Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pemanfaatannya makin meluas dan dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat di berbagai latar belakang status sosial ekonomi dan strata pendidikan adalah fenomena yang terjadi di hampir seluruh dunia.
Dalam literatur perkembangan sosial budaya peradaban manusia ketika masyarakat sudah mengenal komputer hingga internet dan memiliki kemampuan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka masyarakat seperti ini disebut memasuki era Society 4.0.
Hal tersebut sudah terlihat di Indonesia, dan bisa diakui sebagai salah satu hasil pencapaian bangsa Indonesia yang di antaranya terwujud dalam aksesibilitas informasi. Walaupun demikian, mengingat luasnya wilayah Indonesia maka tentu ada saja daerah-daerah tertentu yang belum tersentuh teknologi.
Seiring dengan meluasnya penggunaan teknologi komunikasi berbasis internet, marak pula berbagai ekspresi keterbukaan dalam mengungkapkan pendapat yang antara lain difasilitasi oleh penggunaan media sosial, untuk silaturahmi keluarga, pertemanan, saling bertukar informasi di antara komunitas, dll.
Namun demikian ada beberapa implikasi dari efek penggunaan teknologi informasi yang bisa saja suatu ketika digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Misalnya adalah menyebarkan berita palsu (hoax), seperti yang dilakukan oleh seorang napi yang mendekam di Lapas Kelas I Surabaya Porong beberapa waktu lalu (Baca Kompas).
Oleh karena itu masyarakat diminta untuk selalu bijak dalam menggunakan teknologi. Harus bisa memilih dan memilah informasi yang mengalir deras melalui media sosial, agar tidak mudah tergiring oleh provokasi yang disebarluaskan hanya dengan alasan untuk kepentingan ego pribadi / kelompok, atau bahkan untuk menipu dan mendapatkan keuntungan ekonomis secara tidak halal (ilegal).
Namun rendahnya minat baca apalagi untuk menelusuri informasi pelengkap dan pembanding sebagai bagian dari proses memperoleh informasi seutuhnya adalah kondisi nyata masyarakat kita yang masih banyak di antaranya mudah dipicu oleh isu tentang agama, komunisme, maupun isu dominasi suku bangsa tertentu yang sejatinya berpotensi menyulut kecemburuan sosial ekonomi dan konflik antar golongan.
Kesadaran untuk bijak menggunakan media sosial dengan demikian harus terus disosialisasikan dalam berbagai bentuk dan jenis media komunikasi, untuk selalu saling mengingatkan warga masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh judul yang sensasional tanpa mau membaca informasi-informasi pembanding, akibat dari malas untuk membaca.Â
Dalam pengamatan penulis, banyak di antara warga masyarakat kita yang ternyata masih mengandalkan media sosial semacam group WhatsApp sebagai sumber informasi utama, dan tidak pernah membaca berita yang disajikan oleh sumber-sumber resmi atau dari kantor-kantor berita yang sah dan kredibel.
Akibat dari hal itu, penipuan melalui pengiriman broadcast di media sosial yang menyebutkan hadiah mobil, iming-iming investasi, informasi palsu lowongan kerja, hoax pembagian kuota internet, dsb. adalah beberapa bentuk kejahatan penipuan yang hingga hari ini masih sering muncul disebarluaskan oleh beberapa orang di antara teman, dan anggota keluarga kita sendiri.
Berkat kesigapan patroli siber dan peran serta warga masyarakat untuk segera melaporkan maka hoax bisa ditelusuri dan pembuatnya dapat segera ditangkap.
Seperti kita telah pahami, hak kebebasan untuk mengungkapkan pendapat bila digunakan berlebihan tanpa adanya batasan hukum dapat mengganggu keselarasan hubungan di tengah masyarakat. Apalagi bila hak kebebasan berpendapat tersebut, diwujudkan dalam bentuk menyebarkan fitnah, hasutan, berita palsu yang meresahkan, hingga bahkan berupa intimidasi, perkusi dan tindakan kekerasan yang mengarah terorisme.
Ini adalah sisi kelemahan dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita akui sering dijadikan sebagai pintu masuk oleh paham liberalisme, komunisme, radikalisme, dan berbagai isme atau paham lain yang tidak menyukai keberadaan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Dengan dalih hak menggunakan kebebasan berpendapat, pengusung paham liberalisme dan yang tidak menyukai Pancasila selalu berusaha menggoyahkan kepemimpinan yang sah di Indonesia untuk kepentingan-kepentingan yang ujung-ujungnya sebenarnya hanya motif ekonomi, untuk menguasai lahan investasi bagi kelompok bisnisnya sendiri, yang biasanya terselubung dalam upaya untuk menerapkan paham yang dipelajarinya di luar negeri agar dapat ditanamkan di negara kita.
Membuat atau menyebarkan narasi yang antara lain berupa kriminalisasi ulama adalah cara yang biasa digunakan dengan menggunakan agama sebagai stempel bahwa dirinya berada pada posisi yang tidak bisa dianggap bersalah.
Di samping itu juga penyebaran narasi, propaganda dari paham yang menentang prinsip-prinsip dasar negara (Pancasila) adalah juga merupakan bentuk penyalahgunaan hak kebebasan berpendapat yang tidak sesuai dengan Pancasila dan jelas melanggar UUD 1945.
Itulah beberapa hal yang perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi dan introspeksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kini.
Seiring dengan makin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di lndonesia, maka kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional harus diantisipasi dengan tindakan tegas sesuai dengan ketentuan hukum.
Terlebih karena Indonesia adalah negara hukum. Hukum harus dipatuhi dan ditegakkan secara tegas dan adil untuk melindungi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Sudah merupakan kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum secara tegas dan adil. Aparat hukum pun dijamin oleh konstitusi dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Sebagai suatu upaya dari pemerintah untuk memberikan kepastian hukum maka baru-baru ini telah diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (Tahun 2020-2024). Perpres ini telah  ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2021 dan resmi diundangkan pada 7 Januari 2021.
Isi lengkap dari RAN PE sudah dapat dibaca dan diunduh masyarakat melalui laman resmi Sekretariat Negara di Setneg.go.id.
Dikutip dari Pasal 2 ayat (2)Â RAN PE tersebut, disebutkan bahwa RAN PE bertujuan untuk meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perpres ini dalam pandangan penulis merupakan langkah antisipasi, dan respon konstitusional, dengan melihat demografi dan statistik kasus terorisme di Indonesia yang cenderung meningkat. Ini juga merupakan bentuk langkah serius Pemerintah dalam menyikapi, mencegah dan menanggulangi paham yang ingin menyingkirkan Pancasila dan UUD 1945 dari kedudukannya sebagai dasar dan konstitusi negara Indonesia.
Tentu dalam hal ini diperlukan pelaksanaan strategi yang melibatkan peran serta seluruh komponen bangsa Indonesia, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu sehingga dapat berjalan sesuai dengan koridor hukum, tanpa melanggar hak asasi manusia maupun ketentuan hukum lainnya.
Ada 5 poin penting dalam Perpres RAN PE ini, yaitu:
1. Pelibatan influencer
2. Kurikulum sekolah dan pelatihan guru
3. Pelatihan pemolisian
4. Pelatihan penceramah
5. Unit aduan khusus
Kompas telah membahas tentang hal ini beberapa waktu lalu pada liputan berjudul 5 Poin Penting Perpres Pencegahan Ekstremisme, dari Pelibatan Influencer hingga Pelatihan Penceramah.
Aparat hukum, kepolisian dan lembaga terkait seperti Kejaksaan, Kemkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dsb. dituntut untuk selalu terdepan dalam menguasai teknologi informasi yang terus mengalami inovasi dan semakin canggih.
Dengan kearifan luhur bangsa dan kecakapan menguasai teknologi, maka setelah mengalami era Society 4.0 pada saatnya akan tiba bagi kita untuk bisa menginjak pada era berikutnya yaitu masyarakat super smart atau Society 5.0. Ini adalah kondisi yang ideal bagi terbentuknya sebuah masyarakat yang menguasai teknologi untuk mewujudkan kesejahteraan.
Yuko Harayama Ph.D (2017) menyebutkan bahwa Society 5.0 adalah masyarakat informasi yang dibangun di atas Society 4.0, yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat makmur yang berpusat pada manusia.Â
Menurut Harayama, digitalisasi adalah sarana, tetapi kita manusia harus tetap menjadi aktor utama. Secara tradisional, inovasi yang didorong oleh teknologi telah bertanggung jawab atas perkembangan sosial, tetapi di masa depan, kita akan membalikkan cara berpikir kita, dengan fokus pada bagaimana membangun masyarakat yang membuat kita bahagia dan memberikan rasa berharga. Itu sebabnya kita (hendaknya) fokus pada kata "masyarakat" sebagai landasan kehidupan manusia.
Dalam pandangan penulis maka itu berarti kita harus menguasai teknologi bagi kesejahteraan seluruh bangsa. Jangan sampai teknologi justru menjadi media untuk masuknya kekuatan yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa yang berdaulat.
Ada beberapa kemampuan utama yang harus dimiliki masyarakat untuk menghadapi era Society 5.0. Di antaranya yaitu kemampuan menggunakan teknologi untuk secara kreatif memecahkan masalah bagi diri sendiri serta orang banyak, dan kemampuan untuk berpikir secara kritis dalam memanfaatkan teknologi bagi kehidupan bermasyarakat yang di antaranya terwujud berupa kepekaan sosial.
Dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan semoga Indonesia tetap bersatu, makin maju dan jaya selamanya.
Sekian. Salam kebajikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H