Mohon tunggu...
trinanti sulamit
trinanti sulamit Mohon Tunggu... PNS -

pegawai negara, hidup di dalam gedung, juga trotoar jelek

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Transportasi dari Pulau ke Pulau

3 Januari 2016   21:44 Diperbarui: 4 Januari 2016   07:29 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tabel 4. Rasio Pesawat dan Bandara


Dari tabel di atas, kita melihat bahwa infrastruktur bandara yang jumlahnya paling banyak dan cakupan paling luas adalah bandara dengan klasifikasi 2B, yakni 116 bandara pada 29 provinsi. Ironisnya, rasio perbandingan pesawat yang bisa singgah di sana hanya 2,69—terendah dari seluruh klasifikasi bandara. Hal ini membuat kita dapat menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi udara di Indonesia tidak seiring dengan pengadaan pesawat—baik oleh perusahaan swasta ataupun BUMN—yang dapat membuatnya berfungsi secara optimal. 

Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah pembangunan infrastruktur bandara harus menyesuaikan pengadaan pesawat ataukah pengadaan pesawat yang harus menyesuaikan infrastruktur bandara? Apakah pembangunan infrastruktur sudah melalui tahap penghitungan manfaat dan biaya? Apakah pembangunan infrastruktur selama ini hanya hendak menyasar output berupa ketersediaan bandara atau hingga outcome berupa peningkatan distribusi barang dan mobilitas warga hingga ke seluruh pelosok Indonesia?

Solusi

Penulis melihat bahwa demi pencapaian outcome, diperlukan penyesuaian antara bandara dan armada pesawatnya. Hal dapat dilakukan, misalnya, dengan memberikan fasilitasi terhadap perusahaan maskapai yang akan berinvestasi dalam pengadaan pesawat yang masuk klasifikasi bandara minimal 2B.

Pada September 2015, media massa ramai memberitakan pencarian investor bagi PT Regio Aviasi Industri (RAI) untuk mendanai proyek komersial pesawat R80. Hingga saat ini sudah ada tiga maskapai yang memesan sebanyak 155 unit, yakni Nam Air, Kalstar, dan Trigana Air[10].

PT RAI merupakan perusahaan yang didirikan B.J. Habibie pada 2012, bekerja sama dengan PT Ilhabi Rekatama dan PT Eagle Capital. Cita-cita Habibie yang tertunda pada 1998, nampaknya akan segera terwujud dalam beberapa tahun ke depan. Jamak diketahui bahwa suntikan dana bagi proyek N-250 yang diluncurkan PT Dirgantara Indonesia pada 1995 terpaksa berhenti atas rekomendasi IMF merespons krisis yang terjadi di Indonesia pada 1998. Sejak itu, potensi industri pesawat di Indonesia terpaksa tiarap. Kini, pesawat R80 yang berkapasistas 80-90 dengan mesin turbopop sebagai kelanjutan pengembangan dari N-250 mulai menunjukkan geliatnya. Selain diklaim hemat bahan bakar, R80 juga mampu menembus daerah hingga pelosok Indonesia karena dapat take off dan landing pada landasan pacu yang pendek, yakni 4500ft atau 1.316m. Lebar sayap R80 28,82m dan jarak antar roda terluarnya 3,7m. Dimensi R80 terlihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Dimensi Pesawat R80[11]


 

Jika setelah melakukan analisis biaya manfaat, pemerintah melihat bahwa R80 tepat dalam mencapai outcome, maka selain mendukung investasi pendanaan baik secara langsung kepada PT Regio Aviasi Industri, maupun melalui fasilitasi perusahaan maskapai yang menjadi konsumennya; pemerintah juga perlu mulai menyiapkan infrastruktur bandara dengan menaikkan bandara klasifikasi 2B menjadi 3C agar sesuai dengan kebutuhan performa R80.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun