Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (81): Di Atas Langit Ada Langit

7 Oktober 2024   06:43 Diperbarui: 7 Oktober 2024   07:20 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Betapa terkejutnya Lintang dan Arum mendengar itu, dan lebih terkejut lagi ketika Mbah Kucing menyuruh mereka berdua keluar dari tempat persembunyian. Arum yang biasanya bebas dan tidak kenal takut itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan Lintang. Sungguh sikapnya seperti seekor kelinci memasuki sarang macan. Biar pun Lintang tampak kagum sekali terhadap para pendekar sepuh itu, tapi ia masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang tersembunyi dalam pikiran istrinya.

Terdengar suara berat orang tertawa, dia adalah seorang berpakaian pengembara berambut panjang yang dikenal dengan nama Pendekar Ingusan. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Lintang dengan sorot mata tajam.

Di sisi lain tampak seorang kakek yang kelihatan seperti orang mengantuk dan kurang semangat, sama sekali tidak layak disebut seorang pendekar besar. Usianya sudah seratus sepuluh tahun. Akan tetapi, apa bila orang mendengar namanya, apa lagi orang-orang persilatan, tentu akan terkejut setengah mati karena dia bukan lain dikenal dengan sebutan Dewa Sinting. Kiranya lebih layak kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Akan tetapi ia memiliki Ajian Tapak Seribu Dewa, yang hanya dengan menggunakan telapaknya ia bisa menahan sekitarnya tetap kering di saat hujan turun, atau membuat sekitarnya gelap di kala matahari sedang bersinar cerah.

Si Dewa Sinting itu menatap mata Lintang dan seakan-akan hendak menjenguk isi hati dan seperti orang sedang 'mengukur energi'. Sambil tersenyum pada waktu dia berkata, "Pilihan Panglima tepat sekali. Selamat anak muda!"

Kakek yang ketiga adalah Mbah Gendam yang mahir menguasai pikiran orang. Ia hanya tersenyum melihat Lintang dan Arum berjalan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia kemudian mengeluarkan kitab pusaka dari balik baju, "Ini aku kembalikan. Aku cuma pinjam sebentar!"

"Terima kasih, Mbah," jawab Lintang seraya menerima kitab dengan kedua tangan.

"Ilmu pengetahuan menggali banyak hal," tutur Mbah Gendam, "Termasuk yang berkaitan dengan prinsip-prinsip spiritualiatas. Terbukti, betapa kekuatan berderma, membuat hidup lebih bahagia dan bermakna. Berderma sebagai pengejawantahan sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah, dan itu membuat hidup lebih bahagia dan bermakna. Agama mengajarkan kita berderma, bukan meminta-minta. Kamu telah lulus ujianku tadi!"

"Terima kasih, Mbah!"

Kakek keempat, tampak yang paling muda dan berbadan tegap berdiri. Ia bernama Pendekar Cluring. Konon ia bisa memasuki lubang sekecil jarum asalkan ada sinar yang menerobos lubang itu. "Selamat anak muda!" Ia mengulurkan tangan dan meletakannya di pundak Lintang.

Lintang merasa betapa pundaknya seakan-akan dibebani seekor gajah, merasa tulang-tulangnya seolah akan patah-patah dan remuk. Ia dengan cepat mengalirkan hawa murni dari pusarnya menuju ke pundak sehingga penderitaan itu berkurang banyak.

Bagi Arum, dianggapnya Lintang merasa segan atau malu. Karena tampak keringatnya membasahi dahi dan keningnya. Ia tidak tahu bahwa diam-diam Pendekar Cluring juga sedang menguras banyak energi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun