Kehidupan masyarakat dengan segenap realitas sosial yang menyertainya begitu dinamis dan sporadis. Masyarakat tidak pernah berada dalam suatu kondisi yang stagnan dari waktu ke waktu, begitu pula dengan realitas sosial yang terus mengalami modifikasi akibat berbagai produk budaya yang muncul sebagai reaksi dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mampu melampaui realita itu sendiri. Era modernisme yang beberapa tahun terakhir lalu sempat menjadi standar dari basis setiap kehidupan masyarakat yang maju dan rasional pada akhirnya justru memunculkan suatu kondisi masyarakat yang sporadis yang penuh dengan manipulasi tanda yang dicirikan dengan ketidakstabilan makna akan segala sesuatu.Â
Ketidaksabilan makna dan tanda yang ditampilkan melalui bahasa lewat media massa yang terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi menyebabkan segala sesuatu menjadi tidak seimbang dan tidak bisa dipercaya karena bahasa tidak lagi bersifat deskriptif kualitatif melainkan cenderung melebih-lebihkan untuk memantapkan image tertentu dari sebuah produk barang dan jasa. Sehingga pada akhirnya produk barang dan jasa menjadi objek yang sarat akan tanda dan makna.Â
Kondisi ini pada satu titik menyebabkan masyarakat postmodern begitu identik dengan masyarakat konsumsi karena iklan-iklan di media massa secara terus menerus mengkontruksi bagaimana segala sesuatu di dalam kehidupan harus berjalan sehingga dapat dikatakan ideal, maka berbagai produk yang ditawarkan melalui iklan pada dasarnya tidaklah ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan yang esensial bagi individu sebagai seorang manusia melainkan dimuati berbagai simbol yang menawarkan janji-janji terpenuhinya imajinasi gaya hidup yang ideal menurut versi masyarakat postmodern.  Â
Mendefinisikan pengertian masyarakat postmodern ke dalam sebuah definisi operasional bukanlah perkara yang mudah mengingat istilah postmodern itu sendiri mewakili suatu kondisi yang sporadis dari kehidupan sosial yang sifatnya begitu kompleks dan abstrak. Istilah postmodern itu sendiri sangat membingungkan dan bahkan pada satu titik begitu meragukan, ia bisa jadi merupakan sebuah situasi, suatu kondisi, teori, aliran filsafat atau tak lebih dari sekedar cara pandang dan cara berpikir terhadap berbagai realitas sosial  melalui ribuan kritikan dan hujatan terhadap kondisi masyarakat modern tanpa mampu memberikan jalan keluar terhadap situasi sporadis yang menjerat individu dalam keterasingan akibat ketidakstabilan sistem penanda yang ditampilkan dalam media bahasa.Â
Untuk memberikan kejelasan berkaitan dengan ambiguitas besar tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan istilah postmodern, terlebih dahulu perlu dibedakan apa itu teori sosial postmodernitas, postmodernisme, dan postmodern. Istilah postmodernitas merujuk pada suatu jangka waktu, zaman, masa dan kondisi sosial politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemahaman historis. Postmodernisme merujuk pada produk kultural dalam seni, film, arsitektur, dan sebagainya yang terlihat berbeda dari produk kultural modern. Sedangkan teori sosial postmodern merujuk pada bentuk teori sosial yang berbeda dari teori sosial modern.Â
Sehingga istilah postmodern secara keseluruhan meliputi suatu epos historis baru, produk kultural baru, dan tipe teoritisasi baru mengenai dunia sosial pada masyarakat saat ini. Dalam hal ini, postmodernisme sebagai sebuah wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang melainkan dikendalikan oleh produksi dan reproduksi informasi yang menyebabkan segala sesuatu berada dalam kondisi yang tidak stabil dan sulit dibedakan antara yang riil dan yang tidak riil sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai antitesis dari modernisme yang menawarkan janji-janji berupa keteraturan, rasionalitas, efisiensi, kepastian, dan demokrasi.Â
Rasionalitas sebagai elemen utama yang menandai kehidupan sosial di era modern pada akhirnya justru menjadi sangat dominan dan membuat manusia modern terhegemoni oleh rasionalitasnya sendiri sehingga individu kehilangan kemampuannya untuk berpikir kritis dan negatif tentang masyarakat, akibatnya individu semakin tidak sadar bahwa mereka berada dalam kondisi teralienasi. Pada akhirnya narasi besar sebagai proyek modernisme gagal memenuhi janji-janjinya karena rasionalitas yang mendorong kemajuan teknologi justru menjadikan teknologi memanipulasi berbagai gagasan, ide, dan lain sebagainya yang dikomunikasikan dalam ruang sosial melalui media bahasa. Bahasa yang tidak stabil membuat membuat gagasan, ide, dan segala sesuatu menjadi tidak stabil sehingga segala sesuatu menjadi tidak bisa dipercaya.
Lebih lanjut, masyarakat postmodern juga dapat diartikan sebagai sebuah masyarakat konsumen dimana masyarakat kapitalis telah mengalami pergeseran perhatian dari produksi ke konsumsi. Dalam hal ini, para kapitalis semata-mata menitikberatkan kontrol atas produksi dan konsumsi secara umum terutama atas aksi-aksi konsumen sehingga masyarakat terus menerus didorong untuk mengkonsumsi segala sesuatu secara lebih banyak dengan variasi yang lebih besar.Â
Dalam bidang konsumsi, hal ini menitikberatkan pada pemasaran dan iklan, dimana iklan menjadi pembentuk struktur sosial yang memaksa masyarakat untuk melakukan konsumsi melalui manipulasi tanda yang dikomunikasikan lewat bahasa melalui berbagai media massa. Dalam hal ini, iklan-iklan di media massa secara terus menerus mengkontruksi bagaimana segala sesuatu di dalam kehidupan harus berjalan sehingga dapat dikatakan ideal, maka berbagai produk yang ditawarkan melalui iklan pada dasarnya tidaklah ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan yang esensial bagi individu sebagai seorang manusia melainkan dimuati berbagai simbol yang menawarkan janji-janji terpenuhinya imajinasi gaya hidup yang ideal apabila individu mengkonsumsi dan memiliki kehidupan sebagaimana yang dikontruksi oleh iklan di dalam media massa tersebut.Â
Pada titik ini individu akan melakukan berbagai upaya agar ia dapat memiliki kehidupan ideal yang semu tersebut, apabila individu tidak dapat memiliki kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh sistem yang ada tersebut individu akan merasa gelisah dan terasing dari lingkungannya, padahal mereka yang berlomba-lomba untuk memiliki kehidupan yang diidealkan oleh sistem itulah yang sebenarnya terasing dari dirinya sendiri karena ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan segala sesuatu yang diinginkannya, disukainya, atau dibencinya.
Salah satu fenomena sosiologis yang sangat menarik untuk dikaji dengan sudut pandang teori sosiologi postmodern adalah masyarakat konsumen. Baudrillard memandang objek konsumsi sebagai sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi atau dengan kata lain, kebutuhan dan konsumsi merupakan perluasan kekuatan produktif yang diorganisir, sehingga Baudrillard memandang sistem objek konsumen dan sistem komunikasi pada dasar periklanan sebagai pembentukan sebuah kode signifikasi yang mengontrol objek dan individu di tengah masyarakat.Â