BELAJAR DARI KETIDAKMELEKATAN DALAM BUDHISME
Seminggu yang lalu umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri 1443 H setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan. Perayaan Lebaraan selalu diikuti tradisi mudik, para perantau yang kembali ke kampung halaman (tanah kelahiran) untuk bertemu orang tua dan sanak-saudara lainnya. Mereka melakukan sungkem kepada orang tua, halal-bihalal, ziarah ke makam para peluhur, maupun bersilaturrahmi ke saudara, tetangga, dan handai-tolan.
Ada satu hal yang menjadi perhatian saya saat Lebaran. Di desa saya yang tadinya sepi mendadak menjadi sangat ramai dengan mobil yang hilir-mudik, berlalu-lalang. Para perantau saat ini lebih banyak yang membawa mobil pribadi daripada yang naik angkutan umum (bus, kereta). Selain faktor membaiknya taraf ekonomi para perantau, juga adanya jalan tol Semarang-Solo yang melewati daerah saya (Boyolali) berpengaruh terhadap mudik dengan mobil pribadi ini, terlepas apakah mobil hak milik sendiri atau mobil sewa.
Jalan raya yang tadinya juga tidak terlalu ramai, mendadak menjadi macet. Sudah seperti jalanan di Jakarta saja, lajur kanan dan kiri penuh kendaraan sehingga berjalan lambat merayap. Minimarket maupun fashion store selalu penuh pengunjung hingga parkir tidak muat dan terjadi antrean panjang di kasir. Kuliner selalu ramai dan pasar malam (arena permainan anak) juga laku keras.
Tepat di hari raya Idul Fitri, ada pemandangan yang cukup menarik perhatian saya. Banyak ibu-ibu yang (dengan sengaja) memamerkan perhiasan yang dimiliki. Mereka menunjukkan kalung besar, memakai beberapa gelang sekaligus, terlihat juga cincin, anting, dan berbagai aksesori lainnya.
Memang kita tidak tahu secara pasti apakah seseorang itu berniat pamer atau tidak. Tapi setidaknya dari gelagat dan perilaku yang tampak, kita bisa memberikan penilaian terhadap motivasi perbuatan seseorang.
Dan barangkali pembaca juga menemukan berbagai kecenderungan pamer kekayaan di hari raya di daerah Anda.
Dalam Islam, tidak ada larangan bagi pemeluknya untuk memiliki harta-benda yang banyak atau memiliki properti yang mewah. Yang terpenting sesuai dengan kebutuhan dan dipergunakan secara baik. Syukur bisa bermanfaat bagi orang lain dan tidak sekedar untuk pamer (menyombongkan diri).
Harta-benda dan apapun yang dimiliki seseorang adalah TITIPAN semata. Semuanya bukan milik kita, kita hanya dititipi oleh Tuhan. Maka ucapan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesungguhnya kami adalah milik dan kepadaNya lah kami kembali) bukan hanya diucapkan ketika ada orang yang meninggal saja, tapi merupakan sebuah kesadaran iman yang berlaku sepanjang hidup kita dan berlaku dalam segala aspek kehidupan.
Dengan demikian, jika kita kehilangan harta, jika keluarga kita ada yang meninggal, maka sebaiknya kita tidak perlu bersedih terlalu lama, tida usah menyesal terlalu mendalam. Toh semuanya bukan milik kita, bahkan diri kita ini pun bukan milik kita. Sebaliknya, jika kita diberi harta yang melimpah, diberi uang yang berlebih, diberi anak-keturunan yang banyak, itu juga semuanya hanya titipan, bukan milik kita yang sebenarnya, maka tidak sepatutnya untuk berlaku sombong. Uang dan harta-benda hanyalah sebagai SARANA, bukan tujuan hidup.
Ketidakmelekatan dalam Budhisme
Walau saya seorang Muslim, saya menyempatkan diri untuk mempelajari agama lain, termasuk juga ajaran Budha. Saya membaca literatur tentang agama itu, buku-buku yang ditulis oleh seorang Biksu, belajar soal meditasi, dll. Tujuannya adalah untuk memperkaya wawasan, bisa saling memahami, menciptakan toleransi, dan hubungan yang baik antarpemeluk agama.
Salah satu yang sangat menarik bagi saya dalam ajaran Budha adalah konsep KETIDAKMELEKATAN. Dalam arti, jiwa kita tak boleh melekat kepada apapun dan kepada siapapun, selain hanya melekat kepadaNya. Hati kita tidak boleh terikat kepada harta-benda, keluarga, dan kepada hal-hal yang bisa memenjarakan jiwa.
Oleh karena itu, Sidharta Gautama hidup dalam kesederhanaan. Ia rela meninggalkan keraton dan segala kemewahannya, lalu melakukan pengembaraan panjang untuk menemukan "Diri yang Sejati", untuk mencapai pencerahan (nirvana). Demikian pula dengan para biksu/biksuni dan para orang suci mereka. Bahkan, saking sederhananya, seorang biksu/biksuni tidak boleh memiliki uang.
Menurut mereka, ketika jiwa kita telah melekat kepada sesuatu, di situlah sumber masalah, di sanalah awal sebuah penderitaan.
Sebagai bahan perenungan terkait ketidakmelekatan ini, silakan membaca puisi WS Rendra "Tuhan, Aku Cinta PadaMu" yang ditulis sesaat sebelum akhir hayatnya.
Penutup
Marilah kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki hanyalah TITIPAN.
Marilah kita meyakini bahwa harta-benda yang kita miliki hanyalah SARANA kehidupan.
Mari pula berusaha untuk tidak MELEKAT kepada apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H