Utami SN. 2021 Jun 16. Dampak Positif dan Negatif Penggunaan Pupuk Kimia. [diakses 2023 Mei 8]. Kompas. Dampak Positif dan Negatif Penggunaan Pupuk Kimia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun