Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (59), Harga Sebuah Pengorbanan

6 September 2024   05:05 Diperbarui: 6 September 2024   08:46 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Dugaan Arum ternyata benar, bahwa mata Ki Juwaima itu anggota tubuh yang tidak kebal. Terbukti pendekar sesat itu mati-matian melindungi matanya. Dengan mengorbankan perutnya yang terancam terkena pukulan, Arum pun berhasil menusukan pedangnya ke mata lawan. Pengorbanan yang cukup seimbang.

Terdengar jerit kesakitan Ki Juwaima yang sangat mengerikan. Pedang pusaka itu masih menancap di mata kanannya. Ia lalu mematakan pedang, dengan meninggalkan ujung yang masih menancap.

Sementara itu tubuh Arum terlempar karena pukulan yang sangat keras tadi. Lastri berlari menolong Arum. Nyonya muda yang sedang hamil itu meringis sambil memegang perutnya yang terasa sangat perih. Namun ia berusaha untuk tidak meneteskan air mata, dan malahan dengan sikap gagah berani ia minta agar diambilkan pedang lagi.

"Guru Putri Naga!" seru Lastri, "Serahkan kepada kami! Biarkan kami saja yang menghadapi iblis itu!"

Arum berdiri terpaku. Ia merasakan sesuatu yang mengalir membasahi celananya. Ia curiga itu adalah darah.

Hanya dengan sebelah mata, Pertapa Sakti semakin mengamuk hebat. Ia melakukan serangan-serangan dengan brutal dan tidak mengenal ampun. Semua murid baru sadar dan mengakui kecerdikan Arum, sehingga mereka pun kini mengarahkan serangan senjata ke mata kiri musuh yang masih dapat melihat.

***

Tulus sedang bersemedi di pucuk pohon Gayam yang sangat tinggi di puncak Bukit Lintah. Tubuhnya hanya ditopang oleh beberapa ranting kecil. Dilihat dari kejauhan ia tampak seperti sedang duduk bersila di atas awan. Ia telah mencapai tingkat ilmu meringankan tubuh yang tertinggi.

Tiba-tiba ia seperti mendengar suara istrinya. Ia memusatkan pikiran untuk memastikan bahwa itu bukan bagian dari godaan, dan beberapa detik kemudian ia membuka matanya. Ia kini bisa merasakan dengan lebih jernih. Itu bukan halusinasi. Ia langsung meluncur turun seperti burung garuda. Dalam pikirannya terbayang tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan di halaman padepokan.

'Apa yang terjadi?' pikirnya bertanya-tanya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun