Mohon tunggu...
Tri Murtiana
Tri Murtiana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masyarakat Postmodern: Karakteristik dan Permasalahannya

12 Oktober 2016   13:57 Diperbarui: 12 Oktober 2016   14:12 7590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Objek menjadi tanda yang nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode. Objek dalam masalah konsumsi ini adalah bagian dari sistem tanda dimana setiap orang mampu membaca dan mengkomunikasikannya. Sehingga ketika individu di dalam masyarakat postmodern mengkonsumsi objek, maka inidvidu yang bersangkutan pada dasarnya mengkonsumsi tanda dan dalam prosesnya inidvidu tersebut mendefinisikan dirinya melalui objek yang dikonsumsinya. Oleh sebab itu, melalui objek setiap individu dan setiap kelompok menemukan tempat masing-masing pada tatanan masyarakat dan semuanya berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi sehingga masyarakat menjadi terstratifikasi dan setiap orang berada pada tempatnya masing-masing di dalam tatanan sosial. 

Dalam artian yang lebih luas, masyarakat merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda dari masyarakat lain berdasarkan atas objek yang dikonsumsinya. Apa yang mereka konsumsi tidaklah menitikberatkan pada banyaknya objek melainkan tanda, sehingga konsumsi menjadi sistem aksi manipulasi tanda karena untuk menjadi sebuah objek konsumsi, objek haruslah menjadi tanda. Masyarakat postmodern mengkonsumsi objek tertentu yang menandakan  bahwa ia adalah sama dengan masyarakat yang mengkonsumsi objek tersebut dan berbeda dari siapa yang mengkonsumsi objek lain. 

Inilah kode yang mengontrol apa yang dikonsumsi dan apa yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat. Ironisnnya, bagi sebagian besar individu di dalam masyarakat postmodern, dunia konsumsi seakan terlihat sebagai sebuah kebebasan karena bagaimanapun ketika kita memiliki uang kita seolah-olah bebas untuk membeli apapun yang kita inginkan, namun pada kenyataannya kita hanya bebas mengkonsumsi sebagian kecil dari objek dan tanda yang berbeda. Parahnya, dalam konsumsi kita seringkali merasa unik tapi pada kenyataannya kita sangat menyerupai orang lain dan juga kelompok sosial kita serta anggota dari kelompok lain yang mengkonsumsi sesuatu yang persis sama dengan apa yang kita konsumsi. Sehingga kita tidaklah sebebas apa yang kita pikirkan.

Di dalam dunia yang dikontrol oleh kode, persoalan-persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang berkenaan dengan kepuasan atas apa yang umumnya dikenal sebagai kebutuhan. Ide kebutuhan ini muncul dari pembagian objek dan subjek palsu dimana subjek butuh objek dan objek adalah apa yang dibutuhkan oleh subjek. Dalam arti lain, kita tidaklah mengkonsumsi atau membeli apa yang kita butuhkan, tetapi membeli dan mengkonsumsi apa yang kode sampaikan kepada kita tentang apa yang seharusnya dibeli. Lebih jauh, kebutuhan kita ditentukan oleh kode pada kita tentang apa yang dibutuhkan sehingga konsumsi menjadi tidak ada kaitannya dengan realitas melainkan konsumsi berkaitan dengan kepemilikan yang sistematis dan tidak terbatas pada tanda objek konsumsi, karena tanda objek dan kode ketika ia berperan tidaklah “nyata”. 

Dari sudut pandang ini, kita membeli pakaian dengan merk dan model tertentu bukan hanya karena kita membutuhkan pakaian, melainkan kita lebih memperoldeh apa yang pakaian tersebut tandakan mengenai kita. Misalnya, kita adalah bagian dari kelas sosial atas, individu yang kekinian, fashionable,dan lain sebagainya. Dalam masyarakat konsumen yang dikontrol oleh kode, hubungan manusia ditranformasikan dalam hubungan dengan objek, terutama konsumsi objek. 

Namun yang menjadi masalah adalah objek-objek tersebut tidak lagi memiliki makna karena makna kebanyakan objek berasal dari perbedaan hubungannya dengan dan atau objek lain, kumpulan atau jaringan objek ini memiliki makna dan logika sendiri. Objek adalah tanda dan konsumsi tanda-tanda objek ini dilakukan dengan menggunakan bahasa yang kita pahami. Berbagai komoditas dibeli sebagai gaya dan ekspresi tanda, prestise, kekuasaan, dan lain sebagainya. Di tambah lagi, kita berusaha mebenarkan diri kita dengan beberapa perbedaan diri kita dengan diri orang lain berdasarkan atas tanda dari objek yang kita konsumsi. 

Apa yang kita perlukan di era postmodern ini bukanlah objek tertentu tetapi lebih kepada sebuah upaya untuk menjadi berbeda dengan dengan orang lain dan melalui perbedaan itu kita memiliki status sosial dan makna sosial. Masyarakat konsumsi di era postmodern ini bukanlah mencari kenikmatan untuk memperoleh dan menggunakan objek ynag kita cari, tetapi lebih kepada perbedaan. Hal ini juga menggiring pada suatu pemahaman bahwa kebutuhan tidak dapat dipuaskan karena sepanjang hidupnya karena setiap individu di dalam masyarakat konsumsi ini terus membedakan dirinya dengan orang lain yang menempati posisi lain di dalam masyarakat. 

Dengan jalan itu, nafsu mengkonsumsi terus menerus dipupuk dan ditawarkan tanpa pernah ada jeda. Maka, mengkonsumsi bukan lagi menjadi suatu kebutuhan, melainkan telah melampaui hal-hal yang bersifat fisik-material. Mengkonsumsi telah menjadi gaya hidup, status sosial, dan bahkan hidup itu sendiri. Padahal kepuasan manusia tidak pernah ada batasnya, tidak pernah ada kepuasan yang final, sehingga ketika kepuasan mengkonsumsi telah memudar atau berkurang, maka akan tumbuh kembali keinginan untuk memperoleh kepuasan yang baru.

Bahasa di dalam industri periklanan pada masyrakat konsumen dimanipulasi sedemikian rupa sehingga ia tidak bersifat deskriptif kualitatif, namun cenderung melebih-lebihkan untuk memantapkan image tertentu dari sebuah produk barang dan jasa. Lewat cara ini, berbagai ragam paket komersial terus menerus hadir dan ditawarkan setiap saat, dalam segala formula, lewat beragam media, tanpa mampu dihindari. Berbagai kebutuhan palsu yang menawarkan kepuasan dalam bentuk imajinasi yang menyenangkan banyak dibebankan kepada individu, berbagai kebutuhan yang termasuk ke dalam kebutuhan palsu adalah kebutuhan untuk bisa rileks, untuk bersenang-senang, untuk berperilaku dan mengkonsumsi sesuatu sesuai dengan iklan-iklan yang ada, serta untuk mencintai dan membenci apa yang dicintai dan dibenci orang lain. 

Semua ini tidak timbul dari lubuk hati dan keinginan individu secara personal melainkan hanya sekedar melihat orang lain tanpa menghiraukan fakta bahwa sebenarnya individu dipaksa untuk mengkonsumsi dan berperilaku sesuai dengan apa yang telah ditawarkan dan diatur oleh sistem yang ada.  Dalam hal ini, iklan-iklan di media massa secara terus menerus mengkontruksi bagaimana segala sesuatu di dalam kehidupan harus berjalan sehingga dapat dikatakan ideal. Maka berbagai produk yang ditawarkan melalui iklan pada dasarnya tidaklah ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan yang esensial bagi individu sebagai seorang manusia melainkan dimuati berbagai simbol yang menawarkan janji-janji terpenuhinya imajinasi gaya hidup yang ideal menurut versi masyarakat postmodern.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun