Menelisik sejarah hidup Prabowo, beberapa pengalaman hidup dan kerja dia di masa lalu, memberi gambaran lebih jelas kepada kita tentang profilnya. Diantara pengalaman-pengalaman berharga dalam hidupnya itu, mungkin bermanfaat bagi negeri ini, namun ada juga diantaranya yang berpotensi untuk menghambat kemajuan kita semua.
Kesuksesan-kesuksesan Prabowo, dimulai dengan sekolah di Malaysia dan London, AMN (Akademi Militer Nasional), Tim Nasional Indonesia pendakian ke Puncak Everest, pangkostrad, pengusaha, ‘pemilik’ partai Gerindra, serta (rencananya) akan ditutupnya dengan kesuksesan menjadi wakil presiden (2009) dan presiden (2014).
Keluar sebagai lulusan terbaik Akademi Militer tahun 1974, Prabowo mencatatkan diri sebagai komandan termuda saat mengikuti operasi Tim Nanggala di Timor Timur (Wiki). Karena kepitarannya itu, tentu dia tidak mudah dikelabuhi oleh para anggota timsesnya. Pengambilan keputusannya, adalah pilihannya sebagai pemimpin dalam tim. Apalagi jika dikaitkan dengan partai PKS yang menyajikan data-data rekapitulasi pilpres 2014 ‘seperti itu.’
Sejarah mencatat, Prabowo menangkap Nicolau dos Reis Lobato, wakil ketua Fretilin, dengan tuntunan Antonio Lobato, adik Nicolau Lobato. Dilanjutkan dengan penangkapan Xanana Gusmao melalui sadapan telepon Ramos Horta di pengasingan. Selain pintar, dia ahli dalam agitasi, konspirasi, atau lebih keren sebagai ‘devide et impera,’ meminjam istilah politik penjajahan Belanda jaman dulu. Dalam hal ini, HKTI telah terpecah menjadi dua kubu yang berseberangan dalam menyatakan dukungan kepada Prabowo atau Jokowi. Karena itu, sesuai dengan kompetensi Prabowo, maka Mahfud MD, mantan ketua MK, dan ketua tim pemenangannya sebagai presiden, tidak mungkin menyusup dalam timsesnya, apalagi menjadi kepanjangan tangan Luhut Panjaitan, seperti dilansir media online.
Di dalam darahnya mengalir pendidikan anti teror, yang dilaluinya dengan bersekolah di Amerika. Bila memahami strategi anti teror, berarti dia paham benar tentang taktik ‘teror,’ seperti yang dipertontonkannya saat melintas di depan gedung MK, dan berpidato di depan para pendukungnya yang sedang ‘berdemo’ di situ. Termasuk di dalam trik itu, adalah munculnya ‘dukun’ beberapa jam sebelum gugatan pilpres ke MK didaftarkan.
‘Teror’, intimidasi, ‘dog fighting’, atau apapun itu, akan berbahaya untuk masa depannya. Entah lewat ucapan, pesan-pesan, pidato, atau langkah-langkah hukum, cara ini akan menciptakan kegalauan bagi pendukungnya. Ujung-ujungnya (bisa memancing) ‘chaos.’ Misal Prabowo minta pemilu presiden diulang (diralat sebagai rekapitulasi diulang), mengundurkan diri dari pilpres 2014 sebelum rekapitulasi ditutup (dikoreksi dengan mundur dari rekapitulasi), penyiapan 1000 (seribu) advokat yang konon baru terkumpul 95 orang pada saat tulisan ini dibuat, pengiriman bukti pencurangan pilpres sebanyak 10 (sepuluh) truk berubah menjadi 15 (lima belas) mobil anti peluru dan berubah lagi menjadi 3 bendel saja, ataupun yel-yel ‘Prabowo Presiden,’ yang mungkin dilakukan bukan oleh murni pendukungnya, namun oleh orang-orang ‘suruhan.’
Operasi Mapenduma, operasi pembebasan sandera dari sekapan OPM (Organisasi Papua Merdeka), dikritik karena menggunakan lambang Palang Merah pada helikopter putih. Bukan karena adanya korban tewas dari antara para sandera, namun korban sipil, yang konon mengira pesawat itu dari Palang Merah Internasional. Rekapitulasi pilpres 2014 telah ‘disandera’ oleh pengumuman KPU tanggal 22 Juli 2014, yang memunculkan Jokowi sebagai pemenang dan Presiden. Operasi ‘pembebasan sandera’ ini akan berimplikasi pada munculnya ‘korban,’ baik dari unsur pemerintahan SBY, MK, KPU, Bawaslu, timses kedua capres-cawapres, para relawan dan pendukung, serta rakyat yang tidak tahu menahu tentang permainan politik yang sedang berlangsung.
Kali ini, penulis menengarai, Prabowo menggunakan ‘keadilan dan demokrasi’ sebagai ‘helikopter’ untuk membebaskan ‘sandera.’ ‘Trik’ ini akan mengakibatkan keterkecohan di masa lalu berulang kembali. Setiap operasi tentu akan menelan korbannya masing-masing, sama seperti bisa disaksikan dalam film ‘Rambo,’ atau ‘MIA (Missing in Action),’ buatan Amerika itu.
Keberhasilan Prabowo dalam tugas, karir dan bisnis sebagai salah satu sisi ‘mata uang kesuksesan’ akan otomatis disertai dengan kegagalan di sisi yang lain. Sekarang ini, para pejabat, politisi, dan pemuka agama berusaha menenangkan hatinya karena gagal jadi presiden. Para pinisepuh dan tokoh ini, dengan kesabarannya yang luar biasa mengelus-elus pundak dan hatinya untuk legowo dalam memahami sebuah kekalahan dari seorang yang bermodal 29 miliar rupiah dari dirinya yang memiliki 1,3 triliun rupiah - sebuah jarak yang cukup jauh seperti antara bumi dan bulan.
Namun, sebaliknya jika dia benar-benar tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri, maka buku sejarahnya (mungkin) akan tertutup sebentar lagi. Apalagi dalam penampilannya di youtube (pada foto di atas) tangannya sudah siap untuk 'diborgol.' Kita tahu pesta sudah lewat, tamu undangan sudah kembali ke tempatnya masing-masing, maka penyelenggara pesta akan segera membersihkan piring dan ruangan pesta, untuk bisa dipakai sebagai tempat hidup normal lagi.
Dari pengalaman situasi sekarang ini, penulis ingat pesan Soeharto: Aja kaget (kaget kalah), aja gumun (gumun beda angka 7 persen), dan aja dumeh (dumeh bukan menantu Soeharto lagi). Lalu imbuh Soeharto lagi: Luwih enak jamanku to? (Maksudnya masih enak jadi menantuku, kan?).
Pesan penulis: Sebaiknya segera kembali ke pangkuan ibu pertiwi yang sebenarnya (down to earth). Bukan negeri impiannya sendiri. Atau akan lebih baik pula menjual harta benda yang telah membuatnya berpetualang tanpa ujung itu. Dan kembali pada 'pangkuan Titiek.'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H