Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (59), Harga Sebuah Pengorbanan

6 September 2024   05:05 Diperbarui: 6 September 2024   08:46 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Murid-murid Benteng Naga saling menguatkan satu sama lain, dan bertekad untuk bertempur sampai tetes darah penghabisan. Hujan senjata yang menimpa tubuh Pertapa Sakti menimbulkan suara keras dan percikan bunga-bunga api hingga terlontar jauh.

Tiba-tiba ada bayangan berkelebat melompati pagar dan langsung mengirim tendangan maut ke Pendekar Pertapa Sakti. "Mundur semuanya!"

"Guru!" seru murid-murid padepokan serempak setelah tahu siapa yang muncul itu. Hati mereka dipenuhi suka cita. Tanpa sadar kepalan tinju mereka terangkat di udara. "Iblis itu telah melukai Guru Arum!"

"Kanda!" gumam Arum merasa lega. Telapak tangannya terkenal erat.

Gerakan Pendekar Kebokicak sulit diikuti dengan mata. Hanya terdengar suara-suara pukulan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Dengan cepat ia bisa mengambil kesimpulan bahwa musuhnya itu hanya mengandalkan sebelah mata. Sehingga ia pun mengincarnya. Sebuah serangan dua jari lalu berhasil menembus dan menarik keluar biji mata kiri Pendekar Pertapa Sakti.

Kini sudah jelas nasib pendekar sesat yang jumawa itu, karena biar pun ia memiliki kekebalan sepuluh kali lipat daripada yang dimilikinya sekarang, namun dengan keadaan buta, tentu ia tidak bakal dapat meloloskan diri dari serangan Pendekar Kebokicak yang hebat.

Tubuh Pertapa Sakti berguling-guling di tanah dan ketika tubuhnya berhasil bangkit serangan berikutnya menghajarnya hingga kembali terlempar beberapa meter. Tubuhnya yang kebal memang tidak tampak terluka, tapi bentuknya sudah tidak karuhan lagi. Tulang-tulangnya patah di hampir sekujur tubuh, bahkan wajahnya sudah sulit dikenali. Giginya rontok semua dan rahang bagian bawah agaknya terlepas. Pucuk pedang yang menancap di mata kanannya di tendang oleh Tulus hingga tembus ke tengkorak belakang.

Terakhir, tubuh yang tidak berdaya itu disepak dengan sangat keras hingga jatuh di luar area padepokan. Tubuh yang tampak seperti seonggok tulang dan daging tak berbentuk itu masih terlihat bernafas dan mengeluarkan suara seperti orang mendengkur. Darah bergumpal-gumpal akhirnya keluar dari mulutnya. Butuh waktu cukup lama bagi tubuh itu berkelojotan, sampai menghembuskan nafas terakhir, lalu diam untuk selama-lamanya.

Tulus semakin mengerti mengapa Mbah Kucing berpesan agar kitab pusaka itu jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat. Juwaima Subandar adalah contoh orang yang mengamalkan Ajian Tiwikrama tetapi didasari niat yang tidak baik dan ilmu yang diamalkannya tidak sempurna. Untungnya Pendekar Pertapa Sakti itu telah menjalankan pengobatan dengan cara sering bertapa, sehingga sifat angkara murkanya sedikit banyak bisa terkontrol.

Orang-orang yang berkerumun di jalanan berlarian menjauh dengan perasaan ngeri. Masyarakat yang menonton pertempuran itu, dan bahkan murid-murid padepokan sendiri, baru mengetahui sifat asli Pendekar Kebokicak ketika marah. Kalau sudah marah agaknya tidak ada satupun pendekar di muka bumi yang dapat melebihi keganasannya.

Pendekar dari Demak pun mengurungkan niatnya, ia menyelinap di antara kerumunan dan segera menyingkir dari tempat itu. Dia tahu pasti bahwa dia bukanlah lawan bagi Pertapa Sakti, apalagi lawan Pendekar Kebokicak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun