Oleh: Tri Handoyo
Setelah melerai perkelahian antara orang-orang Ki Demang yang dikeroyok oleh Laskar Rimba, Lintang dan Arum melanjutkan perjalanan. Mereka melalui hutan yang lebat. Setelah berjalan melewati tempat yang sunyi, mereka beristirahat di bawah sebuah pohon besar yang tumbuh di pinggir sungai. Pemandangan di sekelilingnya indah, dan hawa udaranya  sangat sejuk.
Sejak bertemu kakek misterius yang mahir menguasai pikiran, yang kemudian berhasil mencuri kitab pusaka di depan hidungnya itu, membuat Arum mulai banyak merenung.
"Sedang memikirkan mbah yang mengambil kitab pusaka ya?" terka Lintang.
"Iya betul, Kanda. Aku pikir, seandainya kakek tadi punya pikiran jahat, misal mau mencelakai kita, tentu akan mudah baginya untuk melakukannya? Itu yang aku pikirkan!"
"Belum tentu, tadi karena pikiran kita sedang dalam keadaan tidak waspada, sehingga mudah dipengaruhi dan akhirnya dikuasainya. Ingat pertanyaan awal yang dilontarkannya? Menurutku itu adalah taktik untuk mengendurkan kewaspadaan kita. Ketika dia pergi, pikiran kita kembali waspada dan bisa menolak pengaruhnya, nah susu itu pun kembali menjadi air biasa!"
Arum menyimak dengan seksama penuturan suaminya itu.
"Ada ilmu membaca pikiran orang," sambung Lintang, "Ada ilmu mempengaruhi dan menguasai pikiran orang, yang biasa disebut gendam. Sebetulnya itu bukan termasuk sihir! Kalau sihir itu menggunakan bantuan makhluk sebangsa jin!"
Keyakinan yang tak terbantahkan bahwa ada sesuatu di luar diri manusia yang maha tersembunyi, maha misterius dan maha besar. Terhadap semua yang maha itu, ketakjuban dan rasa spiritualitas seseorang dibangkitkan. Rasa itu bisa diekspresikan dan dirasakan melalui meditasi.
"Dinda, sekarang apa yang ada dalam pikiranmu setelah melihat peristiwa tadi?" Lintang bertanya.
"Aku merasa harus lebih banyak belajar lagi, karena ternyata hanya sedikit ilmu yang masih aku ketahui!" Arum semakin menyadari akan betapa luasnya samudera ilmu yang terhampar di muka bumi. Ia semakin sadar bahwa apa yang telah dipelajari dan dimilikinya selama ini belum ada apa-apanya.
"Inilah hikmah yang bisa kita petik, yaitu agar selalu sadar diri! Ada langit di atas langit!"
"Iya betul!"
"Inilah sesungguhnya harta pusaka terbesar!" kata Lintang sambil menunjuk ke arah keningnya, "Kesadaran adalah harta pusaka yang diangkat dari dasar samudera spiritualitas! Inilah modal terbesar kita untuk mencapai kebahagiaan dan kebermakanaan dalam hidup ini!"
Arum tertegun mendengar semua itu. Tampak bibirnya yang kecil mungil mengulum senyum serta sepasang matanya berbinar-binar menambah indah wajah yang jelita itu. "Kanda, kamu ternyata cerdas sekali!" pujinya setulus hati.
Setelah merasa mulai tenang, Arum lalu turun ke sungai yang amat jernih airnya. "Kanda, aku pingin mandi!" Dengan enaknya ia melepas baju bagian atas dan melipatnya di atas sebuah batu, ia mencuci muka dan tangan. Tiba-tiba ia ingin menengok ke belakang, namun sebelum sempat melakukannya, ada dorongan yang membuat ia tercebur ke sungai. "Hei..! Kanda awas kamu ya!"
Lintang tampak tertawa gembira, lalu dengan cepat ia yang ternyata juga sudah melepas pakaiannya menyusul terjun ke sungai. Arum menyambutnya dengan serangan menggunakan senjata air, dan Lintang menyambutnya dengan tak kalah sengit. Mereka berdua seperti anak-anak yang dengan gembiranya bermain air.
"Curang..! Curang..!" seru Arum kewalahan dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.
"Baik, sekarang seranglah aku!" kata Lintang mengalah, seperti sikap seorang kakak yang wajib mengalah kepada adiknya.
"Awas seranganku!" pekik Arum dan menerjang maju, untuk memeluk suaminya.
Setelah merasa tubuh mereka segar lagi, kini baru merasa penghuni perut mereka keruyukan minta diisi. Lintang menggendong Arum naik ke atas. Mereka berpakaian, lantas kembali ke bawah pohon dan mengeluarkan bekal makanan.
Tiba-tiba, di tempat sesunyi itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Suara yang orangnya tidak tampak itu membuat Arum terheran-heran.
Suara dari kiri terdengar parau dan berat, sedangkan yang dari kanan terdengar besar dan menggema. Suaranya begitu jelas terdengar, namun orangnya tidak kelihatan. Suara apa lagi kalau bukan suara setan? Arum yang sudah mengalami hal-hal aneh menjadi merinding dan segera merapat ke suaminya.
Terdengar suara parau, "Eh siapa orang yang tadi mandi di sungai?"
"Ha..ha..ha..!" terdengar suara berat tertawa, "Kau hebat juga Mbah Gendam! Sudah mau mampus tapi pendengaranmu masih tajam juga!"
"Kau juga hebat Pendekar Ingusan!" puji orang yang dipanggil Mbah Gendam, "Aku pikir kau sudah masuk liang kubur, tidak tahunya masih bisa berkeliaran di dunia ini!"
Lintang dan Arum bersembunyi di balik pohon, di antara semak-semak yang cukup rimbun. Seorang kakek tua muncul di tengah pelataran sekitar sepuluh meter dari tempat pasangan suami istri itu mengintip.
Tidak lama kemudian muncul seorang kakek yang bersuara besar dan menggema. "Bagaimana kabarmu Pendekar Ingusan?" tegurnya. Orang yang baru muncul itu ternyata kakek misterius yang pernah minta makanan kepada Lintang dan Arum, yang sangat mahir mempengaruhi dan menguasai pikiran orang.
"Seperti kau lihat sendiri!" balas Pendekar Ingusan, "Ha..ha..ha.., jangan dikira aku tidak akan sanggup melayanimu bertarung sampai seribu jurus!"
Mbah Gendam dan Pendekar Ingusan itu adalah dua dari tujuh anggota Mahaguru Silat yang menguasai Nusantara. Mereka sedang mengadakan pertemuan rutin setiap tahun di lokasi itu, lokasi persimpangan tiga dimensi. Dari tujuh orang tinggal lima yang masih hidup. Dua orang lagi muncul hampir bersamaan. Mereka semua berusia sekitar seratus tahun ke atas. Orang terakhir muncul, dan keempat kakek memberi hormat dan memanggil orang tersebut dengan panggilan panglima, yang ternyata dia adalah Eyang Dhara alias Mbah Kucing.
Kelima Mahaguru Nusantara itu sedang melakukan suatu rapat dengan cara duduk bersila membentuk lingkaran, tapi duduk mengambang di udara, seolah-olah ada alas yang tidak kelihatan. Panglima alias Mbah Kucing tampak sedang memimpin rapat. Mereka semua memejamkan mata, sambil mengangguk-angguk seperti sedang terjadi diskusi yang cukup serius.
Sejak jaman dulu, raja-raja yang memiliki kedudukan dan pangkat paling tinggi di bawah langit Nusantara, dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi, dihormati dan dimuliakan semua orang, berlimpah harta kekayaan, tapi masih saja menderita tekanan batin karena memiliki musuh yang selalu mengancam keselamatan jiwanya.
Setelah kehancuran Majapahit di era Bre Kertabhumi, secara praktis semakin banyak wilayah kekuasaannya yang memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris yang paling sah atas warisan Majapahit.
Putera-putera raja, yang tentu saja memimpikan nikmatnya kursi singgasana, di antara mereka mulai saling timbul persaingan hebat. Persaingan yang kadang-kadang tidak hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, melainkan secara terbuka, sehingga masing-masing mengumpulkan jagoan-jagoan dari dunia persilatan.
Itulah yang kini tengah terjadi di kedua kerajaan, baik Kerajaan Majapahit di bawah Prabu Dyah Rananwijaya maupun Kerajaan Demak di bawah Raden Fatah.
Raden Fatah memiliki lima orang putra. Dari istri yang tertua, putri Sunan Giri, lahirlah Raden Sabrang Lor dan Raden Trenggana. Dari istri muda yang berasal dari Randu Sanga, lahirlah Raden Kanduruwan. Dan dari istri yang ketiga, lahirlah Raden Kikin dan Raden Mas Nyawa. Di Demak, persaingan mencapai puncaknya ketika putera mahkota, Pangeran Sabrang Lor meninggal secara misterius.
Terjadilah persaingan hebat antara Raden Trenggana dengan Raden Kikin untuk memperebutkan tahta. Raden Kikin lantas dibunuh oleh Sunan Prawoto, putra Raden Trenggana. Peristiwa itu terjadi di tepi sungai saat Raden Kikin pulang dari sholat Jum'at. Raden Kikin kemudian dikenal dengan sebutan 'Sekar Sedo Lepen' yang artinya 'Bunga yang gugur di sungai'.
Peristiwa itulah yang rupanya menjadi topik diskusi para Mahaguru Nusantara itu. Mereka memutuskan untuk tidak mau terlibat dalam segala urusan perebutan kekuasaan dalam keluarga raja. Akan tetapi, mereka tetap akan berpihak pada pemerintah yang sah, dan siap turun tangan membela kebenaran bila terjadi peperangan.
Kelak Sultan Trenggana ikut berjasa besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Di bawahnya, Demak berhasil merebut Majapahit dari tangan Raja Dyah Ranawijaya. Ia juga berhasil menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran, menaklukkan hampir seluruh Pasundan, serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana.
Salah seorang panglima perang Demak yang termasyur waktu itu adalah Fatahillah, pendekar muda asal Samudera Pasai, yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana.
Mbah Kucing ternyata memiliki wawasan luas tentang konflik di dalam keluarga kerajaan, karena dia memang sering diundang dalam pertemuan-pertemuan penting yang diadakan para pangeran bersama para wali. Sepintas lalu orang melihat sosoknya yang sederhana tentu akan menganggap dia sebagai orang biasa.
Pandangan mata orang akan tertipu karena kebanyakan dari mereka mengukur kemuliaan seseorang dari lahiriyahnya atau dari popularitasnya karena seringnya tampil di panggung dunia. Siapa sangka sosok yang sangat bersahaja dan penuh kerendahan hati itu adalah ketua Mahaguru Nusantara, sebuah berlian terpendam yang tiada bandingnya.
"Oh iya, sekarang saya akan memperkenalkan anggota baru kita!" Mendadak Mbah Kucing berkata dengan nada sedikit dikeraskan. "Dia bernama Lintang Kejora alias Pendekar Pedang Akhirat!"
Betapa terkejutnya Lintang dan Arum mendengar itu, dan lebih terkejut lagi ketika Mbah Kucing menyuruh mereka berdua keluar dari tempat persembunyian. Arum yang biasanya bebas dan tidak kenal takut itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan Lintang. Sungguh sikapnya seperti seekor kelinci memasuki sarang macan. Biar pun Lintang tampak kagum sekali terhadap para pendekar sepuh itu, tapi ia masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang tersembunyi dalam pikiran istrinya.
Terdengar suara berat orang tertawa, dia adalah seorang berpakaian pengembara berambut panjang yang dikenal dengan nama Pendekar Ingusan. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Lintang dengan sorot mata tajam.
Di sisi lain tampak seorang kakek yang kelihatan seperti orang mengantuk dan kurang semangat, sama sekali tidak layak disebut seorang pendekar besar. Usianya sudah seratus sepuluh tahun. Akan tetapi, apa bila orang mendengar namanya, apa lagi orang-orang persilatan, tentu akan terkejut setengah mati karena dia bukan lain dikenal dengan sebutan Dewa Sinting. Kiranya lebih layak kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Akan tetapi ia memiliki Ajian Tapak Seribu Dewa, yang hanya dengan menggunakan telapaknya ia bisa menahan sekitarnya tetap kering di saat hujan turun, atau membuat sekitarnya gelap di kala matahari sedang bersinar cerah.
Si Dewa Sinting itu menatap mata Lintang dan seakan-akan hendak menjenguk isi hati dan seperti orang sedang 'mengukur energi'. Sambil tersenyum pada waktu dia berkata, "Pilihan Panglima tepat sekali. Selamat anak muda!"
Kakek yang ketiga adalah Mbah Gendam yang mahir menguasai pikiran orang. Ia hanya tersenyum melihat Lintang dan Arum berjalan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia kemudian mengeluarkan kitab pusaka dari balik baju, "Ini aku kembalikan. Aku cuma pinjam sebentar!"
"Terima kasih, Mbah," jawab Lintang seraya menerima kitab dengan kedua tangan.
"Ilmu pengetahuan menggali banyak hal," tutur Mbah Gendam, "Termasuk yang berkaitan dengan prinsip-prinsip spiritualiatas. Terbukti, betapa kekuatan berderma, membuat hidup lebih bahagia dan bermakna. Berderma sebagai pengejawantahan sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah, dan itu membuat hidup lebih bahagia dan bermakna. Agama mengajarkan kita berderma, bukan meminta-minta. Kamu telah lulus ujianku tadi!"
"Terima kasih, Mbah!"
Kakek keempat, tampak yang paling muda dan berbadan tegap berdiri. Ia bernama Pendekar Cluring. Konon ia bisa memasuki lubang sekecil jarum asalkan ada sinar yang menerobos lubang itu. "Selamat anak muda!" Ia mengulurkan tangan dan meletakannya di pundak Lintang.
Lintang merasa betapa pundaknya seakan-akan dibebani seekor gajah, merasa tulang-tulangnya seolah akan patah-patah dan remuk. Ia dengan cepat mengalirkan hawa murni dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaan itu berkurang banyak.
Bagi Arum, dianggapnya Lintang merasa segan atau malu. Karena tampak keringatnya membasahi dahi dan keningnya. Ia tidak tahu bahwa diam-diam Pendekar Cluring juga sedang menguras banyak energi.
"Hm.., Panglima tidak salah!" seru Pendekar Cluring kemudian. "Saya ucapkan selamat bergabung anak muda!" Ia pun kaget bukan main, tengkuknya terasa dingin dan keringatnya pun bercucuran.
"Terima kasih!" jawab Lintang. Sementara sekujur tubuhnya telah basah oleh keringat karena pengerahan energi yang diperas untuk hal yang sangat gawat itu. Di atas langit ada langit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H