Mohon tunggu...
Triono Hadi
Triono Hadi Mohon Tunggu... Konsultan - Triono Hadi, bekerja di Fitra Riau

Koordinator Fitra Riau

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Waspada "Musim" Rawan Korupsi

6 Agustus 2019   09:29 Diperbarui: 6 Agustus 2019   09:34 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim kemarau telah tiba di Provinsi Riau, tandanya sederhana titik api bermunculan lalu diikuti serbuan kabut asap  yang menganggu aktivitas diberbagai lini. Titik api dan luasan Karhutla, aktivitas penanganan kebaran, kabut asap dan penyakit ISPA menjadi tema baru yang mulai sering dikabarkan media masa. Tapi, tak kalah penting pada saat bersamaan musim kemarau ini, patut untuk diwaspadai adalah praktek tindak pidana korupsi.

Korupsi memang tidak mengenal musim dan tentu siapapun tidak berharap ada korupsi. Tetapi  jika ada ruang dan peluang kapan saja korupsi bisa terjadi. Merujuk pada Teori Willingness and Opportunity to Corrupt, teori ini menyatakan: "korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang) dan didorong dengan niat/keinginan karena kebutuhan & keserakahan".

Dalam konteks ini, penulis merujuk pada peristiwa yang pernah dan dapat dikatakan sering terjadi dilatarbelakangi oleh perisitiwa musiman. Baik praktek korupsi yang penah terjadi di Provinsi Riau maupun didaerah lainnya yang telah diungkap  oleh intansi penegak hukum (KPK, Polri, Kejaksaan). "Musim" praktek korupsi yang perlu untuk waspadai khususnya di Riau yaitu:

Pertama: Transaksi dalam pembahasan Anggaran bersama DPRD. Masih ter-ngiang dalam ingatan beberapa tahun lalu dua peristiwa korupsi dengan model yang sama terjadi di Riau. Korupsi dimaksud dengan modus memberikan uang suap untuk memuluskan proses pembahasan anggaran di DPRD Riau.

Dua praktek korupsi yang telah terungkap tersebut yaitu korupsi pembahasan revisi Perda tahun jamak pembangunan fasilitas pendukung Pekan Olahraga Nasional (PON) yang terjadi pada tahun 2012 dilatarbelakangi orperasi tangkap tangan (OTT). Dalam korupsi ini, melibatkan 10 anggota DPRD Riau sebagai penerima suap dan Gebenur Riau kala itu beserta pejabat kepala dinas selaku pemberi suap dengan otal nilai suap sebesar Rp. 1,8 Milyar.

Selain itu, praktek korupsi dengan modus yang sama terulang pada pada tahun 2014 di DPRD Riau. Praktek korupsi dengan modus pemberian uang suap untuk pembahasan Perda APBD Riau perubahan tahun 2014 dan APBD Murni tahun 2015. Saat itu, kondisinya baru pergantian Gubenur Riau yang dihadapkan dengan pembahasan Ranperda APBD di DPRD dan saat itu pula adalah masa akhir jabatan anggota DPRD Riau priode 2019-2014, dalam peristiwa terebut melibatkan 3 anggota DPRD dan Gubenur Riau.

Kondisi tahun 2019 ini, pemerintah daerah Provinsi Riau dihadapkan pada peristiwa yang mirip seperti diuraikan diatas. Selain baru pergantian Gubenur yang dilantik pada 19 Februari silam, saat ini dihadapkan pada peristiwa pembahasan beberapa Rancangan Perda bersama dengan DPRD Riau. Rancangan Perda OPD, Perda RPJMD, Perda APBD P 2019 dan Perda APBD tahun 2020 yang kemungkinan dibahas secara paralel.

Kondisi lain yang mirip, dua bulan kedepan adalah masa akhir jabatan anggota DPRD Riau priode 2014-2019. Berdasarkan data KPU Riau (sementara), kurang dari setengah angora DPRD (incumbent) yang duduk kembali, selebihnya tidak duduk kembali atau duduk di DPR RI.

Jika merujuk pada persitiwa sebelumnya, maka kondisi ini patut diwasdai praktek transksi dalam proses pembahasan RanPerda yang saat ini sedang dibahas di DPRD. Rancangan Perda strategis dan wajib setiap tahun untuk memastikan jalannya pemerintahan menurut hemat penulis sangat rentan paraktek korupsi. Bermula dengan praktek penyanderaan dan untuk memuluskannya dengan cara memberikan suap.

Pengungkapan praktek serupa di beberapa daerah lain baru --baru ini oleh KPK seperti di Provinsi Jambi, di Kota Malang yang melibatkan 41 orang anggota DRPD, dan beberapa daerah lainnya. Menunjukkan bahwa praktek terebut masih menjadi area korupsi yang nyata, tidak menutup kemungkinan potensi itu besar terjadi di Provinsi Riau. 

Kedua: Praktek korupsi jual beli jabatan. Area ini adalah satu area korupsi yang rentan terjadi dengan berbagai modus operandi. Berdasarkan laporan KPK, korupsi yang paling banyak ditangani adalah korupsi dalam bentuk suap. Sebagian suap yang ditangani berkaitan dengan proses mutasi atau penempatan pejabat baik eselon II, III dan IV oleh kepala daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun