Beberapa waktu lalu klepon mendadak cukup banyak diperbincangkan, gara-gara unggahan yang menyebut  klepon sebagai jajanan tidak Islami dan ujungnya mengajak untuk beralih ke kurma yang menurutnya Islami.
Hal ini juga sempat sekilas melintas pada obrolan saya dan teman-teman dari komunitas Goramas, kumpulan seniman dan budayawan Banyumas ketika berkumpul pada satu kesempatan pertemuan di perumahan Kober Purwokerto beberapa waktu lalu.
Dalam pandangan saya, mengadili segala sesuatu yang merupakan budi daya dan kearifan lokal dengan menggunakan konteks agama yang kebetulan diturunkan di tanah Arab itu menurut saya adalah bukan tujuan dari agama apapun diturunkan.
Kalau saja agama Islam diturunkan di tanah Jawa, apakah kemudian semua jajanan tradisional Jawa juga menjadi Islami dan kurma menjadi haram? Semestinya tidak demikian juga.
Dalam pertemuan itu, walaupun hanya sesaat saja kami menyinggung klepon, tapi seorang teman saya yaitu Kang Titut, seniman dari Padepokan Cowong Sewu, malah sempat mengekspresikan spontanitasnya berkesenian dalam sebuah monolog dan tembang Jawa.
Melalui monolog dan tembang Jawa yang dilantunkannya, Kang Titut mengingatkan pada kondisi menipisnya kualitas hubungan kekeluargaan di tengah masyarakat. Sesuatu yang sebenarnya sudah disebut oleh para pujangga dan orang-orang bijak sejak dulu.
Saya kemudian mencatat, ada yang salah bila menilai suatu makanan itu tidak Islami tanpa dasar yang jelas, tidak juga karena melihat kandungan bahan makanannya. Dalam pandangan saya, justru pada klepon terdapat kearifan lokal yang menunjukkan hasil dari budi daya masyarakat dalam memanfaatkan potensi di daerahnya untuk kehidupan. Dan klepon adalah salah satu bentuk hasil dari akal budi masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan hasil bumi untuk dijadikan sebagai pilihan menu jajanan.
Kalau saja kurma sudah sejak dulu menjadi tanaman yang mudah ditemui di Indonesia, maka saya kira kurma juga mungkin sudah banyak dijadikan variasi menu makanan orang Indonesia.
Keharmonisan hubungan sosial di masyarakat terbentuk dari sikap saling menghargai perbedaan
Unggahan yang menyudutkan klepon sebagai jajanan tidak Islami itu menunjukkan tidak adanya rasa penghargaan pada kearifan lokal. Ini juga sekaligus memperlihatkan bahaya dari sempitnya wawasan, yang dapat menggangu keharmonisan hidup bermasyarakat.
Belajar dari akibat yang ditimbulkan oleh unggahan yang menyudutkan klepon itu, ada beberapa hal yang saya bisa petik sebagai pelajaran, diantaranya adalah sbb.
1. Etika pergaulan atau adab sopan santun harus dijaga pada saat berkomunikasi di media sosial. Kebiasaan mencela yang banyak dilakukan oleh netizen di media sosial adalah bukan kebiasaan baik dan hendaknya kita bisa lebih bijak setiap kali posting, berkomentar atau mencuitkan sesuatu.
2. Keharmonisan hubungan sosial bermasyarakat itu dapat terbentuk sebagai buah dari sikap saling menghargai perbedaan diantara warga masyarakat. Sikap atau perkataan yang tidak menghargai perbedaan itu dapat mengganggu keharmonisan hubungan sosial di tengah masyarakat.
3. Hendaknya jangan mudah diombang-ambingkan oleh unggahan-ungahan sampah dari orang yang tak bertanggung jawab.
Demikian, semoga bermanfaat.
(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H