Mohon tunggu...
trimanto ngaderi
trimanto ngaderi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Pendamping Sosial diKementerian Sosial RI;

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masih Relevankah Nama Laut China Selatan?

28 April 2024   13:22 Diperbarui: 28 April 2024   13:22 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cnbcindonesia.com

Kita sering kali mendengar ungkapan "apalah artinya sebuah nama". Nama bisa memiliki arti atau tidak tergantung dari sudut pandang mana kita menilainya. Nama bisa menjadi penting atau tidak penting tergantung dari paradigma mana kita memandangnya. Yang jelas, setiap benda di alam dunia ini, baik makhluk hidup maupun makhluk tak bernyawa semuanya mempunyai namanya masing-masing.

Dalam Islam, kita dianjurkan untuk memberikan nama yang terbaik buat anak-anak kita. Nama merupakan sebuah doa, harapan, atau impian dari orang tua. Nama tidak sekedar sebutan atau panggilan. Nama menjadi identitas diri seseorang yang paling utama. Bahkan, dalam tradisi kepercayaan di Asia Selatan dan Asia Timur, nama mengandung unsur energi yang memiliki getaran-getaran tertentu, yang dapat berimplikasi kepada nasib, keberuntungan, atau rejeki seseorang.

Adalah "Laut China Selatan", nama yang disematkan kepada sebuah perairan yang terletak di sebelah selatan Provinsi Hainan, China. Disebut pula sebagai laut setengah tertutup, karena posisinya yang terkepung oleh daratan. Sayangnya, daratan yang mengepung itu bukan daratan China, melainkan negara-negara ASEAN yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Meskipun berada agak jauh dari kawasan perairan, justeru China-lah yang paling berambisi untuk menguasainya. Mereka mengklaim hampir seluruh perairan di Laut China Selatan sebagai miliknya. Klaim kedaulatan tersebut didasarkan kepada aspek historis berupa penemuan arkeologis bahwa sejak masa Dinasti Han (206-220 SM) mereka telah menduduki wilayah Kepulauan Spratly.

Berdasarkan catatan kapal laut Inggris, Kepulauan Spratly telah ada di peta China sejak 1430 M. Juga perjanjian antara China dan Perancis  pada tahun 1887 yang menyatakan bahwa Kepulauan Spratly dan Paracel masuk ke dalam wilayah China. Hingga di tahun 1947, China membuat sebuah peta yang dikenal sebagai nine dash line (sembilan garis putus-putus) yang menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam garis tersebut sebagai wilayah teritorinya. Klaim inilah yang memicu ketegangan di antara negara-negara pantai lainnya yang juga sama-sama mengklaim berhak atas kawasan tersebut.

Demi menegakkan klaimnya atas kawasan perairan, China melakukan berbagai upaya di antaranya membangun konstruksi dan instalasi militer di Kepulauan Spratly. Bahkan, China tidak segan-segan melakukan kekerasan untuk memuluskan ambisi dan kepentingannya. kontak senjata pernah terjadi antara China-Vietnam dan China-Filipina.

Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa China-lah yang kerap menjadi "biang masalah" atas ketegangan di Laut China Selatan selama ini. Keserakahan China untuk menguasai seluruh perairan sudah barang tentu tanpa alasan. Selain secara geografis memiliki posisi yang strategis, juga potensi sumber daya alamnya yang melimpah-ruah dan begitu menggiurkan. Selengkapnya mengenai hal ini bisa membaca artikel saya sebelumnya di sini.

Sebaiknya Berganti Nama

Penyebutan "Laut China Selatan" seakan mengindikasikan bahwa perairan itu ada hubungannya dengan negara China, atau lebih jauh lagi, sebuah pengakuan di alam bawah sadar kita akan klaim kedaulatan China. Penyebutan sebuah nama akan mempengaruhi kerangka berpikir, sudut pandang, cara pandang, dan paradigma terhadap nama tersebut.

Menurut saya, sebutan Laut China Selatan jelas-jelas tidak tepat. Lokasinya saja cukup jauh dari jangkauan negara China. Apalagi yang berada di sekitar kawasan perairan tidak hanya satu negara, tetapi setidaknya ada 6 negara (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam). Mungkin saja, dinamakan Laut China Selatan karena China sendiri memiliki laut di sebelah timur negaranya, yang dikenal dengan Laut China Timur.

Dengan demikian, penggantian nama Laut China Selatan menjadi sangat urgen. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa sebenarnya laut itu tidak ada hubungannya dengan China, apalagi diklaim sebagai miliknya. Tentu yang bisa diklaim oleh dia hanya sebagian kecil saja, sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS).

Perihal penggantian nama, Indonesia sudah memeloporinya. Yaitu dengan merilis peta NKRI yang telah diperbaharui pada 14 Juli 2017. Pada peta ini, Laut Natuna diganti nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU). Hal ini dilakukan oleh pemerintah kita dengan tujuan untuk mempertegas kedaulatan maritim  Indonesia di perairan Kepulauan Natuna.

Perubahan nama tersebut sudah barang tentu membuat pemerintah China menjadi gusar. Kementerian Luar Negeri China pada 25 Agustus 2017 melakukan protes melalui nota diplomatik yang dilayangkan ke Kedutaan Besar RI di Beijing. Dalam nota tersebut, tertuang tiga butir sikap RRC yang salah satunya berisi penolakan terhadap nama LNU.

Dari perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat daripada China karena berdasarkan UNCLOS. Sedangkan klaim China di LNU berlandaskan nine dash line telah divonis ilegal Mahkamah Arbritase Internasional (PCA). Menlu RI Retno L.P. Marsudi menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan sudah sangat jelas, tidak ada yang perlu dinegosiasikan dengan Beijing (Kompa, 6 Juli 2020).

Langkah yang diambil pemerintah kita dalam perubahan nama tersebut adalah kebijakan yang tepat. Sebab, berbicara masalah kedaulatan negara adalah harga mati. Harus benar-benar diperjuangkan dengan gigih dan pantang menyerah. Tanpa perlu merasa takut ataupun gentar. Apabila terjadi pelanggaran dari negara lain, hukum mesti ditegakkan dengan tegas dan berkeadilan.  

*****

Akhir kata, demi masa depan bersama, ada baiknya negara-negara ASEAN, terutama yang memiliki kedaulatan teritori di perairan Laut China Selatan untuk bertemu dan mendiskusikan nama yang tepat bagi kawasan tersebut. Kalau bisa, sebuah nama yang netral dan dapat diterima oleh semua pihak. Syukur, nama itu dapat merepresentasikan eksistensi keenam negara yang sama-sama berhak atas kedaulatannya masing-masing. Paling tidak, kata "China" tak lagi digunakan.

Pagi hari memancing belut

Hujan gerimis jatuh di telaga

Coba tanyakan kepada sang laut

Laut China Selatan itu milik siapa

Trimanto B. Ngaderi (Pendamping Sosial di Kementerian Sosial RI)

Referensi:

Asnani Usman & Rizal Sukma, Konflik Laut Cina Selatan: Tantangan bagi ASEAN, JAKARTA : Centre For Strategic And International Studies., 1997.

Rizki Roza & Poltak Partogi Nainggolan & Simela Victor Muhamad, Konflik Laut China Selatan Dan Implikasinya Terhadap Kawasan, P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2013;

Syarifurohmat Pratama Santoso, Percaturan Geopolitik Kawasan Laut China Selatan, Juni 2021;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun