Bohong identik dengan ketidakjujuran, pembiasan atau kepalsuan. Bohong sekali dua kali biasanya dilakukan untuk hal-hal yang bisa diterima oleh orang lain. Namun jika seseorang sering bohong, maka dia adalah pembohong.
Kebohongan bisa diukur dengan menggunakan lie detector. Selain daripada itu, kebohongan seseorang dapat dilihat saat dia memberi pernyataan (statement). Umumnya pembohong tingkat pemula akan berkeringat jika dicerca dengan banyak pertanyaan memojokkan, atau setidak-tidaknya, keterangannya tidak konsisten serta berbelit-belit. Sebaliknya pembohong sejati sangat pintar mengatur ritme tekanan darahnya atau pikirannya, sebelum mengeluarkan kata-kata bohong. Sehingga kebohongannya seolah-olah benar. Dalam hal ini, lie detector pun bisa dikelabuinya.
Jokowi, menurut hasil Stakeholders-Based Assessment tentang corporate governance yang dilakoninya, bukanlah pembohong. Karena dia memberikan outcome (hasil) yang riil selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Namun, menurut saya dia ‘bohong’ tatkala ditanya tentang kasus Century. Karena orang selevel dia, tidak mungkin tidak tahu tentang hal ini. Namun dia tampaknya menghormati proses pengadilan yang sedang berlangsung. Kebohongannya itu telah ‘memakan’ korban, diantaranya Sutan Bhatoegana. Dia heran Jokowi tak paham soal Century. PKS pun ikut-ikutan berkomentar:”Tukang ojek, becak saja tahu Century, masak Jokowi enggak?” Inilah realitas berpolitik di negeri ini, terutama pada masa kampanye pileg 2014. Mereka menghabiskan energi untuk ‘menghabisi’ lawan yang memiliki potensi tinggi untuk menang.
Karena faktanya, Sutan Bhatoegana ternyata lengah menjaga periuknya untuk kembali ke Senayan. Dia berbicara pada media, bahwa dirinya telah dipecundangi kawan-kawan separtainya sendiri. Sementara itu, PKS telah kehilangan banyak kursi di Dewan dalam pileg 2014. Ironis!
Strategi Jokowi dalam bohong-membohongi tersebut, di lingkungan strategi “perang bintang” disebut baiting and switching. (Giving something less expensive than the original one. A bait and switch is a form of fraud in which the fraudster lures in the opponent by substituting – How to Become a Highly Effective Leader, Tri Junarso).
Kesuksesan biasanya diukur dari tingkat pencapaian (achievement level) suatu pekerjaan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah Pemprov DKI Jakarta dikatakan sukses jika PAD (Pendapatan Asli Daerah) tinggi, penyerapan APBD maksimum, penurunan angka kemiskinan, pengangguran dan pengemis jalanan signifikan. Dan tidak ketinggalan adalah frekuensi banjir di ibukota negeri kita ini menyusut, ataupun ketersediaan alat transportasi telah memadai serta kemacetan terurai secara memuaskan.
Dari data yang tersedia dalam Stakeholders-Based Assessment yang dilakukan terhadap Corporate Governance-nya Jokowi, terungkap bahwa kesuksesannya tidak berdiri sendiri. Dalam laporan tersebut (Jokowi's Report - Rapor Jokowi), ditulis bahwa kesuksesan itu berkaitan dengan keterlibatan (involvement) dari stakeholder-nya. Karena itu untuk menanggulangi banjir di Jakarta, konon Jokowi minta dukungan Bappenas soal proyek”Giant Sea Wall.” Tanpa komunikasi dengan stakeholder, Jokowi bisa dipastikan gagal dalam menjalankan kewajibannya sebagai Gubernur.
Kesuksesan Jokowi bukan omong kosong atau rekayasa atau bahkan disebut sebagai kebohongan, seperti “tuduhan” pihak-pihak tertentu selama masa kampanye pileg 2014 tersebut di atas. Bohong atau bukan akan mudah diketahui dari hasil (outcome). Buktinya DKI menambah 70 lokasi pembangunan kampung deret, yang akan dipergunakan untuk merelokasi penduduk yang rumahnya sering terlanda banjir.
Lebih dari itu, diapun tidak menginginkan kesuksesannya melulu berkaitan dengan hal-hal duniawi. Tatkala menyampaikan niatnya membangun masjid raya berornamen Betawi, Jokowi menekankan: “Jangan mal saja.”
Jokowi sukses membangun Jakarta dan membangun citra politik selama pemilu 2014. Itulah penilaian dari Stakeholders-Based Assessment ini. Angka kesuksesannya adalah sebesar 93,7(dari 100). Atau dengan kata lain berpredikat excellent! Kesuksesan/achievement Jokowi selama berkiprah dalam pileg dan pencapresan yang sederhana dan “Ndeso,” telah mendorong runtuhnya mitos demokrasi itu mahal. Karena itu, seharusnya momentum ini bisa dijadikan contoh oleh para caleg dan capres, sehingga tatkala mereka kalah dalam pemilu tidak perlu stres.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan Jokowi, dalam hal ini diantaranya survei SMRC yang menyebutkan bahwa pencapresan Jokowi mendongkrak elektabilitas PDIP. Itu artinya aura Jokowi sebagai calon pemimpin nomor wahid di masa depan untuk republik ini, cukup bagus. Setidak-tidaknya, nama Jokowi mampu mengangkat derajat partai pengusungnya dari oposan menjadi pemegang pengaruh di parlemen. Apalagi ditambah hasil survei Charta Politika mengatakan: “Jokowi capres nomor satu.”
Kehadiran Jokowi ditunggu dimana-mana. Dari para korban banjir di DKI Jakarta, anggota pengajian di daerah sampai dengan panggung kampanye pileg 2014. Media menilai bahwa jadi jurkam nasional, Jokowi lebih dahsyat dari Megawati. Ini “penilaian pahit” untuk sementara pihak. Namun, mungkin menjadi nilai tambah bagi pihak yang lainnya.
Di sisi lain, media merekam magnet Jokowi membikin golput berkurang. Sekalipun pada akhirnya dalam pileg 2014, penurunan nilai golput belum signifikan. Karena bisa jadi masyarakat berada dalam kondisi simalakama, diantaranya mereka tidak tertarik memilih parpol tertentu karena rapornya jeblok, atau sebuah perwujudan kekecewaan mereka terhadap tingkah laku buruk yang dipamerkan oleh anggota DPR/DPRD belakangan ini.
Media menangkap ucapan ekonom sebagai:“Jika Jokowi Presiden, ekonomi membaik 5 tahun ke depan.” Hal ini, menunjukkan sebuah harapan dari masyarakat yang berhubungan dengan bisnis dan uang, namun juga optimisme terhadap masa depan yang lebih baik bagi kemajuan perekonomian Indonesia.
Tak ketinggalan Bank Dunia (World Bank) pun menganggap pencapresan Jokowi memberi kepastian bagi investor. Kepastian investasi tersebut, terlebih lagi tercermin dari Kadin yang menilai Jokowi bisa memberantas korupsi di birokrasi. Berkurangnya korupsi akan berdampak langsung pada pengeluaran/kebocoran pada biaya produksi/operasi dunia usaha. Sehingga memungkinkan produk dan jasa keluaran Indonesia menjadi lebih murah dan kompetitif.
Kesuksesan Jokowi membangun Jakarta, berhasil menarik dunia usaha untuk berpartisipasi dalam perbaikan carut marutnya transportasi. Sebuah media berbahasa Inggris menulis:”Telkomsel grants 30 buses to Jakarta provincial government.” Gratis! Sekalipun, di sisi lain, sumbangan bus itu ternyata sempat terkendala oleh Perda yang berkaitan dengan hibah. Hal ini tentu saja membuka wajah kontemporer dari perilaku birokratis anak buah Jokowi di Pemprov DKI Jakarta.
Kesuksesan Jokowi adalah bentuk dua muka sebuah koin mata uang. Tidak ada kesuksesan sejati, dan tidak ada kegagalan permanen. Kesuksesan selalu dibayangi dengan kegagalan. Buktinya INES dalam sebuah survey-nya menginformasikan:”(Akibat) Skandal bus rusak, elektabilitas Jokowi terjun bebas.” Selain itu, dalam survei-survei lain, mereka menyebut:”(Rapor) Jokowi jeblok karena banjir dan macet.”
Survey secara umum menggambarkan sebuah realitas, suka atau tidak suka. Namun begitu, dalam dunia politik, survey konon bisa dipesan hasilnya, sesuai dengan kemauan dari sponsor survey tersebut. Selain membuat pesanan dalam survey, banyak jalan lain dihalalkan, diantaranya dalam bentuk ungkapan “Masih punya 19 janji kampanye di DKI, Jokowi diminta tak nyapres.”
Walaupun mereka tahu benar, bahwa menjadi capres adalah hak Jokowi sebagai warga negara, apalagi pencapresan tersebut telah dideklarasikan secara resmi pada tanggal 14 Maret 2014, tetapi tetap saja ada spanduk menyerang Jokowi di pertigaan Kalibata: 'Jokowi Capres Banjir.'
Jokowi harus fokus pada tugas-tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta, sekaligus capres nomor wahid. Di lain pihak, pengaderan pada Ahok sebaiknya segera dituntaskan supaya pendelegasian tugas-tugas Gubernur dapat dijalankan secara mulus. Sehingga Ahok secara efektif mampu menunjukkan prestasi dalam “multi-task” sebagai successor, terlebih berkaitan dengan hal-hal crucial yang menjadi ‘menu’ khas Jokowi, seperti ‘blusukan.’
Pada tataran birokrasi (Pemprov DKI Jakarta), Jokowi perlu membenahi mindset bawahannya. Supaya mereka lebih kreatif, dan ‘secara terukur’ bersikap bak risk-taker. Melalui program-program yang berkaitan dengan Human Capital Management dan Corporate Governance, diharapkan Jakarta Baru akan sukses lebih cepat.
Ia tidak perlu ragu dan sungkan melibatkan konsultan di bidang Human Capital Management. Karena memang hal ini merupakan kebutuhan mendesak pada saat ini.
Last but not least, corporate governance tidak identik dengan pakta integritas. Karena pakta integritas (code of conduct & ethics) porsinya hanya 5% dari corporate governance itu sendiri. Maka dari itu harus disinergikan dengan komunikasi, kebijakan & prosedur, manajemen prestasi, manajemen laporan, kepemimpinan, dan kepatuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H