Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ahli Jungkir Balik Si Politisi Licik

26 Agustus 2024   05:31 Diperbarui: 28 Agustus 2024   02:42 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

"Semakin kamu kenal siapa dirimu, semakin sedikit hal-hal yang bisa membuatmu kesal". Film Lost In Translation

Semar sedang berbincang santai dengan ketiga putranya. Mereka adalah Petruk dengan ciri kerempeng, Gareng yang fisiknya gemoy, dan Bagong yang matanya sedikit juling. Mereka inilah pewaris yang dipercaya bisa menyelamatkan warisan Nusantara.

"Romo," tanya Petruk memantik diskusi, "Bagaimana pandangan Romo mengenai kegaduhan yang terjadi belakangan ini?"

"Maksudmu soal demo yang lagi marak?"

"Iya betul, Mo!"

"Ya itu hal biasa! Sebagian orang, terutama pendengki pemimpin pasti akan mudah menelan framing sesat. Sebagian lagi karena didasari oleh prasangka buruk, sehingga ikut terprovokasi!"

Gareng tidak sabar segera menelan sisa pisang goreng di mulutnya, sambil sedikit kesulitan dia bertanya, "Kok framing sesat, Mo?" Ada nada sedikit tidak terima.

Dengan santai Semar menyempatkan menyeruput kopi panas dari lepek. Urainya kemudian, "Begini, KPU dan DPR sebetulnya pada dasarnya sepakat untuk menjalankan keputusan MK kok! Mereka paham betul bahwa keputusan itu bersifat final and binding. Final dan mengikat. Kendati ada persoalan bahwa MK dipandang melebihi kewenangannya. Sebab MK mestinya hanya berwenang menguji undang-undang, yakni hanya menolak atau menerima ketika ada sebagian warga yang mengajukan judicial review. Jadi bukan membuat undang-undang baru."

“Apa contoh MK melampaui kewenangannya?” giliran Bagong mengajukan pertanyaan.

“Contohnya adalah MK mendalilkan utra petita demi mengabulkan permohonan di luar dari yang dimohon. Di samping itu juga menggunakan kewenangan legislative review dengan membentuk norma baru yang dibatalkan. Ini bisa dikatakan membegal kewenangan DPR maupun UU Perppu. Sembilan orang bisa membatalkan dan membuat norma sendiri atas produk dari lembaga yang mewakii dan dipilih oleh rakyat. Ini mestinya tidak legitimate. Ini merupakan kesewenang-wenangan. Ini model depotisme yang berkedok konstitusi. Sampai sini bisa dipahami?”

"Bisa, Mo!" sahut ketiga anak nyaris serentak. Saat itu hembusan angin malam membuat mereka sedikit menggigil.

"Proses pembuatan undang-undang jelas merupakan kewenangan DPR. Ini harus ditegaskan agar ke depannya tidak terjadi kerancuan."

"Terus di mana framing sesatnya, Mo?" timpal Petruk yang ingin segera mendapatkan poinnya.

"Sabar. Terlepas dari persoalan melampaui kewenangan itu, KPU maupun DPR sebetulnya sepakat akan mengikuti keputusan MK. Ya karena keputusan MK adalah final dan mengikat."

"Betul, Mo!"

Semar kembali menyeruput kopinya, menyeka mulut dengan punggung tangan, dan melanjutkan, "Ketua KPU sudah menyatakan dengan tegas akan berpegang teguh pada hasil putusan MK. Rupanya karena pihaknya belajar dari pengalaman yang lalu, yang karena dianggap tidak melaksanakan tahapan dalam proses menindaklanjuti putusan MK, mengakibatkan pihaknya mendapat peringatan keras dari DKPP. Ya kita tahu pada saat itu ada masa reses DPR sehingga KPU hanya melayangkan surat pemberitahuan. Nah, kini pihaknya akan menemui DPR untuk berkosultasi dan menindaklanjuti pengesahan revisi undang-undang pilkada. DPR pun merespon hal tersebut. Sekalipun tanpa direvisi mereka tahu bahwa undang-undang akan berlaku sejak diputuskan. Ini agak panjang, jadi Romo harap kalian sabar mendengarnya," papar Semar sambil menatap wajah masing-masing putranya.

"Baik. Lanjut, Mo!"

"Akan tetapi, yang kemudian dihembuskan adalah bahwa KPU dan DPR mau menolak putusan MK, yang kemudian diartikan itu mengkhianati konstitusi! Ini yang romo maksud framing sesat itu!"

"Kenapa orang mudah percaya dengan framing itu?" pancing Semar, "Sebab dihembuskan bahwa dengan adanya putusan MK, koalisi KIM plus akan goyah dan bisa pecah. Lantas mereka panik, sehingga membuat akal-akalan untuk membatalkan putusan itu. Apalagi ditambahi narasi seolah-olah DPR melakukan itu demi memuluskan langkah anak presiden. Itu yang membuat sebagian rakyat terprovokasi dan marah. Makanya gak heran jika isu yang berkembang kemudian menjadi turunkan Jokowi. Tolak politik dinasti. Awalnya dibangun narasi konflik itu antara legislatif melawan yudikatif, lha kok yang disasar eksekutif? Nah, sebetulnya demi menegakkan konstitusi atau demi kepentingan politis?"

Bagong, Petruk dan Gareng hanya bisa manggut-manggut dalam mencernah uraian Semar yang panjang lebar.

"Jadi ini semua drama ya, Mo?!" celetuk Petruk.

"Drama yang lebih seru dibanding sinetron Korea!" sahut Gareng.

Bagong tidak mau ketinggalan, "Iya, mereka yang dulu menghujat MK mati-matian kini berbalik membelanya mati-matian. Anomali. Ulah ahli jungkir balik si politisi licik!"

"Siapa yang licik? Kalian bisa tebak sendiri," pungkas Semar tegas.

"Ketika kamu mendapatkan sudut pandang yang berbeda, itu akan memungkinkanmu untuk melihat hal-hal yang seharusnya kamu lihat sejak awal". Film First Man

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun