Jakarta//Mata Pers Indonesia -- Kehebohan pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) di Kalibata City ternyata masih panas. Warga di kompleks apartemen yang dikenal sebagai kompleks apartemen terbesar se-Indonesia ini, dengan penghuni yang mencapai 30.000 jiwa, setara dengan penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu, masih terus membicarakan proses pembentukan P3SRS yang diduga banyak terjadi hal-hal yang melanggar hukum.
Empat orang anggota tim verifikasi P3SRS angkat bicara tentang kekisruhan pembentukan P3SRS di Kalibata City. Tim ini dibuat sesuai Pergub untuk memverifikasi data pemilik dan menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kalibata City yang berhak mengikuti proses pembentukan P3SRS. Empat orang di antaranya bertahan untuk tidak menandatangani berita acara pengesahan DPT karena melihat di dalamnya ada banyak pelanggaran hukum.
"Kami tidak bersedia menandatangani berita acara pengesahan DPT yang diminta oleh pengembang. Mereka yang seharusnya memfasilitasi tapi malah mengambil alih wewenang Tim Verifikasi dengan memimpin proses verifikasi dari mulai menempel 'DPS' sampai mengundang anggota TIm Verifikasi untuk menanda tangani DPT, termasuk juga menentukan durasi kapan verifikasi itu harus selesai. Dan mereka tidak memberi kesempatan Tim Verifikasi melaksanakan kegiatannya seperti menyusun rencana kerja, SOP pelaksanaan Verifikasi sampai menyepakati terbitnya DPT," ujar Ichsan Hadjar, salah satu dari empat anggota Tim Verifikasi.
Dugaan ketidakwajaran sudah tercium sejak awal diumumkannya pendaftaran calon tim verifikasi. Protes warga tentang persyaratan yang menyalahi ketentuan diabaikan oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI. Berikutnya, setelah tidak ada kabar selama 2 bulan lebih, tiba-tiba kelurahan membuat undangan rapat pembentukan tim verifikasi yang hanya mengundang 19 orang, padahal jumlah pendaftar dikatakan mencapai 40 orang, tanpa menjelaskan mengapa para pendaftar lain tidak diundang.
"Baru setelah kita gugat ke PTUN ketahuan bahwa 19 orang itu didasarkan pada surat dari Pelaku Pembangunan dan ini jelas-jelas menyalahi Pergub," ujar Join Hanita, salah satu calon pendaftar yang tidak diloloskan.
"Saya dan rekan-rekan lain jadi bertanya-tanya, apa wewenang developer untuk menentukan orang-orang yang lolos. Developer itu hanya memfasilitasi ruangan saja, tidak boleh ikut menentukan. Ini jelas melanggar aturan, bahkan melanggar undang-undang. Aturannya dalam Pergub adalah semua pendaftar yang memenuhi syarat harus diundang, tidak bisa dipilih-pilih," lanjutnya.
Join Hanita dan sejumlah warga lain kemudian mengadukan hal ini ke Balai Kota DKI Jakarta dan akhirnya diterima di Biro Tata Pemerintahan pada 13 Maret 2023.
"Dari rapat di Biro Tapem itu, kami menemukan fakta bahwa Tim Verifikasi ini memang melanggar aturan. Seharusnya, menurut Pergub 133/2019, pembentukan tim verifikasi itu adalah tahap ke-4, harus didahului tahap ke-2 yakni pendataan dan ke-3 yakni pengumuman DPS. Tapi tanpa menjalankan tahap ke-2 dan 3, tahap ke-4 sudah dijalankan, lalu bagaimana cara memverifikasi bahwa orang-orang yang mendaftar itu benar-benar pemilik?"
"Dinas Perumahan mengakui bahwa hal itu tidak dijalankan, tapi mereka mendiamkan. Heran saya, emangnya Peraturan Gubernur itu bisa dimain-mainkan begitu, kan mereka seharusnya yang menegakkannya?" Join mempertanyakan.
Sementara itu, Pikri Ardinsyah, anggota tim verifikasi lain juga menimpali, "Saya heran jika bu Join tidak diloloskan. Kata bu Ledy dari Dinas Perumahan, bu Join dokumennya tidak lengkap. Lha saya malah tidak pernah menyerahkan dokumen apapun, saya tidak mendaftar, tapi justru lolos dijadikan anggota tim verifikasi. Padahal di tower saya ada 3 orang pemilik yang mendaftar dan melengkapi surat-surat. Tapi tidak ada yang lolos. Justru saya yang tidak mendaftar dan sama sekali tidak mengajukan berkas yang dijadikan tim verifikasi." heran Pikri.
Cokro, anggota tim verifikasi dari Tower Akasia menyatakan, "Pelaku Pembangunan mengirim surat kepada kami meminta untuk menyerahkan DPT. Ya kami tidak bisa memberikan karena memang belum pernah menjalankan penyusunan DPT. DPS memang dipasang di mading, tapi kan tidak bisa diolah, dan di situ jelas masih banyak nama-nama yang berganda, ini harus disaring. Dan kami tidak disediakan tempat kerja, tidak difasilitasi untuk rapat koordinasi, tidak difasilitasi data, sama sekali tidak ada fasilitasi yang diberikan. Jika nama-nama yang berganda dalam DPT itu tidak disaring dulu maka DPT jelas tidak sah." Katanya.