"Mbah dan parah arwah penunggu hutan," kata Arum dengan bisikan perlahan seperti orang berdoa, "Mohon sudi kiranya mengampuni kelancangan kami berdua!"
Mereka melihat bahwa susu dalam cangkir itu kini berubah kembali menjadi air biasa. Yang jauh lebih mengagetkan, kitab pusaka dalam kantung juga ikut menghilang. Sepasang pendekar itu jelas begitu menyesali keteledoran mereka.
"Air susu dibalas air tuba!" ujar Arum datar.
"Mbah tadi itu bukan arwah atau jin penunggu hutan!" sahut Lintang, "Tapi aku yakin dia itu orang sakti yang memiliki ilmu bisa menguasai dan mempengaruhi pikiran orang! Tujuannya jelas mau mencuri kitab!"
"Memang ada ilmu seperti itu?"
"Iya ada, Sayangku!"
***
Ki Birawa, Kedua Pendekar Jeliteng dan Panji Segoro menghentikan kuda mereka di depan warung sate Guk Karwo. Kebetulan sekali saat itu di dalam warung sudah ada Ki Unggul Weling bersama salah seorang anak buahnya, Ki Sabrang.
Rombongan yang baru datang itu duduk dalam satu meja. Sambil menunggu pesanan makanan dan minuman mereka datang, Ki Paimo dan Ki Paidi membuka pembicaraan mengenai isu terbaru yang tengah hangat dibicarakan orang.
"Sekarang terbukti kalau Padepokan Arum itu menggelapkan harta karun yang dulu dibawa lari oleh Ki Kelabang Karang," ujar Ki Paimo, "Dulu Kebo Kicak bilang mereka tidak akan mengambil harta itu untuk kepentingan mereka sendiri, buktinya sekarang mereka merenovasi padepokan dengan cukup megah!"
"Tak terbantahkan lagi! Dari mana mereka menmperoleh uang sebanyak itu. Tim Tujuh yang katanya menyalurkan dana itu untuk rakyat kecil hanya omong kosong!" timpal Ki Paidi, "Siapa orangnya yang tidak doyan uang? Mereka itu orang-orang munafik!"