Mohon tunggu...
Tri Junarso
Tri Junarso Mohon Tunggu... Self-employed -

(1) Consultant (2) Books Writer: Corporate Governance; 7th Principle of Success; Leadership Greatness; Effective Leader; HR Leader - www.amazon.com/s?ie=UTF8&page=1&rh... (3) Software Developer (4) Assessor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Jokowi Tidak Konsisten?

31 Juli 2014   02:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:49 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14067634991902021632

Pilpres 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi, masih menyisakan ‘perseteruan’ antar Prabowo-Jokowi. Kedua-duanya padahal mengaku mengikuti jejak-jejak Soekarno, seorang guru yang mengajarkan tentang persaudaraan (universal).

Pemikiran Soekarno tumbuh besar karena dilandasi oleh tragedi negeri jajahan seperti Indonesia. Yakni dijajah dan diobok-obok oleh Belanda selama 350 tahun.

Prabowo bahkan menjiplak habis-habisan penampilan Soekarno, untuk menarik simpati pendukungnya. Tak ayal, Wasekjen PKS Fahri Hamzah, timses Prabowo, juga menantang kejujuran seorang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tentang siapa capres yang paling mirip Presiden RI pertama Soekarno.

Tentu saja, secara fisik, penampilan Prabowo paling mendekati Soekarno, daripada penampilan Jokowi. Pidato, peci, kuda, keris, baju safari, kaca mata hitam, tongkat komando, sepatu kulit terang menyala, dan lain-lain. Image Soekarno telah dijadikan make up untuk membangun citra Prabowo supaya terpilih sebagai presiden.

Dalam sejarah hidupnya, Prabowo adalah loyalis Soeharto, Presiden RI, dan mertuanya. Selama pemerintahan Orde Baru, dia mendapat tugas untuk melakukan de-Soekarnoisme dan ‘mengubur’ Megawati dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) versi saat itu.

Soeharto juga berjasa mengawinkan Prabowo dengan anak putrinya, Titiek Soeharto. Karirnya pun dibangun berkat jasa mertuanya itu hingga mencapai jabatan Panglima Kostrad, dengan pangkat Letjen. Tetapi, dalam pilpres 2014, dia memilih Soekarno sebagai brand image-nya dan bukan Soeharto.

Inilah realitas kehidupan berpolitik dalam kehidupan sehari-hari. Kelanggengan, dalam politik, dibangun karena kesamaan kepentingan. Yang satu, kepentingannya ingin jadi presiden, yang lain adalah tren bangkitnya Soekarnoisme.

Penampilan fisik habis-habisan Prabowo ini semestinya didukung dengan penampilannya dalam sportivitas.

Jika Soekarno tidak sportif, maka dia tidak akan mengundurkan diri sebagai presiden pada saat itu. Selain pengikutnya luar biasa banyaknya, Soeharto yang memaksanya mundur, konon masih belum terpercaya, akibat masa lalunya di dinas kemiliteran.

Soeharto, presiden kedua itu pun, jika tidak sportif, maka akan terjadi pertumpahan darah hebat pada saat krisis moneter di Indonesia itu. Karena tentara berada di belakangnya. "Aku ora patheken dadi presiden (Aku tidak jadi presiden pun tidak apa-apa)," katanya pada tanggal 20 Mei 1998 itu.

Sokarnoisme bersumber pada guru yang sama, ajarannya pun sama, tapi murid ternyata berbeda dalam implementasinya. Persaudaraan universal yang menjadi intisari dari Pancasila dan Trisila, belum satu garis antara pikiran, mulut dan hati.

Dalam kekinian Indonesia, terutama pilpres 2014, rakyat pemilih dijajah dan diobok-obok oleh nafsu akan kekuasaan. Sehingga cara-cara kolonialismepun dipakai untuk memenangkan idolanya dalam pilpres itu, setidak-tidaknya dengan cara pembodohan, adu domba, fanatisme dan loyalitas ‘buta’. Dalam hal ini sering, cara-cara tersebut disebut sebagai kampanye hitam dan kampanye negatif.

Untung Jokowi tidak mendapatkan nomor urut 1 (satu). Prabowo yang memperoleh nomor urut satu ini, tampaknya berharap banyak untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menyapu perolehan suara.

Dalam sejarah kepartaian di zaman Orde Baru, ada tiga nomor urut partai. Yakni PPP (Partai Persatuan Pembanguan) bernomor urut 1, Golkar (Golongan Karya) bernomor urut 2, dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) bernomor urut 3.

Karena nomor urut 1, maka Golkar, sebagai bagian paling kuat dalam timses Prabowo, yang terbiasa menang dengan nomor urut 2, menjadi ‘mati kutu.’ Bahkan, Mahfud MD, konon sampai salah memberi salamDua Jari,” bukan “Satu Jari.”

PPP di era Orde Baru merupakan partai bernomor urut 1. Karena suaranya kecil, tentu nomor urut 1, baginya tidak banyak berpengaruh. Apalagi partai ini sedang dirundung ‘perpecahan.’ PKS pun, setelah kehilangan kursi di DPR sebanyak 17 (tujuh belas) buah, relatif kehilangan muka. Selain itu, para petingginya tersangkut berbagai peristiwa yang kurang mengenakkan. Sehingga, mereka lebih banyak duduk manis di belakang Prabowo, sambil menyodorkan Fahri Hamzah untuk diobok-obok ‘mukanya’ oleh rakyat pemilih.

Jokowi, dengan nomor urut 2 (dua), diuntungkan, karena dua jari, secara universal berarti ‘victory’, pembebasan, kemenangan, atau kemerdekaan. Dengan dua jari, lebih mudah baginya untuk mengekpresikan sebuah kemenangan.

Namun di balik semua itu, penulis memiliki tafsir yang lebih mendalam. Dua jari tersebut (mungkin) mewakili nama Prabowo dan Aburizal Bakrie. Jari pertama meyiratkan adanya amanah, setelah dirinya terpilih sebagai presiden RI, untuk membuka kembali serta menuntaskan Peritiwa Mei 1998, berikut peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Wiji Thukul, adalah temannya, merupakan salah seorang korban penculikan di masa ‘goro-goro’ tersebut.

Jari kedua, menyimpan nama Aburizal Bakrie (Ical), yang berarti adanya sebuah amanah untuk mengurai kembali kasus lumpur Lapindo di Sidorajo, Jawa Timur. Perusahaan Ical di dalam PT Lapindo Brantas Inc., tanggal 29 Mei 2006, telah melakukan kegagalan dalam pengeboran minyak dan gas di Sidorarjo, berdekatan dengan kota Surabaya itu. Kegagalan pengeboran ini, mengakibatkan munculnya ‘gunung lumpur,’ sampai hari ini, sehingga memaksa dilakukannya relokasi masyarakat dan industri, di daerah-daerah yang tertimpa bencana ini. Gunung lumpur Sidoarjo pun menjadi berita heboh dunia kala itu.

Para pakar di Amerika, Eropa, Australia dan Indonesia menyimpulkan kejadian itu akibat kesalahan pengeboran. Tim Indonesia khususnya, dipimpin oleh Prof. Rudi Rubiandini, sebelum diangkat sebagai kepala SKK Migas (Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi), dan dibui selama 7 (tujuh) tahun, karena terlibat kasus korupsi, menyimpulkan hal yang sama dengan rekannya di luar negeri itu. Namun BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan Ical menganggap sebagai fenomena alam akibat letusan gunung api Semeru di dekat Jogyakarta.

Jokowi-JK dinyatakan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019 dengan persentase perolehan suara 53,15 persen dengan jumlah suara sebanyak 70.997.833 suara. Sementara Prabowo-Hatta memperoleh 46,85 persen suara dengan jumlah 62.576.444 suara. Selisih suara kedua pasangan tersebut sebanyak 8.421.389 suara.

Setelah kemenangannya dalam pilpres tanggal 9 Juli 2014 itu, sempat muncul berita tentang salam lima jari, yang berarti persaudaraan, dan keikhlasan. Ide ini tenggelam dengan cepat. Namun justru yang terjadi adalah: "Lupakan nomor satu, nomor dua. Kembali pada Indonesia satu, Indonesia raya," ujar Jokowi di atas kapal pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, tanggal 22 Juli 2014 malam, pada saat pidato deklarasi kemenangannya sebagai presiden terpilih.

Penulis malah mengkhawatirkan munculnya salam Tiga Jari ini. Karena, setelah ‘mengikat’ jari pertama dan kedua seperti terpapar di atas, (mungkin) jari ketiga bermakna tersisihnya PKS, yang merupakan ‘partai gurem’ itu dari peluang masuk kabinet, tidak sama seperti yang dinikmatinya selama ini di kabinet presiden SBY, selama 10 (sepuluh) tahun.

Jari ketiga ini merupakan cermin amanah dari pendukung Jokowi, sebagai reaksi atas tindakan PKS yang telah secara 'membabibuta' melakukan kampanye hitam dan negatif tentang Jokowi.

Tanda-tanda yang terjadi belakangan ini bisa jadi mendukung analisis penulis. Misal, Jokowi belum mau bersilaturahim dengan Prabowo Subianto, rivalnya dalam pilpres 2014 itu menyambut hari raya Idul Fitri 1435 H. Ia menganggap suasana masih "panas", sepanas menunggu persiapan sidang dan keputusan MK sebentar lagi, ditambah permintaan pembentukan pansus pilpres dari timses Prabowo ke DPR.

Jokowi, tentu ingin tetap konsisten dengan Salam Tiga Jarinya serta paham Soekarno. Apalagi demi Indonesia Raya/Indonesia Hebat.  Namun, implementasinya tergantung pada situasi.


*) artikel lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun