Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (122): Hidup Mulia

2 Januari 2025   07:11 Diperbarui: 2 Januari 2025   07:11 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Kemunculan Laskar Intijiwo berhasil membalikkan keadaan. Semangat murid Intijiwo yang tadinya sempat kendur kini kembali bangkit. Mereka berhasil mendesak mundur pihak Benteng Nusa.

Arum Naga memutar pedang cepat, namun karena terus menerus diserang secara bertubi-tubi, pedang pusakanya itu hanya dapat dipergunakan untuk pertahanan, hanya sekali-sekali mendapat kesempatan membalas. Namun setiap kali mendapat peluang menyerang, pedang itu tidak mempan melukai tubuh musuh-musuhnya.

"Kita tak punya banyak kesempatan menang melawan siluman!" teriak Ki Demang di dekat Arum, yang juga tak kalah terdesaknya.

"Ya, mereka bukan manusia!" timpal Arum dengan nafas tersengal.

Tangan Cak Lahar sampai gemetar karena terus-terusan melindungi tubuh. Suatu kali sabetan pedangnya berhasil mengenai mulut seorang musuh, tapi tepi pedangnya gemerincing membentur gigi. Tanpa terluka, musuh itu malah meringis mengerikan.

Raden Ghandi dan murid-murid Benteng Nusa terus didesak mundur, setengah berlindung di belakang Arum Naga, Ki Demang, dan Cak Lahar. Sementara Ki Renggo terus dengan gigih mengerahkan segala kekuatannya untuk bertahan. Bagaikan harimau terluka, keberanian dan tenaganya sungguh luar biasa.

Dalam keadaan seperti itu, memang hampir setiap orang tidak dapat menggunakan akal sehat, yang penting menyelamatkan diri. Tetapi tidak demikian dengan Lintang, ia tidak memedulikan keselamatannya sendiri dan justru sengaja memancing lawan agar menyerangnya. Tinggal ia yang di depan dan dalam kepungan puluhan Laskar Intijiwo.

Manusia-manusia siluman itu sudah seperti kesetanan. Tidak memedulikan lagi bahaya yang mengancam, menolak mundur dan terus menerjang menghadang sabetan pedang akhirat. Suara jerit ditimpa denting senjata yang beradu mengguncangkan hati.

Sesaat kemudian, Pendekar Lintang terpaksa mengeluarkan jurus andalannya, jurus Pedang Akhirat. Tubuhnya bergerak cepat dan meninggalkan bayangan yang membelah musuh di sekitarnya, seperti kain yang dirobek. Tidak peduli betapa pun tinggi ilmu kebal mereka, akan terbelah oleh kilatan cahaya sabetan pedang.

Sejauh sekitar sepuluh meter di sekeiling Lintang, tampak potongan-potongan tubuh berceceran. Bau anyir darah menyeruak dan mengalir hingga membasahi mata kaki. Jangankan orang, siluman pun akan bergidik memandangnya.

***

Kebo Klebat membuka pintu lebar dan berkata, "Aku sungguh-sungguh minta maaf sama kalian. Sekarang kalian boleh pergi!"

Alya menggendong Zulaikah yang masih terlelap, dan berkata, "Kurasa kekuatan itu sebaiknya digunakan untuk kemaslahatan umat manusia!" ucap Alya, "Biarpun sudah sedikit telat, tapi kamu masih punya kesempatan untuk mempelajari hakikat hidup dan memulai hidup baru!"

Cahaya kesadaran datang. Ucapan Alya langsung merasuk ke dalam, menerangi dan menghangatkan hati yang gelap. Di dalam suara itu terkandung kekuatan yang berkuasa dan memerintah, yang tidak dapat diabaikan.

Ditatapnya Alya. "Sekali lagi aku minta maaf, dan mengharapkan kamu yang kudus ini senantiasa dapat perlindungan dari Tuhan yang maha kuasa, sehingga dapat melewati semua tahap kehidupan tanpa cela dan tanpa derita, serta terhindar dari hal-hal yang jahat di dunia ini!"

"Terima kasih! Semoga demikian juga dengan kamu. Jadilah orang baik!"

***

Keadaan berbalik lagi. Kini pasukan Benteng Nusa kembali berada di atas angin, dan mampu memukul mundur pengikut Intijiwo.

Demikianlah pula halnya dengan Ghandi. Anak itu tadinya sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan yang terus membuat ia terdesak.

"Manusia macam apa yang beraninya keroyokan!" katanya mengandung sindiran. "Menghadapi anak kecil pula!" Sindiran itu rupanya sangat berpengaruh. Buktinya mereka tidak lagi menyerang secara bersamaan.

"Bukan main..!" Ki Dewan berseru sambil menahan napas saking tidak percaya. Dia sendiri adalah seorang ahli silat kelas tinggi dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Akan tetapi menyaksikan gerakan Arum Naga, ia menjadi kaget karena wanita itu seolah-olah bisa terbang saja. 'Bagaimana mungkin seorang wanita muda memiliki ilmu setinggi itu?'

Ki Dewan menahan kemarahan yang semakin memuncak, lalu memperhebat serangannya sambil memperdengarkan pekik keras, "Itu Ki Renggo!"

Seseorang di dekatnya mengingatkan. "Dia berbahaya! Jangan sepelekan dia!" Lebih dari tiga orang bergerak mencari posisi. Begitu posisi mengepung, mereka memperdengarkan teriakan perang.

"Aku akan tangkap dan mempreteli anggota tubuhmu!" teriak salah seorang dari mereka.

"Itu harapan atau ancaman? Kalau menurutmu kau dapat melakukannya, ayo buktikan!" balas Ki Renggo.

Mereka menyerbu serentak. Kaget sekali, namun tidak percuma Ki Renggo mendapat julukan Macan Argopuro, karena pedang di tangannya sudah bergerak dengan pemutaran pergelangan tangan, melancarkan tangkisan sekaligus serangan maut.

Pedang di tangan Ki Demang tergetar, bertemu dengan pedang Ki Jangkar dan melekat. Ki Demang mengirim dorongan tangan kiri ke arah dada. Bukan sembarang dorongan, melainkan jurus sakti yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat sekali. Bisa merontokkan seluruh isi dada. Kini menghadapi serangan bahaya itu, Ki Jangkar menggerakkan tangan kiri menangkis.

Mereka saling menatap mata. Ki Demang harus mengakui dalam hati bahwa lawannya itu tidak boleh dipandang ringan karena dari pandangan matanya terpancar kekuatan yang dia tahu, kekuatan ilmu hitam.

Pada detik berikutnya, kaki Ki Jangkar menyambar kepala, disusul tendangan yang tak terduga, dengan gerakan kilat dan tahu-tahu telah mengarah ke dada.

Ki Demang masih selamat, tapi tubuh kekarnya terdorong ke belakang dua langkah. Serangan bertubi-tubi itu masih berhasil ia tangkis, akan tetapi sebelum serangan berikutnya, pedang Ki Demang telah meluncur secepat kilat menusuk leher. Tanpa sempat berteriak lagi Ki Jangkar roboh dengan darah muncrat dari leher yang berlubang tembus ke belakang.

Kanjeng Wotwesi yang juga memegang sebatang pedang pusaka, terpaksa turun sendiri menghadapi Lintang Si Pendekar Pedang Akhirat. Dengan murka, pedangnya yang dialiri tenaga dalam menyerang dahsyat.

Kedua pedang pusaka yang beradu itu mengeluarkan percikan bunga-bunga api. Suara yang ditimbulkan memekakan telinga, dan energi yang terpancar keluar sanggup melemparkan benda-benda di sekitarnya.

Tentu saja kanjeng terkejut bukan main karena ternyata dia yang sudah menjadi seorang ahli pedang sebelum Lintang lahir, dibuat kewalahan. Pedangnya patah ketika tadi beradu tenaga dalam. Untungnya, selama di Lembah Gunung Pegat ia telah berlatih secara aneh dan hebat sehingga bisa memiliki kekuatan yang tidak lumrah manusia biasa. Biar pun terdesak, ia selalu dapat bergerak cepat, menghindar diri dengan meloncat ke sana ke mari, mengelak terus karena tidak berani menangkis dengan pedangnya yang tinggal sepotong.

Sepanjang pertempuran, Kanjeng Wotwesi yang semula menganggap remeh kini mulai menyadari betapa lawannya kali ini berbeda dengan para petarung ulung yang pernah ia hadapi sebelumnya.

Malam itu dunia pun terkejut, seolah tak percaya tatkala Lintang berhasil memukul roboh Kanjeng Wotwesi di kandangnya sendiri.

Satu per satu pengikut Kanjeng Wotwesi tergeletak di tanah dengan besimbah darah. Mereka rupanya masih menanti-nanti munculnya Iblis Muka Gedek, karena mereka yakin musuh-musuh itu bukan tandingan Iblis Muka Gedek apabila dia nanti muncul.

Yang mereka nanti-nanti akhirnya muncul juga. Iblis Muka Gedek berdiri dari jarak lima meter tepat di depan Lintang. Ia menerima seluruh bencana berdarah itu dengan sikap dingin saja.

Semua orang memandang dengan hati tegang dan membuat suasana menjadi begitu hening, maka ketika iblis itu berteriak, suaranya terdengar melengking mengoyak malam, membuat bulu tengkuk berdiri.

Pertempuran dahsyat segera terjadi. Orang-orang hanya bisa menyaksikan bayangan tubuh dan kilatan-kilatan pedang yang secepat kilat. Tidak lama kemudian pertempuran itu berhenti. Tampak darah menyembur dari beberapa bagian tubuh Iblis Muka Gedek. Sebelah lengannya putus. Tubuh iblis itu jatuh terguling ke bumi.

"Mana bisa aku mati!" keluar rasa ponganya. Sambil terengah-engah dan dengan susah payah, iblis itu kembali berdiri. Beberapa bagian tubuh yang putus kembali tersambung.

Pertempuran hebat kembali terjadi. Semua orang perlahan-lahan menjauh dari arena pertempuran maut itu. Setelah berlangsung puluhan jurus, baik Lintang maupun Iblis Muka Gedeg kini tampak terengah-engah.

Akan tetapi, malang bagi Iblis Muka Gedeg, selain penuh luka, kali ini senjata tongkat bambu pusakanya terpelanting entah ke mana. Topeng gedek yang menutupi mukanya terlepas.

Kini, di bawah sinar penerangan bulan, orang-orang baru dapat melihat wajah aslinya. Semua dibuat terkejut karena Iblis Muka Gedek itu ternyata seorang perempuan. Dia adalah Kencanawati. Wajahnya memang mengerikan. Rambutnya yang panjang sepinggul terurai acak-acakan. Pojok atas tengkoraknya hancur, sebelah matanya lepas dari ceruknya.

Lintang bergerak cepat. Dua-tiga pukulan hebat disarangkan lagi ke tubuh iblis itu, dan tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat menembus kulit. Iblis itu masih bertahan.

Lintang mengangkat tangan, menghapus banjir keringat yang turun dari keningnya, sebelum akhirnya pedang akhiratnya menebas leher hingga kepala iblis itu jatuh menggelinding ke tanah.

Sejarah yang terjadi di Lembah Gunung Pegat itu sekaligus mengingatkan manusia betapa hal yang tak terduga bisa saja terjadi. Terlebih ketika orang sudah merasa di atas angin. Peristiwa itu telah mengajarkan bahwa sikap menganggap remeh bisa membawa petaka, dan Lintang mengajarkan bahwa satu tekad yang kuat dapat mengalahkan sesuatu yang tidak mungkin.

Suara Cak Lahar kini ganti jadi sedikit bernada petuah. Ia berdiri di sekeliling musuhnya yang terkapar tak berdaya. "Sayang sekali! Biarpun kalian dilahirkan sebagai manusia, tapi kalian lebih mirip binatang. Sungguh menyedihkan kalian mesti menemui ajal di sini, tanpa pernah menjadi manusia yang sebenarnya! Sungguh hidup yang sia-sia!"

"Kalian rupanya salah mengerti," kata Ki Renggo kepada sisa-sisa musuhnya yang bergelimpangan, "Kalian pikir berani saja akan membuat kalian bisa jadi pendekar hebat. Tidak begitu! Kalian juga merasa yakin bahwa kesetiaan kepada pimpinan kalian itu pasti benar. Itu salah besar!"

Tentu saja mereka menangis dan selain karena merasa bersalah juga merasa sangat kesakitan.

Ki Renggo tidak menyesal, karena sadar apabila orang-orang itu yang menang, ia sendiri akan tergeletak di sana, tanpa nyawa dan bermandikan darah. "Sekarang, lihat bagaimana keadaan kalian? Hadapilah maut dengan berani, dan matilah dengan tenang!"

Sebelum Arum memberikan perintah kepada murid-muridnya agar mereka pergi ke semua arah untuk menemukan Zulaikah dan Alya, tiba-tiba kedua gadis itu muncul, seolah-olah sedang jalan-jalan menikmati udara malam.

Zulaikah turun dari gendongan dan berlari kecil ke arah ayahnya dan bertanya, "Ayah kok lama sekali datangnya?"

Lintang mengangkat tubuh Zulaikah dan mengalihkan perhatian putri kecilnya itu ke arah bulan di atas, dan berjalan cepat melewati tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat. "Bulan yang indah! Lihat!"

Malam itu angin telah menghalau musim semi tanpa jejak. Dingin melecut lembah dengan garangnya. Mereka telah sampai di pintu gerbang.

"Hidup Pendekar Pedang Akhirat..!" terdengar teriakan warga menyambut.

"Dengar, warga penduduk Sujiwo. Ada yang mau kukatakan kepada kalian!" kata Lintang. Warga yang dari tadi berkerumun itu pun merapatkan diri. Mereka semua tampak bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Lembah Gunung Pegat. "Bukan kami yang memberantas kemungkaran Kanjeng Wotwesi, tapi hukum alam. Orang yang melanggar hukum alam akhirnya pasti akan dikalahkan!"

"Hidup Pendekar Pedang Akhirat!"

Sambil menengadah ke langit berbintang, seakan-akan mencoba mereguk sinar bulan dan seluruh udara yang ada di langit, Pendekar Pedang Akhirat berkata lirih, "Percayalah, siapa mengasihi yang di bumi, niscaya yang di langit akan mengasihi!"

Di bawah sejuta bintang kecil, sisa-sisa perkumpulan Intijiwo akan mengenang malam itu sebagai malam terkelam. Tentang kehilangan kerabat tercinta, sahabat terkasih, dan teman-teman seperjuangan.

Malam telah sempurna. Bertentangan sekali dengan malam sebelumnya, bulan bersinar terang, menyingkirkan kegelapan. Titik-titik keringat muncul di atas rambut dan menyatu menjadi alur-alur keringat yang mengalir menuruni hidung. Setelah cukup beristirahat dan mengobati beberapa luka, rombongan Benteng Nusa bangkit pelan-pelan dan meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah panjang penuh rasa syukur. Bagi mereka, peristiwa-peristiwa malam itu sudah harus dilupakan, yang penting adalah hari esok.

"Awas hati-hati jalannya, Ayah!" celetuk Zulaikah.

"Hei, jangan berani-berani kamu ngajari ayah! Jalan ini bisa ayah lalui dengan mata tertutup. Ika sendiri yang mesti hati-hati!" sahut Arum.

Zulaika mengedip pada Alya dan mulai mengingat sesuatu. Pandangan kecewa tergambar pada wajahnya ketika ia berseru, "Oh, aku kehilangan barangku!"

"Ha? Kehilangan apa?" tanya Arum.

"Kuda emas. Aku ingat sekarang, tadi kutaruh di atas meja!"

"Kuda emas?"

"Iya sungguh, pemberian Bibi Kencana!"

"Kamu pasti mimpi!"

Alya meraba tasbih yang tadi ia kalungkan di lehernya. Masih ada.

Manusia sering terlambat menyadari bahwa perjalanan kehidupan secara bertahap akan semakin redup dan semakin redup. Hanya kasih sayanglah yang membuat hidup ini mulia.

"Setelah ini, hari berlalu

setelah ini, kesehatan menurun

setelah ini, pesona memudar

setelah ini, tahun berganti

setelah ini, kehidupan berakhir"

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun