Mohon tunggu...
Tri Nurdiyanso
Tri Nurdiyanso Mohon Tunggu... Guru - Menjadi manusia sewajarnya

Hanya sebagai manusia untuk mencurahkan apa yang dipikirkan.

Selanjutnya

Tutup

Love

Maksud Hati Memberikan Sayang, Malahan Mendapatkan Parang

13 Agustus 2022   22:46 Diperbarui: 14 Agustus 2022   00:33 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Fenomena toxic relationship sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi sudah lama ada. Hanya saja sedikit orang yang berani berbicara, karena dulu merupakan hal tabu yang diperbincangkan. 

Beda dengan sekarang, karena perkembangan teknologi informasi yang memfasilitasi orang untuk berbicara. Mungkin inilah hal positif dari media sosial. Kala ada yang berani mengutarakan pengalaman pacaran yang toxic, memunculkan keberanian orang lain untuk bicara hal yang sama.

Sedikit ingatan ditengah perbincangan dengan teman yang berprofesi sebagai guru di salah satu SMP swasta. Meski awal obrolan hanya obrolan ringan tetapi ada sebuah kisah yang memprihatikan. Ada siswi yang kehilangan perhatian dari keluarga dan memiliki relasi pacaran yang tidak sehat. 

Parahnya, siswi tersebut mendapatkan pelecehan seksual dari pacarnya. Memang jika pasangan sudah mengatasnamakan cinta, logika seakan-akan nurut saja pada perkataannya tanpa memandang benar atau salah.

Rasa kesepian dan tidak mendapatkan perhatian dari orang tua, mendorong siswi ini untuk mencari seseorang untuk mengisi kekosongannya. Pujian dan rayuan dari lelaki sebayanya ternyata ampuh meluluhkan hatinya dan mengikat hatinya. Akhirnya, drama toxic relationship pun dimulai. Siswi yang masih menginjak kelas 8 hanya menjadi obyek permainan oleh pacarnya.

Berawal dari pegangan tangan yang nampak biasa, menjalar dari kecupan sayang di antara mereka. Tidak ada paksaan sejauh itu, karena atas dasar sayang dan cinta. Hal itu pun berangsur-angsur pada ajakan untuk berhubungan intim. Meskipun siswi ini sempat menolak karena takut. 

Entah takut hamil atau takut dimarahi orang tuanya, kenyataannya takut akan kehilangan sang pacar telah melenyapkan kedua ketakutan tadi. Terlebih juga bahwa permintaan dari pacarnya mampu dipenuhi, hal itu dianggap bahwa siswi tersebut benar-benar mencintainya. Siswi itu pun mengiyakan karena janji manis dari Sang Pacar bahwa kejadian itu hanya menjadi rahasia diantara mereka.

Tidak hanya sekali mereka berhubungan, tetapi beberapa kali karena merasa tidak ada masalah yang menghalangi. Pacar pun rasanya tidak membocorkan kepada siapapun. Tetapi entah kenapa ada pesan SMS masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. 

Isi pesannya pun membuatnya terguncang karena meminta berhubungan seks dengannya. Siswi ini pun merasa sedih, kenapa pesan semacam ini bisa masuk dalam nomor handphonenya. Akhirnya dia menanyakan ke pacarnya karena penasaran, kalau-kalau pacarnya membocorkan rahasia mereka berdua.

Penasarannya menemukan fakta yang semakin membuat hancur hatinya dan harga dirinya benar-benar rusak. Hubungan intim dengan pacarnya malahan menjadi bahan obrolan Si Pacar kepada teman-temannya. Meskipun si pacar hanya mengaku menceritakan kepada segilintir temannya, tetapi pasti cerita tersebar luas. Lebih parahnya lagi, obrolan tersebut memojokkan siswi kelas 8 ini. 

Pacarnya merasa lelaki hebat karena bisa meniduri siswi tersebut. Bahkan ada inisiatif Si Pacar mengajaknya untuk berhubungan dengan teman-temannya. Entah siswi ini melakukannya atau tidak, kelanjutan ceritanya terhenti karena kesedihan siswi tersebut tidak mampu meneruskan pengalamannya.

Dari kesepian hingga ketakutan akan ditinggal pacarnya, siswi tersebut rela melakukan apapun meskipun dia tahu bahwa dirinya sedang dieksploitasi secara seksual. Tetapi fakta lain adalah harga dirinya sudah benar-benar hancur sehingga tak ada artinya lagi untuk hidup. 

Mungkin pacarnya adalah satu-satunya yang diharapkan untuk mengisi kekosongannya, meskipun bayarannya adalah menyerahkan keperawannya. Kejadian semacam ini tidak hanya terjadi pada siswi ini, tetapi bisa jadi terjadi pada siswi-siswi lain atau perempuan lain yang sudah lepas dari sekolah.

Hubungan semacam ini telah merenggut harga diri sebagai perempuan. Keinginan bunuh diri mungkin bisa menghantuinya setiap saat, bahkan bisa saja terjerumus ke dunia malam sebagai pekerja seks komersial. Seperti halnya cerita dari penelitian istriku ditempat lokalisasi bahwa alasan menjadi pekerja seks komersial bukan masalah uang, melainkan pengalaman masa lalunya. 

Ada yang memiliki pengalaman pelecehan seksual yang dilakukan pacarnya sendiri yang mengantarkan mereka melakukan pekerjaan sebagai pekerja seks komersial. Betapa mengerikan sebuah hubungan yang diharapkan manis tetapi berujung pada kepahitan.

Terlebih pada masa pandemi Covid-19 sekarang ini, membuat remaja semakin berkawan akrab dengan gadgetnya. Hubungan pacaran hanya bisa lewat video call atau pesan. 

Kejenuhan mereka yang hanya dirumah karena pandemi, membuat mereka berpacaran lewat media sosial. Bisa dibayangkan kejadian siswi tadi, jika terjadi pada masa sekarang. Bisa saja pacarnya memintanya untuk merekam dirinya dalam keadaan telanjang sebagai bukti cinta. Kok bisa? Ingat diatas nama cinta, semua bisa terjadi, termasuk hal tak wajar ini.

Jika hal itu tidak dituruti, maka cintanya tidak terbukti. Di sisi lain, jika dituruti, maka ini menjadi titik awal ekspolitasi dimulai. Berawal merekam video telanjang sendiri, akan menjadi 'kartu as' untuk meminta pasanganya melakukan hal lebih dari itu. Bisa saja memintanya untuk berhubungan intim dengannya. 

Ada yang lebih ekstrim dengan menjualnya kepada temannya. Lantas bagaimana jika menolaknya? Siap-siap saja, rekaman tadi tersebar di internet. Bukankah hal ini tragis. Maksud hati memberikan sayang, tetapi diberikan parang.

Dengan memberikan segalanya kepada pacar merupakan hal yang paling bodoh. Sebenarnya jika pasangan (dalam berpacaran) sudah meminta hal yang aneh, seperti cerita tadi, itu sudah membuktikan bahwa dia bukan pasangan yang baik dan tepat. 

Kesadaran bahwa kesepian pasti dialami hampir semua orang dan hati-hati dalam mengisi kekosongan tersebut menjadi hal yang krusial untuk bisa terhindar dari toxic relationship. Terlebih untuk menghindari dari eksploitasi seksual dalam berpacaran. Rasanya mempromosikan pola-pola berpacaran kepada siswa-siswa sangat penting untuk menyelamatkan mereka dari toxic relationship.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun